Laman

Jumat, 06 Agustus 2010

Anggrek untuk Faza

”Aku tak bisa melanjutkan hubungan ini.” kata Faza suatu ketika.
”Diantara kita terlalu banyak perbedaan Mas.... yang paling prinsip, aku ingin meniti karir sementara mas tak bisa meninggalkan desa. Jalan kita berbeda.”
”Keinginanku membangun desa mungkin kau rasakan terlalu muluk, terlalu idealis, tapi itu janjiku sejak dulu. Janjiku pada diri sendiri. Janji bagiku serasa hutang yang harus dibayar.” Kata-kata Rahman ini seperti menyiratkan bahwa tak ada lagi jalan tengah yang bisa ditempuh.
Di kala cinta mulai berpaut baru datang kesadaran bahwa ada perbedaan antara mereka berdua.

Persembahan

Persembahan buat para belahan jiwa :

Mas Hadi,

Mbak Tika,

Mas Faid

Dik Ima,

Bapak

Oom Icu

Pengantar

Terinspirasi dari cerita-cerita yang disampaikan oleh anak-anak baik itu anak didik maupun si buah hati, maka tersusunlah novel Anggrek Untuk Faza. Keinginan untuk menulis yang menggebu membuahkan hasil. Semula rasa tidak percaya yang muncul, akankah selesai? Mampukah ? Setelah berhenti selama sebulan dalam melakukan proses kreatif, akhirnya datang kembali semangat untuk menyelesaikan sesegera mungkin agar tak menjadi PR yang tertunda. Alhamdulillah dengan dorongan banyak pihak, dengan semangat pantang menyerah maka novel kedua ini akhirnya selesai juga.
Ungkapan terima kasih terutama buat Kakanda yang sempat terlantar di malam-malam yang dingin. Yang harus rela menanti matinya komputer untuk dapat beristirahat. Kakanda menjadi penyemangat yang paling utama. Buat para belahan jiwa yang sudah memacu semangat buat berkarya. Tanpa kalian cerita ini tak akan pernah selesai. Mbak Tika dengan inspirasinya, Mas Faid dengan keahliannya, Adik dengan cerita-ceritanya yang membuat rumah jadi makin ceria. Oom Icu dengan masukan-masukannya. Bapak dengan Suportnya. Buat seseorang yang tak bisa diungkapkan namanya lewat kata-kata, kau adalah penggerak proses kreatif ini, lewat getaran jiwa, denyut nadi, pencerah hati, tanpamu proses kreatif ini tak pernah ada.


Yogyakarta, Januari 2009
Penulis

Daftar Isi

1. Faza
2. Bunda, Lidahku Kelu
3. Petani Muda itu Aku
4. Ketep Pass. Kuhadir Bersamanya
5. Anggrek, Jalanku Menemuimu
6. Paket Buat Faza
7. Komposisi itu Menyihirku
8. Panggil Aku Mas
9. Hangatkan Hatiku
10. Hadirmu Hapuskan Rindu
11. Gadis Itu
12. Cita-cita & Impian
13. Suara Hati
14. Tawaran itu Menyulitkanku
15. Surat Buat Faza
16. Siapa Harus Mengalah
17. Hatiku
18. Itukah Maumu

1. Faza

Wajahnya yang riang telah mampu membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Ya pertama kali aku berjumpa dengannya setelah sekian lama berkenalan. Senyumnya itu lho…. Segar dan memikat…. Saat pertemuan pertama itu benar-benar mengesankan. Riang, ramah, penuh senyum.
Ketika itu kencan pertama kami, copy darat, itu mungkin kata yang lebih tepat. Aku yang dari luar kota cukup kesulitan sebenarnya mencari rumah makan dan pemancingan Pingka Mina. Rumah makan yang cukup luas, di pinggir kali. Mungkin karena itu ya diberi nama Pingka, pinggir kali. Di antara hamparan sawah yang hijau, di tengah kolam-kolam ikan.
“Tempatnya asyik dan bagus Kak,” katanya ketika itu.
“Gimana kalau kita ketemuan di rumah aja Za, jadi kamu gak perlu susah-susah keluar rumah?” Aku mengajukan penawaran, karena sebenarnya aku ingin sekali tahu rumahnya dan bisa mengenal keluarganya.
“Lain kali aja ya Kak, ortuku baru tidak di rumah…. Nggak enak kalau kita ketemuan di rumah….Ok…?” jawabnya dengan santai.
“Tapi kalau Kakak keberatan nggak papa koq…. atau Kakak punya alternative tempat yang lain selain di Pingka Mina?” dia menawarkan padaku untuk memilih tempat, tapi aku tak begitu mengenal seluk beluk kotanya sehingga aku menyerah apa maunya saja.
“Kok diem , kalau Kakak nggak ingin ya kita batalkan aja, atau diundur biar Kakak bisa mencari tempat lain. Atau Kakak nggak suka ikan?” pertanyaannya memberondongku, membuatku makin tak berkutik.
Lama baru aku bisa menjawab pertanyaannya.
“Oke deh…. Aku setuju. Sesuai hari dan tanggalnya ya? jam 11.00. Ok?”
“Ok.” jawaban yang teramat singkat, padahal aku mau yang lebih dari itu.
Menjelang pertemuan itu aku benar-benar gelisah. Persis seperti ketika klas 2 SD mau diajak ibu ke Semarang, semalaman tidak bisa tidur berharap pagi segera tiba. Sore tidak segera tidur membayangkan perjalanan besok pagi. Semalam juga begitu, banyak angan-angan melintas tentang pertemuan yang hendak terjadi. Membayangkan apa yang akan kulakukan begitu melihatnya, apa yang akan dia lakukan ketika bertemu. Apakah akan sama dengan bayanganku semula? Sampai akhirnya aku terlena, tertidur mendekap angan-angan.
Setelah beberapa kali bertanya sampailah aku di Pingka Mina yang dimaksud. Benar juga katanya, tempatnya memang asyik, terutama bagi mereka yang tidak pernah berada di sawah. Serasa di kampung saja. Aku jadi ingat Lik Soni yang kuserahi matun di sawah Si Gong. Harusnya kutemani dan kubantu biar cepat rampung. Tapi demi Faza kubiarkan Lik Soni bekerja sendirian.
Di tempat parkir kulepas jaket dan helm, rasa gerah segera sirna disapu angin yang semilir . Tukang parkir berseragam biru tersenyum padaku memperlihatkan giginya yang rapi. Mempersilakanku melewati gerbang yang ada disebelahnya. Kubalas senyumnya dan ungkapan terima kasih atas petunjuknya. Kurapikan baju, memantas-mantas diri, sudah rapikah aku di mata Faza?. Dengan langkah yang kubuat seyakin mungkin, aku melangkah masuk.
“Kostumku kaus lengan pendek putih dekker hitam dengan jilbab hitam” katanya waktu itu.
Kutengok beberapa gubuk yang tersebar di petak-petak kolam. Ada 14 gubuk kecil dan tiga gubuk yang luas terlihat dari angka-angka yang terpampang di depan gubuk. Di gubuk 4 seseorang duduk membelakangi pintu, berkaos putih dengan kerudung hitam. Kuedarkan pandangan, banyak gubuk yang terisi, tapi yang sendiri dan berjilbab hitam hanya ada di gubuk 4. Diakah? Tanyaku dalam hati. Terlihat dia masih asyik membaca, sendirian dalam gubuk. Perlahan aku menuju tempat itu. Ada tanya dalam hati, perlukah kutelepon dia atau kunikmati dulu dari sisi kiri? Aku masuk gubuk 6 yang masih kosong duduk menghadap arah Faza. Seorang pramusaji mendekati memberikan daftar menu.
“Bisa nanti saja mbak ? Saya sedang menunggu teman.” tanyaku basa basi.
“Bisa Pak, nanti silahkan pencet bel di samping akan ada yang datang melayani Bapak.” pramusaji berseragam merah tua itu berlalu, rambutnya yang diekor kuda bergoyang ke kanan dan ke kiri. Bapak katanya? Sudah terlalu tuakah penampilanku hingga pantas disebut bapak? Atau sekedar sopan santun dia memanggilku bapak? Kugelengkan kepala sendiri tanpa sebab. Aku masih merasa cukup muda.
Aku kembali ke sasaran semula, Faza. Kepalanya masih menunduk sesekali tersenyum kecil, matanya masih tertuju pada buku yang dibaca. Tangan kanannya mengambil gelas berisi es jeruk yang tinggal setengah kemudian meminumnya. Ada makanan kecil di mejanya, beberapa kali tangannya meraihnya. Tidak merasakah dia kalau sudah beberapa lama dipandangi orang. Betapa aku ingin dia menoleh padaku dan berteriak, Rahmanto? Tapi ternyata iu tak pernah terjadi. Dia masih saja asyik dengan bukunya. Jam 11.20. tak ada tanda-tanda kegelisahan padanya. Padahal kalau aku yang harus menunggu, terlambat beberapa menit saja pasti aku akan mengeluh. Tapi itu tidak dia lakukan. Hebat gadis ini, dengan sebuah buku saja telah membuatnya terlena, tak peduli alam sekitarnya.
Iseng ingin aku mengodanya. Ku sms kalau aku ternyata tidak bisa datang tepat waktu karena saat ini aku baru berangkat dari kotaku.
Sambil terus membaca dia meraih dompet hitam di meja, membukanya pelan dan membuka telepon genggamnya. Sebentar pandangannya beralih pada layar telepon gengam, jarinya memencet-mencet tuts. Ada tarikan napas yang tidak biasa, bahunya terangkat lebih tinggi.
“Nggak papa, dicancel aja. Nanti aku ada acara yang tidak bisa kutinggalkan. Selamat siang.”
Tak ada kata-kata marah. Padahal aku ingin sekali melihatnya marah, lalu merajuk ketika aku memperlihatkan diri, kemudian dia akan memukul-mukul dadaku dengan kepalan tangannya yang tentunya tidak begitu kuat, karena hanya ingin menunjukkan kemanjaannya saja. Itu yang sejak tadi kupikirkan. Tapi ternyata dia menjawab dengan datar. Terkendali sekali emosinya, tidak mudah buat mengajuk-ajuk hatinya. Dihabiskannya es dalam gelas kemudian dia bersiap-siap memasukkan bukunya ke dalam tas batiknya. Aku jadi lebih terpesona. Dia menelpon sebentar ketika pelayan datang menyerahkan bon. Aku meneleponya, tak tahan aku melihatnya akan pergi begitu saja. Buru-buru aku meneleponnya takut, dia segera beranjak pergi. Buat apa aku datang kemari kalau tak bisa menjumpainya. Padahal itu adalah tujuan utamaku.
“Za….”sapaku
“Eh gimana Kak? Klo sibuk dicancel aja gak papa koq…” jawabanya datar tanpa ekspresi.
“Tengok ke kiri gubuk nomor enam?” perintahku begitu saja. Dia menengokkan kepalanya ke kiri. Aku mencoba tersenyum. Jantungku berdebar keras sekali tak terkendali. Ah betapa jahatnya aku telah menggodanya demikian rupa. Dia tersenyum sedikit marah. Lalu mengarahkan kepalan tangan kanannya padaku.
“Jahat.” katanya tanpa suara. Aku bangkit dengan segera menuju gubuk empat. Setelah dekat makin jelas dia badannya berisi, tinggi besar, tapi proporsional. Tapi dia memang kharismatik.
“Faza…” kataku tercekat di kerongkongan.
“Kakak jahat….” matanya yang bulat melotot sambil menahan senyum kemenangan. Aku tak berkutik memandanginya terpesona. Semua jauh dari bayangan semula. Lebih cantik dan menarik dari bayanganku. Dia melambaikan tangan ketika seorang pramusaji lewat di dekat kami.
“Kakak mau pesan apa?” pertanyaannya membuyarkan tatapanku.
“Faza aja yang pesan, aku ikut…” sahutku.
“Ntar nggak cocok seleranya lho Kak? Mau gurame, patin, nila, cumi, udang, bakar, goreng, saus asam pedas atau manis? Minum jus buah, es atau apa?” penawarannya komplit.
Aku hanya mengenal ikan goreng, selain itu aku tak pernah menikmatinya. Paling-paling kalau di rumah ikan selain digoreng ya dimangut, masakan bersantan dan berasa pedas. Kadang-kadang juga ada ikan bakar, tapi sebenarnya aku tidak terlalu suka. Bau arang dan tempelan arang membuatku tak tega buat memakannya.
“Faza aja yang pesankan, minum cukup dengan es teh aja ya?”
“Ok, mbak aku mau patin bakar sama jus wortel tomat, jangan terlalu manis ya mbak, buat kakak yang lain ya…. ikan pa cumi Kak? Cumi asam manisnya enak lho Kak?” mulai promosi dia.
“Nila pa gurami aja deh…?”
“Gurami aja yg ½ kg ya mbak bakar juga Kak?”
“Boleh.” jawabku, demi Faza akan kucoba makan ikan bakar.
“Bakar ya mbak.” pramusaji yang menunggu pesanan segera mencatat dan mengangguk lalu undur diri.
“Kakak jahat banget ma aku!” katanya dengan nada sedikit merajuk. Tapi hanya itu saja yang keluar, tak ada ekspresi lain seperti yang kuharapkan.
“Sejak tadi kamu asyik membaca, aku perhatikan kamu sejak tadi.” Sahutku sambil terus memandanginya.
“Huuuu….” tiba-tiba kepalan tagannya melampaui meja dan menonjok bahuku, membuatku kaget, tapi aku menikmatinya. Ternyata benar secara reflek dia suka menonjokkan tangannya.
Hari itu kami lalui dengan damai, tapi terasa jelas perbedaan itu. Selintas hadir rasa rendah diri dihadapannya, tapi segera aku menghibur diri. Sebesar apapun perbedaan kalau hati sudah menyatu pasti ada jalan tengahnya. Walau aku merasa aku berharap terlalu banyak untuk itu.
Aku yang terbiasa ke sawah dan dia yang cuma suka pegang buku. Itulah anak kuliahan, sedang aku hanya tamat SMA. Sebenarnya aku ingin sekali mengantarnya pulang, dia menolak dengan halus. Ternyata dia membawa kendaraan sendiri karena harus segera menghadiri pertemuan di suatu tempat. Dia bilang tidak bisa naik motor. Jadi kupikir dia naik angkutan umum atau diantar. Kutawarkan buat mengantarnya, dia menolak. Akhirnya kubiarkan dia pulang sendiri, ketika hendak kuantar keluar gerbang, ternyata dia menuju tempat parkir. Dihampirinya Honda Jazz warna merah darah. Dengan memencet alarm dia membuka kunci mobil.
“Aku duluan ya Kak.” katanya sambil tersenyum, kubalas senyumnya serta kulambaikan tangan.
Ternyata dia bisa mengemudi. Dengan anggun dia duduk di belakang kemudi Honda jazz merah darah. Makin terasa bedanya, aku hanya mengendarai Supra X, itupun kubeli dengan cara diangsur dan belum lunas.
Kupandangi kepergiannya sampai lenyap dari pandangan, aku tertegun, menyadari keadaanku. Ada sesuatu yang hilang, pertemuan itu hanya sejenak, tak impas dengan waktu perjalananku kemari. Tapi tak apa demi sebuah kesempatan, kuluangkan waktu yang seharusnya bisa kugunakan untuk merawat tanaman padiku di sawah, yang beberapa hari ini tak sempat kusentuh.

2. Bunda, Lidahku Kelu

Pandangannya yang teduh, dan sikap diamnya selalu membuat orang lain tak berkutik. Hanya senyum yang senantiasa tersungging dari bibirnya. Tak banyak kata yang terucap, bila tak penting benar. Tapi tatapan matanya seolah sudah bisa menyampaikan apa yang ingin beliau ungkapkan. Bahasa mata, itu yang selalu terlihat. Wanita paruh baya ini adalah bundaku. Bunda yang senantiasa ada buat anak-anaknya. Bunda, adalah pahlawan bagi kami. Malaikat kami, yang tak pernah merasa bosan, letih dan jenuh memberikan seluruh waktunya bagi kami. Tanpa keluhan, tanpa rintihan, tanpa tangisan. Walau yang harus ditanggungnya demikian pedih, berat dan sulit. Dari beliaulah kami tahu bagaimana harus bersikap, berbuat dan berperi laku. Keteladanan beliau menjadi cermin bagi kami semua. Tubuhnya masih tegap walau tak gemuk tapi bundaku adalah wanita yang gesit, wanita yang tak suka berdiam diri. Ada saja yang dilakukannya di kala mata terbuka. Diam dan berhenti adalah ketika beliau tidur. Itu saja. Kulitnya sedikit keriput, wajahnya bersih, jernih, bercahaya. Karena banyak terusap air wudhu mungkin ya? Sholatnya memang tekun, tak ada malam yang terlewati tanpa sujud-sujud malam, tanpa senandung-senandung merdu Al Quran. Pandangannya yang teduh menimbulkan rasa nyaman tersendiri bagiku.
“Man…. Kapan kau penuhi permintaan Ibu?” tanyanya suatu saat, ketika selesai makan malam.
“Masakan ibu enak, Rahman suka.” kataku sambil tersenyum.
“Kau alihkan pembicaraan Man…. Bukan menjawab pertanyaan Ibu.” sahut ibu sambil menatapku lekat-lekat.
Kalau sudah seperti ini situasinya, aku tak bisa berkata-kata. Kuambil tangan ibu, kuciumi, dengan ini ingin kusampaikan pada ibu bahwa pertanyaan itu sungguh meresahkan dan aku tak bisa menjawabnya. Hanya lewat getaran-getaran halus yang kusampaikan ibu akan menerimanya dan merasakan kegelisahanku.
Sebenarnya itu adalah pertanyaan yang wajar disampaikan ibu pada anaknya, apalagi bila si anak sudah cukup dewasa. Tentunya ibu menanyakan hal itu karena kakak dan adikku sudah berkeluarga semua. Tinggal aku yang masih tinggal bersama ibu. Pertanyaan klise yang pasti akan ditanyakan oleh seorang ibu pada putranya yang sudah dewasa.
Namun setiap kali pertanyaan itu terlontar dari mulut ibu, lidahku selalu jadi kelu. Banyak kata-kata yang ingin kuungkapkan namun tak pernah ada kata yang mampu terucap. Betapa inginnya aku membahagiakan hati ibu. Kurasa tak ada seorang anakpun yang tidak ingin membahagiakan hati ibunya. Begitu juga aku. Kebahagiaan ibu menjadi prioritas utama. Kalaupun aku harus memilih manakah kebaagiaan yang akan kau pilih, bahagia dirimu atau bahagia ibumu, maka aku akan memilih kebahagiaan ibu.
Masih lekat dalam benakku, bagaimana ibu harus mengasuh kami berlima sendirian. Waktu itu betapa seringnya aku melihat ibu menitikkan air mata sendirian ketika menunggui kami makan tanpa ibu sendiri makan. Setiap kali kami meminta ibu untuk makan, beliau hanya tersenyum dan berkata,
“Melihat kalian makan ibu sudah merasa kenyang.” Waktu itu kami belum tahu apa yang ibu rasakan kecuali melihat air mata haru yang menitik di pipi ibu. Lalu ibu akan memeluk kami erat-erat. Aku baru merasakan saat ini ternyata itu adalah cara ibu untuk mencari kekuatan demi hari-hari mendatang. Sering juga malam-malam ibu datang melihat kami tidur berimpitan, kadang aku melihat sembunyi-sembunyi karena tidurku belum pulas, ibu memandangi kami lekat-lekat lalu akhirnya ibu akan menyeka sudut matanya degan ujung kebaya atau lengannya kemudian menjauh perlahan-lahan.
Sejak 15 tahun yang lalu ibu menggantikan posisi bapak sebagai tulang punggung keluarga. Menghidupi 5 anak yang masih membutuhkan banyak biaya. Ibu yag semula hanya ibu rumah tangga harus banting stir menjadi tulang punggung keluarga. Untunglah kami masih punya dua petak sawah yang bisa kami. Di kebun masih banyak tanaman yang bisa kami ambil daunnya sebagai sayuran.
“Man…tak adakah gadis-gadis di sini yang menarik hatimu?”
Aku hanya tersenyum tanpa menjawab. Ya… beberapa dari mereka memang cantik dan pantas dijadikan istri. Tapi tak ada satupun yang bisa menyentuh hati. Polah tingkah gadis-gadis itu, polah tingkah orang tua mereka, kadang secara tidak sengaja memintaku untuk menjadi menantunya, sering memang membuatku risau. Tapi tak bisa kupungkiri, bahwa tak satupun dari mereka yang sempat singgah di hatiku. Sayang memang. Di hatiku hanya ada satu wajah, satu nama yang telah merebut seluruh hati, perasaan, pikiran dan perhatianku. Tak ada gadis lain, tak ada nama lain yang terukir selain dia. Namun aku belum bisa menyampaikannya pada ibu, karena aku tahu itu belum saatnya. Aku belum mampu menundukkannya, aku takut yang kurasa ini hanya bertepuk sebelah tangan, tanpa bunyi. Aku juga belum bisa memberikan rambu-rambu apapun pada ibu tentang itu.
“Kau pasti sudah jatuh hati pada seseorang Nak. Ibu tahu itu.”
Beginikah cara ibu menggiringku untuk sebuah jawaban? Tidak vulgar. Hati-hati sekali, hingga aku tak merasa bila ibu akan menjebakku dengan pertanyaan seperti ini. Aku seperti anak ingusan yang baru jatuh cinta. Tak bisa berkata-kata selain tertunduk malu. Benar bu, aku baru jatuh cinta, kataku dalam hati. Tak sanggup aku menentang mata ibu yang menghujam, menghakimi.
“Sering ibu dengar kau telepon malam-malam, suaramu riang dan ringan, setelah itu kau akan menjadi lebih bersemangat melakukan sesuatu. Wajahmu penuh senyuman. Kerianganmu bisa ibu rasakan Man.”
Ibu betapa ingin aku menceritakan semuanya kepada ibu. Tapi aku takut ibu akan kecewa. Karena aku sendiri belum yakin akan apa yang terjadi. Aku masih gamang. Antara ya dan tidak. Walau hatiku sudah yakin seyakin –yakinnya. Aku jatuh cinta pada pertemuan pertama Bu. Namun aku juga minder, rendah diri di hadapannya. Aku merasa bukan apa-apa dibandingkan dirinya. Aku tidak mau menjadi pungguk merndukan bulan. Walau aku selalu dirundung rindu, hari-hariku dipenuhi olehnya. Tak terlewat waktu sedetikpun tanpa memikirkannya. Aku tak bisa berbuat tanpa memikirkannya, hari-hariku jadi riang tiap kali menerima berita darinya. Tiap kali kuterima telepon aku selalu berharap itu adalah telepon darinya, bila kubuka ponselku menerima sms aku selalu berharap itu berasal darinya. Hari-hariku jadi lebih bergairah karena ada yang selalu kutunggu. Hanya karena menanti sesuatu darinya, akan menumbuhkan semangatku. Ibu harus bersabar bu, menanti yang tak pasti, tapi aku yakin suatu saat pasti dia akan bisa kuperkenalkan pada ibu, yakin itu bu.