Laman

Rabu, 04 Agustus 2010

10. Hadirmu Hapuskan Rindu

Sudah 3 bulan Faza pindah tugas di kantor pusat. Pertemuan terakhir kami di halaman rumah Oomnya saat itu. Pertama kali aku menemukan Faza yang bisa menangis. Walaupun suaranya sering kali kudengar. Sejak saat itu, bisa dipastikan dua atau tiga hari sekali kami berbincang via telepon. Sms tak pernah lupa terkirim tiap harinya, walau hanya sekedar say hallo saja. Jarak yang jauh tak jadi kendala, karena kami tetap bisa berhubungan walau sebatas lewat telepon. Rindu ini sudah membuncah, tapi aku belum bisa memutuskan untuk mengunjunginya di tempat kerjanya yang baru.
Kuhabiskan waktuku sehari-hari dengan menekuni sawah dan kebun. Urusan sawah kuserahkan sepenuhnya pada pakdhe Wongso, aku cukup melihat saja, sesekali membantu mencari air buat mengairi sawah. Kebun dan kios tanggung jawab Jito dan Tihat. Aku mencoba membuat silangan baru, memburu jenis-jenis baru, menambah koleksi anggrek agar tidak mengecewakan pelanggan. Tidak mudah memang, tapi membutuhkan kecermatan.
Siang itu aku sedang sibuk di kebun belakang kios ketika Jito mencariku.
“Mas…ada pembeli tapi kami nggak laku, dia minta dilayani Mas Rahman katanya…!” katanya sambil bersungut-sungut.
“Siapa sih… orang baru?” tanyaku pada Jito sambil bergegas ke depan.
“Mungkin Mas…. dia maunya sama Mas Rahman saja.” sahut Jito sambil mengiringkan aku berjalan.
Sebuah taksi merah berhenti di depan kios. Pengemudinya berdiri di samping pintu. Aku berjalan mendekati. Belum sempat menyapa, pintu belakang terbuka. Sebuah wajah hadir menampakkan senyumnya.
“Faza….” Seruku tak percaya.
Kuhampiri dia kubimbing tangannya keluar dari mobil. Kugenggam tangannya erat-erat. Ingin aku memeluknya memuaskan rinduku, tapi aku hanya bisa terpana. Menatapnya lekat-lekat. Celana jeans, blus putih, jilbab putih, dengan riasan tipis, satu kata mewakili penampilannya, memikat. Justru dalam kesederhanaan tampilannya itulah Faza membuatku terpana. Faza hanya tersenyum.
“Bapak boleh jalan-jalan dulu, nanti dua jam jemput saya lagi ya Pak?” katanya pada pengemudi taksi.
“Baik Bu.” Setelah menjawab sopir taksi itu masuk dan pergi meninggalkan kami.
“Kau singgah hanya sebentar Za?”
“2 jam cukup kan?”
“Terlalu cepat.”
“Mana lebih baik, 2 jam atau tidak sama sekali ?” tanya Faza mengajukan pilihan. Aku tentu akan tetap memilih untuk bertemu, walau hanya sekejap mata, aku mau.
“Mas terlalu rindu.” Faza tak menanggapi hanya tersenyum, mengedarkan pandangannya ke kebun anggrek. Seperti orang yang baru mengenal tempat ini. Tanpa memperhatikan aku sedikitpun.
“Faza nggak kangen Mas?” Kuungkapkan terus terang perasaanku.
“Nggak.” Jawabnya tegas.
“Kalau wanita bilang tidak maka dalam hatinya bilang ya.” ingin aku menggodanya, kata orang, wanita sering menyembunyikan perasaannya. Walau aku tahu, tak mungkin Faza mau singgah kalau dia tidak punya perhatian khusus padaku.
“Heeeee… siapa bilang?”
“Orang-orang tua….?”
“Kakak tu yang bilang, kalau bagi Faza tidak tetap tidak.”
“Lalu kenapa Faza kemari?”
“Mau ketemu ibu.” Ketemu ibu? Nggak salah dengar? Buat apa ketemu ibu? Padahal dia baru sekali ketemu ibu. Kalau buat ketemu putra ibu, itu adalah hal yang wajar.
“Mau ketemu putra ibu?” aku masih ingin menggodanya.
“Bukan! Mau ketemu ibu.”
“Buat apa?”
“Kangen aja sama ibu!”
“Sama ibu apa sama ibu?”
“Ya dah…. Aku pulang aja kalau Kakak nggak percaya.” Merajuk dia. Merasa ku goda. Akupun luluh. Bisa buyar kalau dia sampai marah dan puasa bicara lagi.
“Jangan dong…. Mas yang rindu sama Faza. Mas nggak peduli Faza rindu sama Mas atau tidak. Ok….?”
Kugandeng tangannya menuju kios, Tihat dan Jito masih asyik merawat tanaman di kebun. Udara tidak terlalu panas. Kami duduk berhadapan, sengaja aku ingin pandangi wajah Faza sepuasku. Yang kupandang salah tingkah, jadi gelisah. Tangan kanannya disapukan ke depan wajahku, menghapus pandangan darinya. Dianggapnya aku melamun. Tak kusiakan kesempatan itu, kutangkap tangannya. Dia mencoba mengelak, tapi terlambat karena tanganku sudah menangkapnya. Aku tersenyum penuh kemenangan. Kupegang erat, gemas aku jadinya. Akhirnya dia mengalah. Kuteliti telapak tangannya. Garis-garisnya tegas. Kubolak-balik tangannya yang dingin dan kuraba garis tangannya dengan gaya seorang peramal.
“Bisa ramal pa Kak…?” Faza bertanya sambil tersenyum memperhatikan tingkahku.
”Pinter....” kataku.
”Ah yang bener Kak... garis mana yang sedang Kakak baca?” dia bertanya dengan antusias, duduknya beringsut mendekat, tapi ada meja yang menghalangi kami. Pandangannya pada telapak tangannya yang kupegang.
”Kau tak mudah jatuh cinta, tapi kalau sudah cinta, kau cinta sampai mati....” kataku serius.
”Trus gimana Kak.... apalagi...?” dia semakin penasaran.
”Saat ini kau sedang jatuh cinta.... ”
”Garis mana sih yang menunjukkan itu ?”
”Lihat mataku Za.... !” bagai orang yang terhipnotis dia melakukan apa yang kuminta. Memandangku dengan penuh rasa ingin tahu.
”Ada cinta berkobar dimatamu....” dia tak sadar kalau aku sedang menggodanya, melihat kedalaman telaga di matanya.
“Ah yang bener Kak? Bener Kakak bisa melihatnya?” Siapa yang tidak bisa membaca mata orang yang dicintainya Za? Aku mudah menemukannya, karena aku yang memilikinya. Kilat-kilat dimatamu itu aku yakin adalah milikku. Kau terlalu angkuh buat mengakui. Atau kau hanya mencoba buat menutupinya? Sikap dan perilakumu sudah menunjukkan semua, tanpa kau sadari.
”Apakah kau tak merasakannya?”
”Ada sih.....” jawabnya tersipu. Ayo Za, mengakulah kalau kau juga punya cinta untukku, bisikku dalam hati.
“Tanganmu dingin… sering begini ya…?”
”Dingin Kak? Masak sih...?”
”Tangan orang yang sedang dibakar api cinta...”
”Ah Kakak lama-lama ngelantur nggak jelas...”
“He…. Panggil aku Mas….. ingat?”
“Gak ah… aneh…”
“Ya udah, tangan ini gak kan kulepaskan…!”
“Nggak pa pa…”
“Hee …seneng ya kupegang…?”
“Lho yang pegang kan bukan aku, tapi Kakak….”
“Za…”
“Apaan sih….?”
“Mas seneng bisa pegang tangan Faza…. Bisa salurkan hawa hangat.”
“Ya udah…. Pegang aja terus….”
“Benar nih…. Ikhlas….?”
“Bener…. Ikhlas….!”
“Kapan Mas bisa pegang tangan ini tanpa pernah melepasnya lagi….?”
“Lho katanya mau dipegang terus….”
“Kapan….?”
“Yach…. Terserah Kakak….”
“Jadi Faza sudah siap sekarang?”
“Siap apa?”
“Siap nikah?”
“Ahhh….. Aku belum ingin menikah sekarang Kak…. Masih banyak yang belum teraih…. “
“Lho tadi Faza bilang Mas boleh pegang tangan Faza terus tanpa melepasnya, berarti Faza nggak boleh jauh-jauh dari Mas dong….!”
“Faza kan masih disini…. Nggak jauh dari Mas…. Faza juga nggak mau lepaskan tangan Faza ini kalau Mas belum melepasnya….”
“Kau terlalu pandai Za…. Terlalu pandai mengalihkan perbincangan.” gemas aku dibuatnya dengan jawaban-jawabannya yang diplomatis.
“Nggak koq Mas…. apa adanya aja… aku nggak mau terlalu mengada-ada….”
Kuciumi tangan Faza. Rasa haru tiba-tiba menyeruak, hasrat yang menggebu amat terasa, rasa rindu ingin segera menikah dengan Faza tak terbendung. Kugenggam dengan kedua tanganku, kucium, mataku terpejam tak mampu menatap Faza lebih jauh, meredam gelora rasa yang menggebu tak tertahankan. Meredakan degub jantung yang bertalu. Bukan mereda, bahkan membuatku makin tersiksa, ya rasa tersiksa yang nikmat. Masih terasa telapak tangan Faza yang dingin, tak mampu kualirkan kehangatan padanya. Desir nadinya saja yang mengalir kian cepat dalam genggamanku. Aku tak mampu terjemahkan apa yang terjadi. Apa sebenarnya yang kami inginkan, aku dan Faza. Yang ada hanya diam, beku. Di sela degub jantung yang keras dan nadi yang mengalir deras. Sunyi, tapi semua penuh makna, sarat gejolak jiwa, tanpa kata, karena lidah jadi kelu.
Aku tersadar karena Faza mengeratkan pegangannya, menyelusupkan jari-jari tangannya diantara jari jemariku. Ada rindu yang terasa. Biarlah tak ada kata yang terucap, biarkan jari jemari ini saling bercerita, tentang rindu dan cinta yang ada di hati pemiliknya. Biarlah jari jemari ini saling berpaut, mengguratkan nada dan irama agar jadi serenade.
Ketika aku membuka mata, melihat wajah Faza yang pias, hadirkan luka menyayat. Mengapa setiap kali kami beradu rasa, aku harus melihat butiran bening mengalir di pipinya. Air mata bahagiakah itu? Atau justru sebuah luka menganga? Kuulurkan tangan menyentuh pipi yang basah, sebuah sentuhan penuh rasa, meghapus air mata yang belum sempat turun semuanya. Berangsur wajah Faza merona. Kuangkat dagunya, aku ingin melihat apa yang sebenarnya ada di matanya yang bulat jernih. Kucari cinta di matanya, kucari binar-binar bahagia yang hadir kala itu. Tapi mata itu tak juga terbuka, justru butiran bening itu makin banyak mengalir. Faza membiarkannya jatuh. Aku telah melukainya. Maafkan aku Za. Kueratkan peganganku.
“Za….maafkan Mas ya…”
Mata Faza terbuka, bulat jernih, tapi kali ini tersaput air mata. Dia mencoba tersenyum.
“Mas tidak berniat membuatmu terluka.”
Kulihat sinar bening di matanya yang bulat. Binar itu terlihat lagi dimatanya. Menyilaukan. Faza hanya menggelengkan kepala. Lalu kami terdiam cukup lama, bicara dengan hati masing-masing. Pikiran kami mengembara, entah ke negri asing yang mana.
“Nggak koq Mas, tak ada yang perlu dimaafkan, Faza terharu saja. Melihat Mas memperlakukan Faza bak putri impian. Faza tak bisa menahan diri.” Tiba-tiba Faza bicara lirih. Dia mengambil tissue dari dalam tas, menyusut hidungnya dan mengusap pipinya dengan hati-hati.
“Faza memang putri impian di hati Mas. tak sabar rasanya Mas harus menunggu terlalu lama. Namun sesuai janji, Mas akan tunggu sampai kapanpun, sampai Faza siap.” Kataku penuh percaya diri.
“Faza percaya Mas, Mas sabar saja Faza pasti memberi tahu kalau Faza sudah siap.”
Dia berkata sambil tersenyum. Senyum yang riang, begitu mudahnya dia berubah, semula sendu berurai air mata, dalam sekejap dia sudah bisa mengendikan dirinya seperti tak terjadi apa-apa. Hanya matanya yang tidak bisa menipu, bila dia baru saja berurai air mata.
“Boleh bertemu ibu Mas?”
“Faza nggak minum dulu? Mau apa? Air putih atau teh botol?”
“Nggak usahlah Mas, aku mau ketemu ibu saja, nggak enakkan kalau nggak menemui ibu?”
“Kalau ibu tahu Faza kemari, pasti ibu menanyakan, Mana Man calon menantu ibu yang cantik itu….?” Sahutku menggoda. Kami berjalan bersisihan di kebun anggrek.
“Huuuuu….. perayu…” tangannya meluncur mencubit pinggangku, kali ini kubiarkan tangan itu bebas melakukannya.
“Lho, harus dengan apa kubuktikan…?” aku berbalik, berdiri di depan Faza memegangi bahunya.
“Dengan apa ya?” katanya sambil memejamkan matanya telunjuknya menempel di pelipis. Kutempelkan kedua jariku dibibirnya. Faza mendesah dan membuka matanya.
“Mas….” katanya sedikit membentak. Keluar galaknya dia.
“Suit….suit….suit….” Tihat dari kejauhan bersiul melihat tingkah kami. Jito tertawa-tawa.
“Nah tu….jadi bahan tertawaan kan…!”
“Biar saja… paling-paling mereka iri…!”
“Jahat!”
“Jangan marah dong, Mas jadi gundah gulana.”
“Biar aja. Biar terasa.”
“Terasa apa?”
“Terasaaaaaa…… rindunya… ha…. ha…. ha…. ha….” Katanya sambil berlari menuju rumah meninggalkanku yang terpesona melihat tingkahnya.
Faza yang kuhadapi kali ini adalah Faza yang sungguh berbeda. Faza yang riang penuh canda, bukan lagi Faza yang jaim dan sedikit angkuh. Inikah Faza yang sebenarnya?
Dari jauh kulihat Faza yang sudah berpelukan dengan ibu, seolah anak yang baru kembali ke pangkuan ibunya. Terlihat wajah ibu yang bahagia menggandeng Faza masuk ke ruang dalam. Semula ingin mengikuti Faza dan ibu, tapi akhirnya kubiarkan saja mereka saling melepas rindu. Biar mereka puas menyampaikan perasaannya masing-masing. Semoga ini menjadi angin baik hubungan kami. Karena aku tidak ingin menikah hanya untuk diriku sendiri tapi juga untuk ibu dan keluarga besarku.
Aku kembali ke kebun belakang kios, membenahi beberapa alat yang tercecer saat kutinggalkan tadi. Melihat bibit-bibit yang baru dipindahkan ke pot-pot yang lebih besar membangkitkan semangat untuk berbuat. Bibit-bibit itu akan tumbuh menjadi besar, kemudian berbunga menampilkan kecantikkannya. Aku yakin, benih-benih yang ada dalam hati kamipun demikian, bila dipupuk, disirami, maka benih itu pasti akan tumbuh menjadi lebih besar dan subur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar