Laman

Kamis, 05 Agustus 2010

7. Komposisi itu Menyihirku

“Mlm Za…dah bb’?” tanyaku via sms malam itu sepulang dari kios. Belum malam benar, baru jam 21.13.
Aku baru ingat kalau besok tgl 30 Des, hari-hari terakhir bulan ini. Dua hari lagi tahun baru. Biasanya malam tahun baru istimewa, banyak anak2 muda memenuhi jalan. memenuhi tempat-tempat hiburan yang menggelar berbagai hiburan, untuk merayakan datangnya tahun baru.
Di ruas-ruas jalan memang sudah banyak penjaja terompet menawarkan dagangannya. Terompet dari berbagai ukuran. Dari yang besar sampai yg kecil, dari yang sederhana sampai yang cukup rumit pembuatannya, tentunya semua itu akan berpengaruh pada harga terompet. Namun bagi penggemar terompet, masalah harga bukan hal penting, yang penting bisa meniup terompet di jalanan saat malam tahun baru. Berkumpul di jalan-jalan protocol atau bahkan konvoi keliling kota dengan meniup terompet mendatangkan kepuasan tersendiri.
“Mlm kak….blom bb’, da pa?” Faza membalas smsku singkat.
Semoga kali ini dia mau kuajak jalan. Lusa kan malam istimewa bagi anak muda, tentunya Faza juga mau keluar melihat-lihat situasi luar. Menikmati ramainya jalan raya. Mengunjungi tempat-tempat hiburan yang dibuka khusus buat merayakan datangnya tahu baru. belum jelas sekali sih, tempat hiburan buat anak muda yang dibuka di kota Faza, tapi yang jelas ada tempat hiburan yang selalu menampilkan pentas musik, kata teman-teman yang sudah pernah melihat cukup bagus.
Besar harapanku bisa mengajaknya jalan bersama setelah aku diberi kesmpatan buat ke rumahnya beberapa waktu yang lalu. Mengenal keluarga yang ceria. Ayah, ibu dua adik Faza serta seorang paman, adik bungsu ibu Faza. Walau waktu itu tidak bisa mengenal semuanya secara utuh, tapi paling tidak aku bisa melihat orang-orang yang disayangi Faza, melihat keakraban mereka.
“Lusa malam tahun baru Za…!”
“Trus….”
“Mau jalan2 ga?”
“Kemana?”
“Nonton musik….”
“Di…?”
“Di kotamu, mana yang paling bagus, hiburannya?”
“Mana ya? banyak sih Kak. Mau nnton pertunjukan musik, balap motor semalam suntuk, pesta kembang api?”
“Mau gak…?”
“Biar nanti Faza bilang Mama dlu ya…!”
Bilang mama? Jadi untuk pergi keluar dia tetap minta ijin ibunya? Kadang aku berpikir bahwa dia bisa keluar kapanpun dan kemanapun tanpa ijin pada ibunya. Tapi ternyata dia masih gadis yang baik, yang keluar rumahpun dia masih meminta ijin pada ibu. Makin simpati aku padanya. Banyak hal yang belum kuketahui tentang Faza. Dia masih misterius. Dengan sikap dan tingkah lakunya. Disatu sisi Faza bilang ya, tapi disisi lain dia bilang tidak. Apa yang kau inginkan gadisku? Hai …gadisku? Kan belum pernah jadian dan dia belum pernah mengatakan suka padaku? Akupun belum pernah menyatakan sesuatu, selain memberinya perhatian yang lebih, itu saja. Walau kalau ditanya apakah aku mencintainya? Maka jawabanku tegas, aku sangat mencintainya. Hanya jujur aku belum punya kesempatan yang tepat buat mengatakannya, akupun belum punya keberanian untuk itu. Aku masih merasa gamang, takut akan mendengar penolakan. Walau itu adalah sebuah resiko. Meminta tidak selalu mendapat apa yang diminta, bisa jadi yang akan diterima adalah penolakan. Dan itu hal yang wajar. Tapi aku belum siap buat ditolak. Lalu kapan?
“Ok…kutunggu kbrmu ya!”
“Ok…!” singkat padat jawabannya.
Selalu begitu jawaban-jawaban yang datang darinya. Jarang ada basa-basi. Tak ada sms lagi, sampai malam tak ada berita darinya. Aku menanti dengan harap-harap cemas. Banyak yang kupikirkan tentang pertemuan yang akan datang. Sampai jam berapa dia diijinkan keluar? Jam 9 malam harus pulang, atau jam 10 karena ini malam istimewa, atau bahkan boleh tengah malam setelah pergantian tahun? Semua itu tak terlalu penting buatku, aku tak perduli, sampai jam berapapun yang penting aku punya kesempatan buat ketemu Faza, kalau tidak diijinkan keluarpun asal aku boleh mengunjunginya, itu sudah lebih baik. Aku merasa sedikit demi sedikit aku sudah mulai bisa mendekati Faza, namun semua itu tak mudah, butuh waktu dan kesabaran. Pendekatanku ini sudah berjalan setahun, tapi baru kali ini aku hampir mengajaknya jalan bareng. Hampir? Ya….karena belum terjadi. Waktu-waktu sebelumnya aku tak pernah diijinkan buat menjemputnya di rumah. Semoga kali ini aku diijinkan buat menjemput. Ada rasa tersendiri boleh menjemput di rumah, karena aku merasa lebih bisa bertanggung jawab, aku ingin mengambil hati Faza dan keluarganya. Wajah dan senyumnya hadir lagi malam ini, lebih manis, mengantarku terlelap menghabiskan malam.
Gelisah aku menanti kabar dari Faza. Sehari ini tak ada kabar sama sekali. Aku harus sabar menunggu, aku yakin dia akan memberi kabar, tapi kapan? Ini sudah jam 23.18. dia pasti sudah tidur. Sebenarnya aku lelah sekali hari ini, setelah seharian beraktifitas. Menunggu berita dari Faza membuatku susah buat lelap. Semacam penyakit yang selalu kambuh, begitu juga kenangan tentang Faza, selalu membuatku resah dan gelisah, tak ada rindu yang terpuaskan tentang Faza. Dia sudah jadi virus yang siap menjangkiti, membangkitkan penyakit rindu dan insomnia, membuat hati selalu berdesir-desir, dan jantung makin cepat dan keras berdegup-degup, meningkatkan adrenalin, mengurangi selera makan. Bikin orang selalu termangu-mangu dan mengawang-awang, ingin selalu mengingat dan berimajinasi.
Aku bangkit, mengambil air wudhu. Mengurangi resah yang mencengkeram. Bagaimanapun besok aku harus tetap fresh, beberapa pelanggan akan mengambil barang dalam jumlah banyak, aku harus membantu Tihat dan Jito di kios, walaupun tanpa akupun mereka bisa mengatasinya. Tapi yang namanya pelanggan selalu saja mencariku dimana berada. Demi pelanggan aku harus siap. Kamar ibu sudah tertutup. Ibu pasti sudah tidur, satu atau dua jam lagi beliau pasti sudah terbangun kembali. Hati-hati aku menutup pintu kamar, takut mengganggu ibu. Bersujud aku, kuserahkan semua padaNya, apapun kehendakNya aku harus bisa menerimanya. Kupanjangkan sujudku, mohon ampunan dan mohon yang terbaik, memohon ridhoNya.

“Kak…nanti jadi kan?” adzan subuh belum selesai berkumandang ketika sms Faza masuk.
Dering ponsel karena sms masuk telah membangunkanku. Terlalu nyenyak aku tidur. Sampai tidak mendengar adzan subuh. Terlalu kau Man, masa nggak dengar adzan subuh, biasanya kau rajin? Aku memarahi diriku sendiri yang terlena. Beberapa hari ini kalau aku tidur terlalu malam, sering bangunku agak kesiangan, biasanya sebelum adzan subuh aku sudah bangun, bisa sholat fajar, tapi akhir-akhir ini waktu sholat fajar terlewat begitu saja.
“Mksih ya, kau tlah bangunkan aku…nanti jadi dong…jam brapa ak hrus menjemputmu?”
“Wah mf deh, tlah ganggu Kkak, kupikir Kkak pasti tlah bangun…terserah aja deh…Kkak mau jmput jam brapa aku ngikut…!”
“Smalam ak ga bisa tidur, nunggu brita dari kamu…”
“Ah Kkak kyak ank kecil aja…knapa g sms pa tlpon Faza aja?”
“Takut ganggu Faza aja…”
“Uhh Kkak gitu sih…padahal aku jga tunggu sms dri Kkak…!”
“Yang bener Za….kau tunggu smsku?”
Tidak percaya rasanya membaca sms Faza yang terakhir. Tidak percaya kalau ternyata dia juga berharap berita dariku. Berarti sebenarnya selama ini dia juga memperhatikanku, walau aku tak tahu sebesar apa perhatian yang dia berikan itu. Ada satu titik terang yang membuat langkahku menjadi lebih ringan. Ya…karena perhatian dari Faza tentunya. Sejak kapan dia memberikan perhatian padaku? Ah jangan tanya, aku tak mau Faza marah atau malu karenanya.
“Mang ga boleh?”
“Boleh Za….boleh banget. Tanks ya…habis maghrib insya Allah Kkak dah sampai….”
“Tanks buat apa?” polos Faza bertanya.
“Buat perhatianmu….hehehe”
“Huuh….narsis….”
Kubayangkan dia cemberut sambil melotot. Lucu sekali. Biasanya kalau sudah begitu dia akan melayangkan tinjunya. Pukulan spontan, tapi lebih terasa sebagai pukulan sayang. Ingin suatu saat kutangkap kepalan tangannya, sungguh aku ingin tahu reaksinya. Apa yang akan dia lakukan? Mengelak, atau menyerah? Sebuah tantangan yang tak mudah terwujud. Aku tersenyum sendiri membayangkan kalau dia mengelak sambil tertawa-tawa. Senyum dan tawanya itu yang membuatku jatuh hati. Faza…Faza…kau telah merebut seluruh perhatianku, merebut seluruh hatiku.
“Jangan marah dong…dah ga usah diambil hati aja deh…ingat ya… sampai nanti…”
Tak ada jawaban lagi. Entahlah mungkin dia marah, tapi aku berharap itu tak terjadi. Dia tak menjawab karena dia sudah mulai dengan kegiatan rutinnya. Bukankah kita punya kegiatan rutin yang selalu kita lakukan pagi-pagi?

Mendung tersaput tipis di langit. Semoga tidak hujan. kalau memang hujan jatuh toh kami, aku dan Faza tidak perlu keluar rumah, cukup duduk-duduk dan berbincang di rumahpun aku sudah berbahagia.
“Aku berangkat sekarang Za…” ku sms Faza saat aku menjelang berangkat. Sekedar sebuah pemberitahuan.
“Ok….hati2 ya Kak!” dia menjawab singkat, tanpa basa-basi atau penjelasan apapun.
Aku pamit pada ibu kalau nanti malam mungkin tidak pulang ke rumah. Ibu tak banyak memberi komentar, hanya memintaku untuk behati-hati. Aku sudah pesankan pada adik sepupuku yang kuliah di Yogya kalau aku akan menginap disana malam ini. Dia mengijinkan, tapi nanti harus saling memberi kabar. Aku sudah katakan kalau ingin mengunjungi kota itu saat malam tahun baru. dia sanggup memberi tumpangan, sekedar tempat untuk meluruskan punggung. Beberapa kali memang aku pernah mengunjunginya di tempat kostnya.
Di sepanjang jalan sudah berderet penjual terompet, apalagi ketika memasuki gerbang kota. Sampai di Borobudur plaza aku belok kiri menuju Jetis Pasiraman, tempat kos adik sepupuku. Saat maghrib masih setengah jam lagi. Aku berencana sholat maghrib di kos adikku itu. Alhamdulillah, dia belum pergi, bahkan sengaja menunggu kedatanganku.
“Mas Rahman, gabung kami aja jalan-jalan, biar ada temennya, tapi kita makan malam dulu ya Mas?” Gandung menawarkan bergabung bersama teman-temannya.
“Gak usahlah, kalian pergi saja, aku nggak mau mengganggu acara anak-anak muda. Masalah aku gampang.” Kataku. Aku memang tidak menceritakan pada Gandung kalau sebenarnya aku akan menemui seseorang malam ini.
“Walah . Mas Rahman ini kayak orang yang sudah tua aja. Gak papa Mas, Mas masih kliatan muda kok…” ya memang umurku dengan Gandung terpaut tidak terlalu jauh, hanya 4 tahun.
“Makasih Ndung. Aku sudah ada janji …!”
“Ya udah, ni Mas Rahman bawa kunci sendiri, nanti aku bawa sendiri jadi kalau pulangnya tidak bersamaan kita tetep bisa masuk rumah.”
“Begitu juga boleh Ndung.”
Adzan Maghrib terdengar, segera kuambil air wudhlu, melaksanakan kewajibanku. Selesai sholat aku bersiap ke rumah Faza.
”Aku keluar dulu saja ya…mau lihat-lihat pameran tanaman di depan Galeria dulu..”
Ke rumah Faza, aku lewat Galeria. Ada penjualan tanaman hias yang digelar disitu. Mungkin besok aku akan mampir sebentar, sekedar melihat harga pasar. Jalanan sudah mulai ramai, suara terompet sudah banyak terdengar, terutama dari penjual terompet. Satu dua pemuda melintas sambil membunyikan terompetnya yang teramat keras. Wajah Faza melintas. Aku tergeragap. Ahh… sudah hampir sampai ke rumahnyapun aku masih sempat terbayang wajahnya. Ponselku bergetar. Aku menepi. Nama Faza yang terpampang di layar.
“Dah ampe mana Kak?”
“Dua menit lagi sampai…”
“Orang ditanya dah ampe mana koq jawabnya 2 menit lagi…gak nyambung Kak…”
“Ya, maksudnya dah dekat, ni dah sampai jembatan layang.”
“Ok.”
Kupacu kendaraan sesegera mungkin. Faza pasti sudah lama menunggu, buktinya dia sampai menelepon, padahal biasanya kami cukup smsan saja. Sampai di depan rumahnya, ada debar yang aneh menyelinap. Aku butuh waktu buat menenangkannya. Ini hal yang sering terjadi, namun untuk ketemu dengan Faza, debar itu makin sering dan makin keras. Ada ngilu yang hadir. Pintu ruang tamu sudah terbuka, lampu teras terang sekali, tidak seperti pada umumnya, mereka suka menggunakan lampu yang terang. Di desa, di rumahku, menggunakan lampu secukupnya, untuk lampu teras paling 10 watt, lampu ruang dan kamar paling terang 30 watt, hanya rumah pak lurah yang lampunya terang benderang.
“Assalamualaikum!”
“Walaikumsalam” Faza yang menjawab sambil berjalan menuju ruang tamu.
“Kak…kirain kesasar lagi…jadi mau nonton?”
“Boleh…”
“Kita nonton di SO 1 Maret aja ya Kak…da pentas gamelan lho…”
Wah, gamelan? Apa dia pikir karena aku orang desa lalu aku suka sama gamelan? Suka sih suka, tapi tidak maniak. Masa malam tahun baru malah nonton pentas gamelan? Nggak lucu kan? Kalau hanya untuk lihat gamelan kenapa aku harus jauh-jauh kemari? Tiap ada orang punya hajat umumnya ada alunan gamelan. Apa sih yang menarik? Atau dia hanya nguji aku saja? Nonton pentas musik mungkin lebih keren daripada nonton gamelan.
“Kau suka gamelan Za…?” tanyaku meyakinkan.
“Suka…kadang pentas gamelan bisa membiusku…!”
Duh, gadis macam apa sih yang aku temui sekarang ini? Masa nonton pentas gamelan saja bisa terbius. Aku yang sudah terlalu sering mendengarkan gamelan saja nggak pernah bisa terbius. Kalaupun nonton pentas wayang paling saat goro-goro saja yang menarik.
“Nggak ingin nonton pentas musik yang lain?”
“Kakak ingin nonton apa dan dimana?”
“Di Purawisata biasanya ada pentas yang meriah…?”
“Haaaaaa….Purawisata…?” Sungguh terkejut dia mendengar kata-kataku. Sambil memandangiku menyelidik, seakan tak percaya, apa yang kukatakan.
“Kakak suka kesana….?”
Sebuah pertanyaan yang membuatku jengah. Apa ada yang salah dengan kata-kataku? Apa salahnya kalau aku mengajaknya ke Purawisata? Pandangan Faza sangat aneh. Ada rona tidak suka pada matanya. Yang sungguh aku tak tahu penyebabnya, demikian drastis perubahannya. Aku tahu Purawisata dari beberapa teman yang pernah berkunjung kesana, tapi aku sendiri belum pernah kesana.
“Belum…” sahutku jujur. Tiba-tiba saja wajah Faza yang tegang berubah. Sinar matanya tak lagi galak, tapi telah melunak.
“Kalau Kakak mau ke Purawisata gak papa, tapi Faza nggak ikut, atau Kakak ikut nonton gamelan dulu sama Faza baru nanti Kakak lanjut ke Purawisata. Ok…?”
“Boleh deh…Kakak ikut nonton gamelan saja.”
Akhirnya kuputuskan buat ikut nonton gamelan saja. Yang penting bisa bersama Faza, buat apa ke Purawisata kalau Faza tak mau ikut. Padahal aku kemari kan buat ketemu Faza. Bukan sekedar ingin nonton musik di Purawisata?
“Kita nonton rame-rame ya Kak, motor ditinggal disini dan kita naik bis saja. Mama sama adik mau ikut nonton nih…” aku tak bisa berkata apa-apa selain mengangguk.
“Nanti kita pulang jalan kaki aja ya Kak…atau naik taksi juga boleh kalau capek…” katanya sambil tersenyum.
Sejak awal tak pernah membayangkan kami akan pergi ramai-ramai, dengan ibu dan adiknya. Berangkat naik bis, pulang jalan kaki? Nggak salah tuh? Gadis yang kukenal biasa naik mobil, mau pulang jalan kaki? Buatku jalan kaki adalah hal yang biasa, tapi bagi mereka? Apa boleh buat. Aku sudah sampai disini, sudah terlanjur basah. Mau naik bis, atau jalan kaki, aku sih oke-oke saja. Bahkan dengan berjalan kaki, waktu bisa bersamanya akan menjadi lebih panjang.
Ternyata pintar juga gadis ini, dia berani mengajakku jalan karena ada pengawalnya, ibu dan adiknya. Dengan adanya mereka tentu aku tak mungkin berbuat yang aneh-aneh. Sebenarnya ingin sekali bisa menggandengnya, menunjukkan kalau aku benar-benar ingin melindunginya. Dalam situasi seperti ini sungguh suatu hal yang mustahil. Tak apalah, yang penting aku bisa bersama Faza.
Kami berangkat naik bis, dia beralasan itu kendaraan yang paling mudah, pasti kemacetan ada dimana-mana, bukan sebuah kenyamanan kalau harus membawa kendaraan sendiri. Pilihan yang cerdas. Beberapa tempat tentu sudah ditutup jalannya, tidak boleh ada kendaraan yang lewat.
Kami naik bis sampai di perempatan Gondomanan, dari situ berjalan menuju monument 1 Maret. Jalanan sudah ramai orang berjalan menuju arah perempatan kantor pos besar. Ternyata tidak semua pengunjung menuju halaman monument, sebagian ke kiri kearah alun-alun sebagian lagi ke kanan arah malioboro sebagian hanya duduk-duduk di sepanjang trotoar yang sudah dipenuhi anak muda.
Di halaman monument pengunjung duduk di lantai di depan panggung. Heran juga, penggemar gamelan di Yogya cukup banyak. Bahkan anak-anak muda adalah pengunjung yang paling banyak, sebagian turis asing yang sangat antusias, orang-orang tua juga ada tetapi tidak terlalu banyak. Kami masuk mencari tempat yang masih agak longgar. Di sisi kiri agak ke belakang masih ada tempat. Faza membimbing kami kesana. Duduk di lantai bersebelahan dengan Faza adalah hal yang baru. Ibu ada diantara Faza dan Adik.
“Kakak diam saja dari tadi….kecewa?” tanya Faza padaku setengah berbisik sambil menoleh. Wajahnya dekat sekali dengan wajahku. Parfumnya lembut tercium.
“Tidak…yang penting bisa bersama Faza…” jawabku sambil tersenyum.
“Huuuu…” spontan tangannya mencubit pinggangku sejenak, lalu segera ditariknya kembali.
Aku tak sempat menangkapnya. Kurang cekatan. Lalu dia kembali pada posisi semula. Terlihat ibu sedang berbincang dengan adik, terlalu asyik hingga mereka tak melihat ulah Faza. Pandangan kami kembali ke panggung.
Di panggung seperangkat gamelan tertata rapi di sisi kiri dan kanan, di belakang dekat background beberapa alat band. Dua pembawa acara laki-laki dan perempuan menuju podium. Acara segera dibuka. Ada beberapa tampilan gamelan yang bakal hadir. Terutama dari komunitas gamelan yang ada di Yogya. Tampilan gamelan yang menggabungkan nada-nada diatonis dan
Tampilan pertama dari komunitas anak muda pecinta gamelan. Dengan kostum teramat sederhana, disertai ikat kepala, mereka hadir dengan penuh percaya diri. Menyuguhkan 5 lagu. Gebrakan pertama adalah lagu jawa Mayar sewu, penonton histeris, applous yang sangat meriah buat pengrawit. Penonton semua terbius oleh alunan gamelan itu, tak ada suara lain selain alunan gamelan, kulihat pengunjung menganggukkan atau menggelengkan kepala mengikuti irama, mengetuk-ngetukkan tangan atau menepukkan tangan perlahan. Mereka semua menikmati. Terbius…ya terbius semua. Benar kata Faza. Tak terlihat pengunjung yang melayangkan pandangannya ke luar panggung, semua tertuju pada pengrawit yang menyuguhkan tampilan yang begitu apik. Penghayatan yang hebat, mereka menampilkan dengan penuh perasaan. Tidak sekedar memukul-mukul gamelan, tapi mereka bersatu dalam irama yang padu, tampilan yang penuh jiwa. Pengunjung maupun pengrawit semua menyatu dalam satu irama dalam satu jiwa. Kulirik Faza, dia begitu menikmati. Datang rasa malu pada diriku, semula aku begitu merendahkan pentas gamelan, ternyata akupun terbius karenanya. Begitu selesai lagu pertama formasi pengrawit berubah, untuk menuju lagu kedua dan seterusnya. Hampir setiap ganti lagu maka pengrawit akan berubah formasi.
Setelah terbius dengan alunan lagu yang pertama, aku terperangah pada lagu berikutnya. Lagu rock dut yang ditampilkan demikian apik, dinamis disuguhkan dengan sangat bagus. Tak berbeda dari tampilan pertama, suguhan kedua ini juga sangat mempesona. Pengunjung rela tak beranjak, tak ada suara lain selain decak kekaguman. Ketika acara dilanjut gamelan gaul ekspresi dan shuffle. Dan kembali berakhir dengan lagu jawa. Tak satupun pengunjung yang beranjak dari tempat duduknya masing-masing. Semua terpesona, tersihir.
Serasa tak puas aku menikmati sajian gamelan kali ini, tak biasa. Sajian gamelan yang dikemas khusus hingga bisa dinikmati oleh banyak generasi, tanpa meninggalkan pakem gamelan yang sebenarnya. Kalau sajian gamelan seperti ini ada dimana-mana maka generasi muda akan banyak yang mau menikmati gamelan. Nguri-uri kebudayaan Jawa.
“Gimana Kak….? Bagus nggak…?”
“Kakak kecewa….?”
“Kecewa? Sayang…” ada rasa tidak nyaman ketika Faza mengulang kata-kataku.
“Kecewa….kenapa selesai?” kataku tanpa menoleh sambil menahan senyum.
“Heeemmm…. Kakak jahat…” katanya gemas tanpa menengok, tapi tangannya cepat mencubit betisku. Tak kusiakan kesempatan kutangkap tangannya cepat dengan tangan kiriku. Masih dengan posisi tetap menghadap panggung menanti komunitas berikutnya menampilkan suguhannya. Dia mencoba melepaskan diri, makin dia meronta makin erat genggamanku. Aku yakin dia tidak akan berteriak, paling dia akan berusaha untuk melepaskan tangannya begitu saja. Aku tersenyum penuh kemenangan. Ayo Za, berusahalah buat lepas, biar aku punya kesempatan buat lebih dekat denganmu. Aku berkata dalam hati. Sebentar usahanya untuk melepaskan diri melemah. Kulirik Faza, diam dan wajahnya resah. Iba aku melihatnya.
“Za…” sapaku.
Tak ada jawaban, dia bahkan menunduk sambil mempermainkan ujung kakinya. Kelihatan sekali kalau sedang resah. Tangannya masih dalam genggamanku, tapi tak ada usaha lagi buat melepaskannya.
“Za…” kembali kuberbisik di telinganya. Kueratkan genggamanku, kualihkan kepangkuan. Kutempelkan ke dadaku yang gemuruh. Dengan cara itu ingin kuberitahukan Faza apa yang ada dalam hati dan perasaanku. Betapa jantung ini berdegub lebih kencang. Faza diam saja. Mendung bergayut di wajahnya. Suasana yang agak gelap membuatku leluasa mempemainkan tangannya. Tangannya yang dingin kugenggam erat, ingin kualirkan hawa hangat buatnya. Sebenarnya ingin sekali aku merengkuhnya dalam dekapanku, saat melihatnya seperti itu. Ingin memeluknya, membuatnya tersenyum bahagia. Dia mendongakkan kepalanya, seolah menatap bintang, tapi aku tahu ada sesuatu yang dia sembunyikan dan sedang diusahakan untuk tidak jatuh dari sudut matanya. Betapa dia berusaha mengerjap-kerjapkan matanya. Aku merapatkan dudukku, biar dia bisa sedikit menyandarkan badannya ke tubuhku. Tapi itu tak dia lakukan. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan dan dia rasakan. Marahkah atau justru gembira. Tak mudah menebak suasana hatinya yang bisa berubah setiap saat. Pelan-pelan kulonggarkan genggamanku, walau tetap berada di pangkuanku. Pelan-pelan dia menarik tangannya sambil menunduk dan berbisik.
“Makasih.”
Aku tak bisa berkata apa-apa, selain mengangguk. Sebenarnya aku masih ingin mengenggam tangan itu. Tapi melihatnya resah, aku merasa sangat bersalah. Ingin kutumpahkan semua rasa yang ada, biar dia tahu, bahwa aku sangat mencintainya. Namun tak ada suara yang terucap hanya dada yang bergemuruh tak terkendali.
Sampai pulang pun tak ada lagi kata-kata yang terucap antara kami, selain basa-basi di depan ibu dan adik. Sepanjang perjalanan, dengan jalan kaki, tak ada yang terucap. Sesekali ibunya menanyakan sesuatu padaku atau Faza, itu saja yang menjadi bahan perbicangan. Antara aku dan Faza sendiri tak ada percakapan sama sekali. Sesekali kuajak bercanda, Faza tak menimpali. Perjalanan malam itu menjadi perjalanan yang teramat panjang dan melelahkan.
Malam itu aku pulang dengan hati yang tak menentu. Bahagia bisa bersama Faza, namun sedih karena tak sepatah katapun keluar dari bibir Faza sampai aku pamit pulang, hanya anggukan kepala, tak lebih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar