Laman

Selasa, 03 Agustus 2010

14. Tawaran itu Menyulitkanku

Hal yang berat sebenarnya kalau aku harus mengatakan hal ini pada Faza. Tapi ternyata tak ada jalan lain yang bisa ditempuh. Beberapa hari ini terasa sekali pikiranku tersita untuk memikirkannya. Sebuah dilema. Aku tak mungkin meninggalkan usaha ini begitu saja, belum lagi tugas pemerintah yang harus kujalani benar-benar membelengguku, membuatku tak mampu berkutik.
Sebenarnya sejak awal tak ada keinginanku untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa. Namun melihat keinginan masyarakat yang menggebu memintaku untuk menduduki jabatan itu, membuatku tak memiliki pilihan yang lain. Desa kami memang sudah cukup lama tidak memiliki kepala desa, jabatan kepala desa kosong sejak pejabat lama meninggal dunia. Sebenarnya semua berjalan lancar walau kursi kepala desa tak terisi. Ketika ditawarkan untuk diadakan pemilihan kepala desa baru, tak ada yang mencalonkan diri. Hingga beberapa tahun terjadi kekosongan.
Dua bulan yang lalu, Paklik Harta kepala urusan sosial desa kami datang mengunjungi ibu, beliau adalah adik bungsu ibu. Saat itu aku sedang berada di rumah. Setelah seharian berkutat di kebun dan di kios.
”Nggak pergi kemana-mana Man?”
”Nggak Paklik, baru istirahat.”
”Usahamu maju gitu lho Man? Ada yang mbantu to? Anak mana yang mbantu?”
”Ada Paklik 6 orang. Anak sekitar sini saja, sambil mengajari mereka untuk berusaha.”
”Dah jadi pengusaha kamu sekarang ya Man?”
“Belum Paklik, ini baru belajar koq. Masih kecil-kecilan.”
”Kamu itu lho Man, bilang kecil-kecilan tapi yang mbantu koq 6 orang. Berarti kamu kan sudah mempekerjakan 6 orang, sudah memberdayakan masyarakat sekitar juga.”
”Ya berkat doa restu Paklik.”
”Beberapa hari Paklik lihat ada bis wisata yang mampir ke kiosmu.”
”Benar Paklik, mereka mampir, dari Kopeng. Akhir-akhir ini sering ada yang berhenti melihat-lihat kios.”
”Wah wis terkenal ya kiosmu ?”
”Ya paling tidak sudah ada yang mengenal.”
”Sebenarnya salah satu alasanku kemari ingin bertemu kamu Man.”
”Ada apa Paklik....sepertinya serius sekali, Paklik kan bisa utusan, biar saya yang sowan kesana.”
”Lho aku kangen juga sama mbakyu, ibumu. Sudah lama kami tidak pernah jagongan. ” katanya tersenyum.
”Ada berita apa Paklik?” aku penasaran, ingin segera mendengar alasan Paklik menemuiku.
”Pekerjaanmu bisa disambi to Le?”
“Ya asal tidak ditinggal begitu saja, anak-anak masih perlu pendampingan dalam mengelola usaha ini.”
“Paling ditinggal setengah hari, sore kamu masih bisa menemani dan mengontrol pekerjaan mereka.”
“Sajakipun wigati Paklik? ”
“Jabatan Kepala Desa kosong sudah lama, saat ini tidak ada yang berminat dengan jabatan ini, mungkin karena jabatan kepala desa di sini tidak memberikan pengharapan kecuali kerja keras.”
Ya, di desa yang luas ini, desa yang terletak di lereng gunung, jauh dari pusat kota, masih termasuk desa yang tertinggal. Desa yang terdiri dari 6 pedukuhan ini, mayoritas penduduknya adalah buruh tani, dengan penghasilan tidak menentu. Tidak ada yang bisa diunggulkan dari desa ini. Tidak ada produksi, hasil tanaman, maupun kerajinan yang dapat dijual untuk menarik pengunjung, ataupun menarik orang luar untuk memberdayakan desa kami. Ironis memang, di tempat yang sejuk dan subur ini lahan pertaniannya makin berkurang, banyak pemilik lahan yang tergiur iming-iming untuk menjual tanahnya. Satu dua tanah yang dijual itu kini telah berdiri villa-villa, yang menutup halamannya dengan pagar-pagar tinggi, yang pintu gerbangnya selalu tertutup dan terkunci. Benar kata Paklik, yang dibutuhkan oleh desa ini adalah pekerja keras.
“Benar Paklik.”
“Rasanya baru kali ini jabatan itu tidak ada yang menghendaki. Padahal kita butuh orang yang bisa membawa desa ini menuju kemajuan. Menurut pemahamanku salah seorang yang bisa menjadi kepala desa disini adalah kamu.”
”Saya tidak mengerti maksud Paklik?”
”Jabatan kepala desa memang tidak bisa dipegang oleh sembarang orang, biasanya pulung . Kau ingat, kakekmu, bapakku juga bapak ibumu adalah mantan kepala desa di desa ini. Jadi menurut silsilah kamu juga memiliki darah untuk menjadi kepala desa.”
”Paklik, saya tidak pernah berpikir untuk menjadi kepala desa.”
”Ya, seorang kepala desa sejati tidak pernah punya keinginan untuk menjadi kepala desa. Dan itu ada padamu. Tak ada pamrih. Aku jadi lebih yakin, bahwa kaulah orang yang tepat untuk menduduki jabatan itu saat ini.”
”Paklik terlalu memuji saya. Bukankah Paklik lebih tepat? Apalagi Paklik lebih berpengalaman?”
”Man, aku sudah terlalu tua untuk menduduki jabatan itu. Desa ini butuh pemimpin muda yang memiliki semangat tinggi untuk membawa desa ini menjadi lebih maju. Kalau aku yang menjadi kepala desa maka desa ini akan tetap seperti ini.”
”Paklik terlalu merendah. Kalaupun bukan Paklik, masih banyak orang yang tepat menjadi kepala desa ini.”
”Man, percayalah pada Paklikmu ini. Banyak selentingan yang menginginkanmu menjadi kepala desa di sini. Bahkan beberapa orang di kantor desa sering memperbincangkanmu, sepak terjangmu, usahamu. Menurut mereka kekuranganmu hanya satu hal yaitu kau belum beristri, tapi itu bukan syarat mutlak.”
”Keinginan saya tidak muluk-muluk Paklik. Saya hanya ingin jadi petani, bertani dengan cara kami. Mengajak teman-teman untuk berbuat agar kami bisa mandiri.”
”Nah keinginan seperti itulah salah satu yang menjadi nilai lebih buatmu. Semula kami juga heran, anak petani sekolah di pertanian, pulang kembali menjadi petani. Tapi ternyata kami harus mengacungi jempol buatmu. Karena dengan kehadiranmu kembali banyak yang kami ketahui. Banyak orang yang terbuka pandangannya, bahwa untuk menjadi berhasil tidak selalu harus meninggalkan desanya.”
”Hanya itu yang bisa saya perbuat Paklik. Tapi saya benar-benar tidak berminat dengan jabatan itu.”
”Pikirkanlah kembali, demi desa ini. Bukan hanya demi kita berdua, tapi bagi seluruh warga desa.”
“Saya sudah memberi jawaban yang jelas Paklik.”
”Bagaimanapun tumpuan harapan kami hanya padamu.”
Kata-kata Paklik seperti sebuah paksaan buatku. Dalam pikiranku keinginan Paklik terlalu mengada-ada. Masih banyak orang lain yang mampu di desa ini dibandingkan denganku. Tak pernah terbayangkan sedikitpun dalam benakku untuk menjadi kepala desa. Yang menurutku merupakan jabatan yang cukup berat, menjadi pelayan masyarakat banyak, menjadi panutan. Untuk menjadi kepala desa tentunya harus memiliki pengalaman dan kemampuan khusus, tidak sembarang tunjuk begitu saja.
Aku hanyalah petani muda, yang ingin belajar hidup mandiri. Tapi aku tak mungkin berjalan sendiri. Ada seseorang yang menjadi bahan pertimbanganku. Faza. Apa komentar Faza bila aku mencalonkan diri menjadi kepala desa? Juga ibu, hanya mungkin masalah ibu akan lebih mudah diatasi daripada dengan Faza.
Membangun desa adalah salah satu cita-citaku sejak dulu. Kadang aku merasa miris, banyak sekali generasi muda yang putus sekolah, kemudian tetap berada di rumah menjadi beban keluarga, sebagian pergi ke kota hanya untuk menjadi buruh yang tidak dapat meningkatkan taraf kehidupan keluarga mereka. Wanita-wanita yang duduk mencangkung di depan rumahnya setelah kegiatan dapur mereka selesai, hanya sekedar ngrumpi, atau bercanda ria. Belum lagi masalah sanitasi yang belum baik. Belum semua keluarga memiliki jamban sendiri. Mereka merasa sungai di sisi desa kami adalah tempat MCK yang sudah sepantasnya. 3 tahun aku hidup di asrama yang cukup ketat, mengajariku untuk hidup teratur disiplin dan selalu menjaga kebersihan.
Keinginan untuk mengajak mereka membuat MCK sendiri tidak mudah dilakukan, karena mengubah kebiasaan yang sudah dilakukan berpuluh-puluh tahun, sudah mendarah daging. Belum lagi biaya pembuatan MCK tidak murah. Aku memulainya dengan keluargaku sendiri. Berlanjut dengan keluarga dekat, mengajak anak-anak yang membantuku untuk membuat MCK sendiri di rumah mereka masing-masing. Aku membantu tenaga. Kami sepakat libur sehari untuk bekerja bersama di rumah mereka secara bergiliran, aku meminta ibu untuk menyiapkan makan dan cemilan selama kami bekerja. Setelah sekian tahun beberapa keluarga sudah memiliki MCK sendiri, walau belum semuanya. Kamar mandi yang semula hanya setengah dada, kami buat lebih tinggi dindingnya, walau hanya sekedar dari dinding bambu. Beberapa keluarga membuat secara berkelompok, 3 atau 4 keluarga menjadi satu. Tak apalah, yang penting mereka tak lagi terlalu tergantung pada sungai. Tapi ini sudah merupakan langkah maju bagiku.

Sore itu tidak biasanya anak-anak muda banyak berkumpul di depan kiosku. Seperti sedang mengadakan pertemuan serius. Tempat itu memang menjadi tempat favorit anak-anak muda. hampir setiap sore ada saja anak-anak yang nongkrong. Namun sore ini lain dari biasanya. Semula hanya beberapa orang yang berkumpul, namun makin sore ternyata semakin banyak anak yang datang. Jito dan Tihat bergabung dengan mereka. Kadang terdengar tawa mereka yang keras terbahak-bahak, kadang jadi senyap tanpa suara. Aku sendiri sudah jarang bergabung dengan mereka, kebanyakan dari mereka berumur jauh di bawahku, aku merasa sudah bukan saatnya hanya nongkrong yang nggak jelas. Kalau ada kegiatan pemuda saja aku ikut berbaur dengan mereka tentu dengan harapan aku bisa mengajak mereka untuk berbuat demi masa depan mereka.
Mengajak mereka yang belum terbiasa bekerja, sungguh merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Apalagi mereka yang terbiasa dimanja oleh orang tuanya, keinginan untuk bisa hidup mandiri ternyata tidak menjadi keinginan mereka. Walau sulit dan berat aku tetap mencoba memberikan tambahan ilmu buat mereka, siapa tahu suatu saat nanti akan mereka butuhkan. Yang membuat aku bangga beberapa pemuda dari lain desa justru telah mengikuti jejakku, hasil merekapun sudah bisa dipasarkan.
Kebetulan saja sore itu sudah tak banyak yang harus dikerjakan. Sehingga aku bisa sedikit istirahat. Setelah melihat pembukuan, akupun segera pulang, ingin segera mandi, biar segar. Walau udara tidak terlalu panas tapi keringat yang menempel membuatku tak nyaman. Di rumah kulihat ibu masih asyik menggoreng sesuatu di dapur.
”Rengginang ya Bu....?” tanyaku sambil mendekati ibu dan melongok isi nyiru.
”Sudah selesai Man?” ibu bertanya tanpa menengok. Di nyiru beberapa rengginang dan emping sudah digoreng, kucomot sepotong rengginang.
”Banyak sekali ibu menggoreng ?”
”Yach daripada nggak ada yang makan, kebetulan banyak anak di luar kan?”
”Banyak Bu, koq ibu tahu kalau banyak anak di luar?”
”Lho ketawa mereka kan keras, jadi ibu tahu.”
”Ooo, Rahman mandi dulu ya Bu.”
”Segera, keburu magrib...”
”Ya Bu...”sahutku sambil beranjak mengambil handuk.
Guyuran air yang dingin, menyegarkan tubuhku setelah sehari penuh berkeringat. Banyaknya pesanan membuatku ekstra keras bekerja buat memenuhinya. Kebetulan libur akhir semester membuat banyak wisatawan menuju Kopeng, beberapa rombongan menyempatkan berhenti di kiosku. Para pecinta anggrek yang berkunjung ke Kopeng akan menyempatkan untuk singgah ke tempatku. Memang tidak terlalu luas, namun bila dilihat di jalur Magelang Kopeng kioskulah yang menawarkan khusus anggrek dan adenium.
Sholat Maghrib baru saja selesai kulaksanakan ketika Jito datang mencariku.
”Mas Rahman...kalau Mas ada waktu, anak-anak ingin ketemu mas Rahman....” Jito memberitahuku.
”Ada apa?”
”Mereka sudah menunggu di kios Mas. Penting katanya.”
”Penting? Suruh tunggu sebentar ya?”
”Siap Mas.” katanya trus ngeloyor pergi meninggalkanku.
Aku menyisir rambut sebentar kemudian keluar menuju kios menemui mereka. Beberapa anak menepi melihatku datang, memberi ruang buat aku bisa masuk.
”Assalamualaikum!” sapaku.
”Waalaikum salam!” jawab mereka serempak.
”Apa yang bisa dibantu, kalian datang dengan wajah serius.” kataku membuka pembicaraan.
”Begini Mas. Singkat padat saja. Kami berkumpul disini dengan stu maksud.”
”Maksud apa?”
”Desa kita ini sudah lama tak ada kepala desa. Kalau Mas bersedia menjadi kepala desa, kami akan menggerakkan pemuda karang taruna untuk membantu mas menjadi kepala desa. Mas bisa lihat kami datang dari perwakilan dusun, tiap dusun sudah ada wakilnya disini. Kami berharap Mas Rahman bersedia.”
”Terima kasih atas bantuan dan dukungan kalian, tetapi saya tidak ingin menjadi kepala desa. Masih banyak yang lebih pantas menduduki jabatan tersebut selain aku.”
”Mas kalau ada pilihan lain, pasti kami datang pada calon lain. Tapi kini hanya ada Mas Rahman. Maka kami datang ini dengan satu harapan saja, yaitu Mas Rahman bersedia dipilih menjadi kepala desa.”
”Aku sendiri heran, angin apa yang membawa kalian kemari lalu membujukku jadi kepala desa? Aku bukan orang yang pintar, pekerjaan menjadi kepala desa bukan hal yang mudah, aku juga tidak punya pengalaman. Kalian salah pilih orang.”
”Tidak Mas, kami tidak salah pilih. Mas lah yang paling tepat, ingat Mas kami akan mendukung dan membantu dengan segala kekuatan kami agar Mas yang terpilih.”
”Ada apa kalian ribut-ribut? Bicarakan semua dengan hati dingin ya?” tiba-tiba ibu sudah hadir di antara kami dengan membawa cemilan dan menyerahkannya pada anak-anak.
”Terima kasih Budhe.” kata mereka sambil berebut mencium tangan ibu.
”Sama-sama, kalian semua anak baik, tentu datang kemari dengan niatan yang baik kan?” kata-kata ibu menyejukkan hati kami.
”Inggih Budhe.”
Dengan datangnya cemilan dari ibu pembicaraan kami terhenti sejenak. Suara kriuuuk yang riuh menggantikan keheningan. Ibu kembali menuju rumah. Tak banyak lagi yang kami perbincangkan setelah itu, hanya penegasan saja bahwa mereka mengingnkanku menjadi kepala desa. Sebuah tantangan dan pilihan yang sulit.
Apa pendapatmu Faza. Bila Mas menjadi kepala desa? Apakah ini akan membahagiakanmu atau sebaliknya. Dingin yang makin menyengat tak kuhiraukan, aku masih bertahan duduk di teras, memandangi malam yang kian kelam.
”Melamun Man?” suara ibu lirih di muka pintu, di samping tempatku duduk..
”Tidak Bu, merenung saja.”
”Pikirkanlah tawaran itu Man, ibu rasa mereka memang membutuhkanmu. Sebenarnya sudah agak lama ibu mendengar celotehan mereka yang menginginkanmu.”
”Aku tak pernah berminat kesana Bu.”
”Kamu tak berminat, tapi mereka membutuhkanmu. Pertimbangkanlah Nak. Tapi ibu tidak memaksa.”
”Baiklah Bu. Ibu tidak tidur?”
”Ibu lihat kamu masih saja merenung. Jangan jadikan beban. Serahkan saja pada yang Maha Kuasa. Lakukan shalat istikharah Man.”
”Ya Bu....”
Ibu masuk kembali. Aku masih duduk menikmati suara musik alam. Yang selalu kurindu. Kuhabiskan malam itu dengan diam, merenungkan keinginan mereka yang menggantungkan harapan padaku. Aku tak habis pikir, apa alasan mereka memilihku. Keinginanku menelpon Faza kuurungkan, aku tak mau dia ikut resah dengan masalahku. Belum saatnya untuk memberitahukan hal ini padanya. Nanti kalau sudah tiba saatnya aku pasti akan memberitahukannya. Karena semua ini belum pasti, masih keinginan beberapa orang saja. Aku ingin mempertimbangkannya. Seperti kata ibu, mereka menaruh harap padaku. Malam kian larut, aku mengambil air wudhu mencari ketenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar