Laman

Jumat, 06 Agustus 2010

5. Anggrek, Jalanku Menemuimu

 “Kak… bisa tolong carikan info tentang petani anggrek?”
Setelah beberapa hari tak ada kabar dari Faza, tiba-tiba saja dia sms minta tolong. Berbunga hatiku. Di tengah kesibukanku aku sengaja tidak mengganggunya, walau rasa rindu ini sebenarnya tak bisa kutahan lagi. Sebongkah rasa jenuh mengganjal ketika harus menanti kabar darinya. Bukan gengsi, hanya kadang aku merasa apa yang kulakukan hanya akan mengganggu kegiatannya saja. Jangan-jangan aku yang gede rasa, menanggung rindu, padahal dia tidak merasakan apapun. Mungkin ini jalan yang diberikan Allah agar aku bisa bertemu kembali dengannya. Terima kasih ya Allah, doaku kau kabulkan.
“Siapa yang mau cari anggrek… n anggrek apa?”
“Ni ibu ma temen-temen pada mo mampir cari anggrek, tapi tak tahu alamat yang pasti.”
“Lho, sekarang dimana sih?”
“Masih di Grabak…kata ibu ada petani anggrek di sini kata temennya murah2!”
“Di Borobudur ada, yang banyak jenis dendrobium, di Tegalsari juga ada.”
Di Borobudur memang ada beberapa petani anggrek yang sudah terkenal, salah satunya milik pak Pong. Sedang di Tegalsari, milik petani muda, belum terlalu banyak, tapi sudah banyak pembeli yang datang, bahkan beberapa pedagang dari Yogya mengambil anggrek dari sini.
“Borobudur di sebelah mana? N klo Tegalsari dimana?”
“Borobudur sebelum candi, sebelum pertigaan tugu di sebelah kiri jalan. Klo di Tegalsari lebih mudah dijangkau. Dari Grabak kearah Yogya, Kebonpolo ke kiri arah terminal, sampai di lampu merah lurus arah Kopeng. Dari lampu merah hanya sekitar 3 km di sebelah kiri jalan ada kebun anggrek. Tanyakan di situ.”
“Mahalan mana harganya?”
“Coba aja ke Tegalsari dulu baru ke Borobudur gak papa kan? Apa perlu tak jemput dan diantar ke Tegalsari?’
“Gak usah lah Kak, merepotkan aja. Nanti kami coba cari dulu deh. Klo kesulitan aku hubungi Kakak. Tanks ya Kak!”
“Ok. Semoga ketemu.”

Apa yang harus kulakukan? Tadi sudah kutawarkan untuk ke Tegalsari, dan satu-satunya petani anggrek di Tegalsari adalah aku. Apakah aku tidak menjebaknya? Apakah Faza tidak akan merasa terjebak oleh tawaranku? Padahal sebenarnya hanya karena aku ingin orang lain tahu bahwa di Tegalsari juga ada petani anggrek, bukan hanya anggrek, tapi juga adenium. Walau sebenarnya adenium bagus ditanam di tempat yang banyak sinar dan bersuhu panas, tapi dengan perlakuan khusus ternyata adenium juga bisa berbunga dengan baik di sini. Memang tidak kujadikan satu tempat. Sisi kanan untuk adenium dan sisi kiri untuk anggrek. Aku ingin usahaku ini berkembang.
Kupanggil Jito dan Tihat kuminta mereka untuk tidak meninggalkan kios, karena nanti akan ada yang datang dari Yogya. Aku sendiri mencoba memilih beberapa anggrek yang bagus, kalau ibu Faza mau, aku akan memberikannya secara cuma-cuma. Ini dari calon menantu ibu, kataku dalam hati. Aku tersenyum sendiri.
“Senyum-senyum sendiri, lagi bahagia Mas?” Tihat menggodaku.
“Mas Rahman ni memang aneh, suka senyum sendiri, padahal dari pagi tadi cemberut terus, dapat sms dari pacar ya?” Jito ikut-ikutan menggoda.
“Kalian ini lho, suka usil. Aku cemberut kalian susah, aku senyumpun kalian ribut, mau kalian apa sih?” kataku sambil melototi mereka. Tapi mereka tahu kalau hatiku sedang berbunga-bunga.
“Mas…Mas… Mas Rahman tu susah sembunyikan perasaan, kliatan, kalau lagi seneng, sedih, gundah…. Kami ikut seneng kalau Mas Rahman seneng, kalau Mas Rahman sedih kami inginnya menghibur tapi nggak tahu caranya….ha…ha…ha…!” mereka tertawa, puas menggodaku.
Aku senang, ternyata mereka sayang padaku, terlihat dari cara mereka mencoba menghiburku dengan caranya. Mereka memang tangan kananku selama ini. Aku sudah pernah memintanya untuk membuka usaha sendiri, tapi mereka belum mau, masih ingin banyak belajar katanya. Tanpa mereka aku pasti akan kerepotan mengurusi semua ini. Mengurus sawah, mengurus kebun anggrek dan adenium, mengurus pemasaran, mencari jenis-jenis baru. Mereka juga senang, hampir tiap minggu kubelikan mereka tabloid yang berhubungan dengan tanaman hias, buat bacaan, menambah pengetahuan mereka. Walaupun mereka belum mau membuka usaha sendiri, namun mereka sudah mulai mencoba membuat usaha kecil-kecilan di rumah mereka masing-masing. Masalah pemasaran mereka masih menggantungkan diri padaku, menitipkan di kios, kalau laku dibayar, kalau belum laku belum dibayar. Sedangkan aku kalau banyak pesanan dan tidak dapat memenuhi sendiri maka kuambil milik mereka. Dengan cara ini aku berharap mereka akan bisa mandiri dan aku akan mencari anak lain untuk menggantikan mereka, mencari kandidat baru.
Kupandangi kebun anggrek yang menjadi satu dengan kios, sengaja kugabung biar mudah mengawasi dan merawatnya, walau di kebun samping rumah juga masih ada. Empat orang mengurusi kios dan kebun, dua orang mengurusi kebun di samping rumah. Dulu tak pernah terpikirkan akan dapat mempekerjakan orang untuk membantu mengurusi kebun anggrek, tapi inilah yang terjadi kini. Setelah sekian tahun kutekuni, akhirnya berbuah juga. Aku menikmatinya, ibu bahagia melihatnya. Bahkan beberapa orang kampung sudah mulai mengikuti jejakku membuat kebun anggrek, walau mayoritas dari mereka masih mengandalkan pemasaran padaku. Aku mengajak mereka untuk mau menerima tamu, menerima pembeli di rumah mereka, dengan harapan mereka akan bisa berkembang, namun belum semua berani melakukan itu. Bahkan pemuda-pemuda dari desa sekitar mulai banyak yang melirik, berminat untuk belajar bertani anggrek. Kubuka pintu buat mereka belajar, agar mereka tak lagi tergiur pergi ke kota hanya sekedar untuk menjadi buruh bangunan atau buruh pabrik. Karena desa juga masih membutuhkan mereka. Desa masih butuh tenaga-tenaga muda buat mengairi sawah mereka.
Jito dan Tihat masih asyik merapikan tanaman ketika ponselku berdering keras.
“Dari pacar Mas…?” goda mereka sambil tertawa.
Aku hanya tersenyum, kuangkat ponsel nama Faza yang terpampang. Senyumku mengembang.
“Kak…sama sekolah pertanian sebelah mana…?”
“Lurus lima ratus meter di kiri jalan, kakak tunggu di situ ya…?”
“Ok…!”

Aku segera keluar, menanti Faza di depan gerbang kios. Beberapa kendaraan lewat, aku tak tahu persis Faza mengendarai apa. Sebuah mobil merah meluncur begitu saja, aku hampir berteriak memanggilnya karena kukira Faza. Tapi terhenti karena sebuah kijang grand menepi mendekati tempatku berdiri. Sebuah senyum terkembang di balik kemudi. Faza. Gadis yang kurindu. Yang selama ini memenuhi lubuk hatiku. Kuhampiri pintu depan sisi kiri dan kubuka. Wanita paruh baya yang duduk di samping Faza tersenyum padaku, aku menganggukan kepala sambil tersenyum.
“Makasih…!” katanya lembut.
“Mari Bu…!” sahutku mempersilakan.
Beberapa wanita yang duduk di belakang turun. Disambut Jito dan Tihat mereka langsung berjalan menuju kios tanpa memperdulikan aku. Nggak papa karena aku hanya butuh Faza yang kurindu. Dengan pakaian serba hitam dengan sentuhan jilbab merah jambu. Sebuah bros bunga putih mempercantik tampilannya. Tampak segar dan menggairahkan. Sepatu hak tinggi runcing membuatnya menjadi tambah jangkung saja.
“Koq Kakak di sini… dah dari tadi ya…?” tanyanya ramah.
“Kan jemput Faza…biar gak kesasar!” kataku sambil tersenyum.
Masih tanpa berkedip aku memandanginya, ingin kupuaskan rindu yang menggayut beberapa hari ini demi ingin menikmati wajahnya. Sering aku dilanda kelu kalau harus berhadapan seperti ini, apalagi dibumbui aroma rindu. Pikiranku jadi tak jernih lagi, hanya perasaanku yang bekerja ekstra keras. Yang kupandangi salah tingkah, wajahnya memerah, cantik sekali.
“Kak…kakak jahat…!”
Aku tergeragap mendengar kata-kata Faza, seperti baru terbangun dari mimpi. Faza sudah melangkah masuk ke gerbang. Buru-buru aku mengikuti, dan berjalan menjajarinya.
“Aku terpesona Za…!” kataku terus terang.
“Kakak nunggu di sini….? Sejak tadi?”
“Sejak beberapa hari lalu malah….!”
“Masak sih….yang bener…?”
“Nggak percaya…?”
“Nggak…!”
“Tanyain aja pada mereka…!” kataku sambil menunjuk Jito dan Tihat.
Faza memandangi mereka, lalu langkahnya menuju pada rombongan yang diantarnya. Aku berjalan menjajarinya. Beberapa dari mereka telah menjatuhkan pilihan, ada rasa lega dihati, ternyata tawaranku mendapat sambutan, mereka tidak kecewa datang ke kiosku.
“Za….kau tak suka anggrek?”
“Suka juga sih…. Suka lihat aja, tapi gak bisa ngrawat.”
“Anggrek gampang-gampang susah…kalau rajin dengan menyiram dan memupuk aja mereka mau berbunga.”
“Mama yang suka banget sama anggrek, Mama lebih suka dendro, katanya mudah ngrawatnya, paling sama Mama cuma diberi air cucian beras, itupun kalau ingat. Tapi anggrek di rumah rajin banget berbunga lho. Wow… yang ungu tu bagus banget…padahal gak ada daunnya ya…?”
Diambilnya dendro ungu kecil di meja yang kupajang sebagai hiasan meja. Wajahnya lucu ketika mengamati bunga itu. Empat kuntum dendro ungu, bisa membuatnya terbuai begitu. Senyumnya itu, senyum itu yang telah sempat membuatku mabuk kepayang. Yang sempat membuatku tak bisa tidur beberapa malam. Kini hadir lagi, di depan mataku. Cantik sekali. Ingin aku menikmati pemandangan ini berlama-lama. Dia mendekatkan bunga itu di dadanya lalu dia memejamkan mata. Gemas aku dibuatnya. Lalu semua jadi kembali ketika dia berucap penuh perasaan.
“Cantik….!”
“Kau boleh ambil kalau kau suka…”
“Mang yang ini dijual juga…?”
“Gak dijual… special untuk Faza…”
“Ah….sayang uang Kakak dihamburkan hanya untuk beli bunga untukku…”
“Kalau Faza senang…Kakak ikut senang …”

“Faza…bantu mama Nak…”
O… jadi itu ibunya. Wanita paruh baya yang duduk di samping Faza tadi, yang kubukakan pintu. Ah calon ibu mertua. Narsis mungkin aku ya? apa mereka mau menerimaku, petani muda dari desa?
“Ok…bentar ya Kak…” kata Faza sambil berjalan menuju tempat ibunya yang tidak terlalu jauh dari tempat kami berdiri.
Mereka memilih beberapa pot lagi dibantu Tihat. Jito meladeni ibu-ibu yang lain. Aku memandangi mereka dari jauh. Aku percaya Jito dan Tihat bisa meladeni mereka dengan baik. Kalau tidak perlu sekali, aku jarang melibatkan diri, karena aku ingin mereka bisa melakukannya nanti bila mereka memulai usaha sendiri.
Sepuluh pot dipilih ibu Faza. Orang kalau sudah suka ternyata tidak lagi memperdulikan uang, atau karena mereka merasa harga yang kami tawarkan tidak terlalu tinggi hingga mereka membeli banyak-banyak? Atau karena jenisnya mereka suka? Mungkin ada sekitar 30 pot yang mereka pilih.
Ketika mereka telah selesai memilih, dan Jito membuatkan nota, aku mendekati mereka. Kuminta Tihat menyiapkan pula pot di meja dan empat pot pilihanku yang sudah kusiapkan tadi untuk di sertakan.
“Kenalkan Kak, ini Mamaku, ini Kak Rahman Ma!” kata Faza sambil menunjuk diriku. Kami berjabat tangan, ibu Faza tersenyum, akupun tersenyum, kujabat erat tangannya.
“Hedi…!”
“Rahman…!”
“Makasih bantuannya ya…!”
“Sama-sama Bu… kalau berkenan silakan mampir lagi kemari…”
“Suatu saat nanti, biar ibu bawa teman-teman penggemar angrek kemari.” katanya sambil tersenyum. Ooo, ternyata senyumnya tak jauh dari senyum Faza.
“Terima kasih Bu, dengan senang hati kami akan menerima “.
“Tolong bantu masukkan ke mobil Hat…” kataku pada Tihat.
“Siap Mas…” katanya sambil mengangkat dus berisi pot anggrek.
“Wah Kakak ini main perintah aja… pemiliknya yang mana sih Kak… dari tadi nggak kliatan ya…?” Faza memarahiku yang memerintahkan Tihat. Dia tidak menyimak perbincanganku dengan ibunya, karena dia ada diseberang meja. Walau dia kemudian mendekat pada kami.
“Pemiliknya kan dia Mbak.” kata Tihat mendengar pertanyaan Faza.
“Oooo… gitu… Kakak jahat banget sih… gak bilang dari tadi kalau pemiliknya Kakak…” kembali tinjunya melayang ke pundakku. Aku pura-pura tidak menyadari. Aku ingin dia meninjunya lagi. Sentuhan-sentuhan itu tak akan pernah terlupakan. Denyar-denyar itu kembali hadir dalam hatiku, membuat wajahku memanas. Aku merindukan sentuhanmu Za…Sepuluh kali ditinjupun aku akan mampu menerimanya. Bahkan lebih dari itu. Hanya senyuman yang bisa kusampaikan. Tanpa kata-kata, karena lidahku tiba-tiba jadi kelu. Sejenak aku hanya berdiam.
“Kalau Faza tahu, aku takut Faza nggak mau kemari…”
“Huuuu….jahat….!” katanya sambil melotot.

“Mas … dus yang ini bukan pilihan kami lho…” kata ibu Faza pada Tihat saat melihat dus pesananku mau dimasukkan ke mobil.
“Itu pesanan Faza Bu….” Kataku sambil mengerling Faza, mukanya memerah, tambah cantik dia.
“Faza… beli anggrek…buat siapa?” tanya ibu kebingungan.
“Nggak bu…itu bonus buat Faza yang sudah bersedia mengantar ibu-ibu kemari. Hadiah buat driver…” kataku masih menggoda Faza.
“Enak dong jadi driver, dapat bonus, bagus-bagus lagi….” Salah seorang dari mereka menimpali.
“Besok kita diantar kemari lagi aja Za…bonusnya gantian buat kami lho…” yang berbaju hijau berkata sambil mengerling pada Faza.
“Gak ah…” Faza menyaut tanpa nada.
Faza bergegas masuk mobil, tanpa berkata-kata. Aku merasa telah keterlaluan menggodanya, semoga dia tidak marah, semoga dia berkesan dengan pertemuan ini, semoga dia berkenan dengan pemberianku ini. Ibu-ibu yang lain mengikuti. Tak lama Faza menstater mobil dan siap berangkat. Tanpa-kata-kata, tanpa senyuman. Aku mencarikan jalan agar dia bisa berputar menuju arah Yogya. Mereka melambaikan tangan, tapi Faza diam saja. Ada rasa resah yang hadir. Pertemuan tak terduga, perkenalan dengan orang tua yang tak terduga. Aku bahagia. Ya Allah terima kasih atas pertolonganmu, semua serba tidak terduga. Aku yakin Allah akan tetap memberikan kepadaku sesuatu yang tidak terduga tapi membahagiakan. Selamat jalan Faza, kutitipkan bunga-bunga itu padamu, sebagai ganti hadirku disisimu.
Dua jam kemudian ku sms Faza.
“Dah sampai rumahkan…? Makasih ya atas bantuanmu, sekalian aku juga minta maaf bila Faza tdk berkenan.”
Kutunggu hingga pagi, tak ada jawaban apa-apa. Aku masih didera rindu juga rasa bersalah. Ada rasa takut dia tak akan lagi mau berhubungan denganku.
“Maafkan kakak ya…selamat bekerja…” sms pagi kukirim selepas sholat shubuh mengurangi beban yang menyesak di dada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar