Laman

Selasa, 03 Agustus 2010

12. Cita-cita dan Impian

”Jangan dilepas, Mas masih kangen.” kataku ketika Faza hendak menarik tangannya yang ada dalam genggamanku.
”Tuh....” katanya padangan matanya mengarah ke spion depan, mungkin maksudnya merasa nggak enak karena ada orang lain yang melihat.
”Ah, nggak pa pa....” sahutku sambil mengeratkan peganganku.
Kulirik Faza yang membuang pandangan ke samping kiri, melihat hamparan sawah yang menghijau. Dia tersenyum. Entah apa yang dipikirkannya. Bersamanya seperti ini adalah kesempatan yang sangat jarang kutemukan. Paling tidak selama satu jam aku bisa duduk berimpit dengannya. Kalaupun tak banyak kata terucap, biarkan hati kami yang bicara lewat sentuhan yang menghangatkan.
”Kau kerasan di kota itu Za...?” kataku memecah keheningan.
”Awalnya terpaksa sih, bising, serba cepat serba terburu-buru. Faza yang terbiasa kerja di lapangan, harus seharian duduk mencangkung di kantor di depan komputer. Dulu paling Faza di depan komputer cukup sehari penuh dalam seminggu, sekarang lebih banyak duduk di ruangan paling-paling jalan-jalan di dunia maya yang jadi hiburan. Hal itu jadi beban tersendiri.”
”Tapi kau bisa mengikuti ritme hidup di kota besar. Bukankah kau sudah terbiasa menjadwal hari-harimu?”
”Bener sih, tapi disana hariku banyak tersita diperjalanan, berangkat pagi, pulang malam.”
”Mungkin kau harus mencari tempat tinggal yang tidak terlalu jauh dari kantor.”
”Pernah terpikir juga seperti itu. Mencari tempat tinggal ternyata bukan hal yang mudah, lagian kalau daerah sekitar kantor harga sewanya sangat mahal!”
”Tempat tinggal yang jauh kan butuh transpot yang lebih mahal juga Za?”
”Hari-hari pertama Faza tertekan Mas, tiap kali ingat rumah rasanya pingin nangis aja. Lelah, stress, bingung, canggung!” wajahnya memperlihatkan beban yang berat, ada kabut duka di matanya.
”Mas ingat curhatmu saat itu. Tengah malam Faza telepon, itu bukan hal yang biasa. Mas berpikir, pasti terjadi sesuatu denganmu. Mendengar keluhanmu Mas ingin rasanya membawamu pergi dari tempat itu. Kau tahu Za, apapun yang kau rasakan sepertinya Mas juga ikut merasakan. Rasanya Mas nggak rela lihat Faza di sana sendirian harus menanggung beban itu. Tapi Mas tak bisa berbuat apa-apa, karena kau tak menghendaki Mas berbuat apapun untukmu. Dan itu menyakitiku.” kueratkan genggaman tanganku, ingin mnguatkan hatinya.
”Maafkan Faza Mas... kalau itu ternyata membuat Mas jadi merasa tidak enak... masalahnya tak ada orang lain yang bisa mendegarkan cerita Faza... mau cerita ke Mama, nanti Mama bingung terus deh datang ke Faza. Kasihan beliau.” kata-katanya masih terasa sendu.
”Sekarang kau sudah merasa lebih nyaman kan Za?”
”Yach ... lebih nyaman. Saat itu Faza belum terlalu mengenal lingkungan, harus menyesuaikan dengan tempat kerja baru!”
”Bukankah sebagian besar dari mereka sudah kau kenal?” aku ingat ceritanya beberapa waktu lalu bahwa dia sering ke kantor pusat dan orang dari kantor pusatpun sering ke kota Faza. Bahkan Faza sering bercerita kalau dia cukup akrab dengan orang-orang dari kantor pusat.
”Tapi Faza mengenal mereka hanya selintas, paling berkumpul bersama hanya 3-5 hari!”
”Semua sudah terlewati kan? Dan kau bisa melaluinya. Buktinya 3 bulan di sana kau tambah segar saja Za...” kataku menggoda, ya dia kelihatan tambah segar.
”Wooww, nyindir nie...Mas cuma mau bilang kalau Faza tambah gemuk kan...? iya kan Mas....” tangannya ringan saja mencubit pinggangku, membuatku terkejut, karena semula pembicaraan ini terasa serius.
”Za....” kataku sambil memegangi tangannya.
”Biarin.... Mas jahat....”
”Lagi deh... biar puas... Mas seneng koq...” sambil kulepaskan gegamanku.
”Huuu ... jahat...” wajahnya berubah cemberut.
”Za....!” kulingkarkan tangan kiriku di bahunya, dia mencoba melepaskan diri, namun rengkuhan tanganku kueratkan, aku tak ingin melepaskannya.
”Za....hidup harus dinikmati. Menikmati bukan dengan kemarahan. Mas lebih suka melihatmu tersenyum.”
Faza diam. Pandangannya ke depan,
”Za... kau mau dengar cerita Mas nggak?”
”Cerita apa?”
”Cita-cita dan impian Mas?”
”Apa perlu Faza tahu?”
”Perlu, karena yang Mas lakukan saat ini sudah ada tujuannya.”
”Lho memangnya selama ini Mas melakukan tanpa tujuan?”
”Sudah tapi belum jelas. Sedangkan sekarang semua sudah ada di depan mata. Tinggal menanti waktu, kapan Faza siap.”
”Ahh...” wajahnya memerah mendengar kata-kataku.
”Yang mesti Faza tahu, Mas berharap usaha yang Mas lakukan ini bisa membawa hasil yang baik, yang bermanfaat. Mas tahu, tentu Faza bisa hidup mandiri, tapi sebagai laki-laki Mas punya tanggung jawab tersendiri, yang tidak bisa diganggu gugat. Apalah artinya laki-laki, bila dia tidak bisa menghidupi belahan jiwanya, membahagiakannya, melindunginya? Mas ingin menjadi laki-laki yang bisa menjadi pilihan, karena ada yang bisa dibanggakan, namun itu bukan sebuah kesombongan. Mas hanya ingin mencari ridho Allah dalam segala tindakan. Hanya Faza yang bisa menjadi spirit buat Mas. Yang Mas lakukan inipun arahnya adalah buat kita, buat Mas dan Faza.”
”Sebegitukah Mas berharap?”
”Mas bukan sedang bicara dengan pacar, tapi bicara dengan calon istri.”
”Sudah mantabkah Mas dengan pilihan Mas itu?”
”Masihkah perlu dipertanyakan?”
”Bisa jadi masih ada sedikit keraguan.”
”Tidak Za....tak ada keraguan sedikitpun di hati Mas.”
”Atau mungkin Faza yang masih ragu ya....?”
”Harapan Mas, tak ada lagi yang perlu diragukan.”
”Semoga cita-cita dan impian Mas tercapai...”
”Amin...”
Jembatan Krasak telah terlewati. Air sungai mengalir tidak terlalu deras. Hanya dibagian-bagian tertentu yang dialiri air, sebagian yang lain dangkal, bahkan beberapa tumbuhan sempat tumbuh di tempat-tempat itu. Beberapa truk pengangkut pasir terlihat kecil di sebelah hulu, para pencari pasir itu mempertaruhkan hidupnya dengan menambang pasir buat keluarganya. Diantara buruh-buruh itupun ada wanita, inikah yang dinamakan emansipasi? Saat wanita tak tabu lagi bekerja menjadi pengangkut pasir atau pencari pasir? Kadang orang gempar membicarakan masalah emansipasi, tapi bagiku, ini sudah berlebihan, bukan lagi setara tapi bahkan merendahkan derajat kaum wanita sendiri.
”Di sebelah kanan, di kios hijau itu kalau sore ada pepes yang enak Za....”
”Oh ya... pepes apa?”
”Ikan air tawar?”
”Enak Mas?”
”Sekali Mas kesana, cukup enak.”
”Pepes ala Jawa Barat apa Jawa Timur?”
”Mas nggak tahu, gimana yang ala Jawa Barat dan mana yang Jawa Timur?”
”Ala Jawa Barat bumbunya diiris, ala Jawa Timur bumbu diuleg biasanya bumbu warna merah dan banyak.”
”Kamu pinter masak Za...?”
”Bukan pinter masak Mas, tapi pinter makan.”
”Bukankah anak gadis harus pintar masak?”
”Apakah itu harus? Rumah makan banyak Mas, masakannya enak-enak lagi....”
”Trus tiap hari harus makan di rumah makan?”
”Ya enggak lah yauw.... masak nasi, beli lauk di rumah makan dan makan di rumah deh....!”
”Dasar pemalas....”
”Wanita karier Mas.... wanita yang cerdik menyiasati....!” sahutnya sambil tersenyum.
”Kalau Mas pingin masakanmu gimana?”
”Lho mang aku menikah hanya buat jadi tukang masak? Kasian dech.... cari yang lain aja deh, yang mau jadi tukang masak....” sahutnya merajuk.
”Bukan begitu Za....becanda aja koq...”
Faza diam, tak lagi menjawab. Hening.
”Za.... Suatu saat aku yang akan datang mengunjungimu. Kalau diijinkan tentunya.” kataku memecah keheningan.
”He...eh”
”Dua minggu ini aku sangat sibuk, banyak order yang harus kusiapkan.”
”Heemmm...”
”Boleh Za?” tanyaku mencari kepastian. Dia hanya mengangguk. Jawabannya singkat-singkat. Apa yang dia pikirkan?
”Za.... kau tak pernah rindu pada Mas?”
”Ssst....” katanya sambil meletakkan telunjuk di bibirnya. Senyumnya tersungging.
”Lagunya bagus....” bibirnya bergerak mengikuti syair lagu yang terdengar.
Taksi sudah melewati ring road. Masuk kota, kepadatan lalu lintas makin terasa. Hampir di setiap persimpangan kemacetan kecil terjadi. Banyaknya kendaraan bermotor menjadi salah satu pemicu kemacetan. Apalagi hanya dengan uang lima ratus ribu rupiah sebagai uang muka kita sudah bisa membawa pulang sepeda motor. Hampir setiap anak sekolah mengendarai motor. Banyak satu motor yang hanya dinaiki seorang. Hingga bisa diperhitungkan berapa jumlah sepeda motor yang bekeliaran di jalanan.
Lima menit lagi sampai di rumah Faza. Kami asyik dengan pikiran masing-masing. Kudengar Faza masih berdendang. Wajahnya riang. Rengkuhanku masih belum kulepaskan. Kupandangi wajahnya dari kaca spion. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Apa penyebab wajah riangnya. Karena hendak bertemu keluarga atau karena sedang memikirkan perbincangan kami tadi. Faza aku selalu rindu senyumanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar