Laman

Selasa, 03 Agustus 2010

16. Siapa Harus Mengalah

Faza datang juga saat pelantikanku di kabupaten, walau sebelumnya sempat membuatku dag dig dug karena tak ada khabar darinya, bahkan ponselnyapun di non aktifkan. Namun begitu melihat kehadirannya bersama ibu, membuatku lega. Sungguh membuatku bangga dan semakin berarti di hadapannya. Hadir dengan celana panjang coklat tanah dan blus panjang krem berdasi, lengkap dengan jilbab dan blazer sewarna celananya. Sepatu hak tinggi dan tas tangan batik. Sempurna, komentarku dalam hati. Aku belum sempat berbincang, selain memandanginya dari kejauhan. Duduk di samping ibu, tenang. Kehadirannya bersama ibu, menarik perhatian undangan lain, mungkin karena penampilannya yang berbeda. Bisa dihitung dengan jari, tamu undangan putri yang hadir mengenakan celana panjang, Faza tampil beda tapi tidak mengecewakan, itu memang yang kumau. Aku bangga padanya.
Beberapa kali aku mencuri pandang padanya, tiap kali dia tahu aku memandanginya dia tersenyum dan senyum itu menguatkan hatiku.
Prosesi berjalan lancar. Sebelum dhuhur acara pelantikan sudah selesai. Usai menerima ucapan selamat aku bergabung dengan ibu, Faza, Tihat dan Jito yang sudah kuanggap sebagai anggota keluargaku. Kucium tangan ibu, tepukan tangan ibu dibahuku mengalirkan kekuatan yang lain, mata ibu berkaca-kaca, aku terharu.
”Kau tampan sekali dengan konstum ini, Nak. Kerja yang baik Man.” kata ibu tersendat, haru tapi itulah ekspresi kebahagiaan seorang ibu.
”Insya Allah Bu.”
”Selamat ya Mas...!” Faza menjabat tanganku hangat. Ingin aku memeluknya, tapi aku ingat ini masih di tempat umum dan itu tak mungkin kulakukan.
”Makasih Za, atas kedatanganmu.” kujabat erat tangannya, enggan melepaskan. Kupandangi wajahnya yang penuh senyum, senyuman yang selalu kurindukan.
”Kami kapan Mas, jabat tangannya?” Tihat berkata mengganggu rinduku pada Faza.
”Kita pulang aja Hat, daripada mengganggu Mas Rahman.” Jito menyahuti.
”Marah? Kalian adalah teman yang paling baik buatku. Tanpa kalian aku tak mungkin seperti ini.” kataku sambil memeluk mereka, membagikan kebahagiaan yang sarat beban.
”Ini semua karena Mas Rahman, kami tak berarti apa-apa.” jawab mereka merendah.
”Ok, kita pulang. Ayo!”
”Mas Rahman naik mobil saja, motornya biar kami yang membawa Mas.” Jito mengajukan usul.
”Boleh.”
”Kuncinya Mas?”
”Oh ya, ni kunci dan STNKnya. Hati-hati.”
”Siap Mas. Kami pulang dulu Bu, Mbak!”
”Ngati-ati Le!” kata ibu pada mereka. Faza hanya tersenyum melihat ulah mereka.
Kami berjalan bersisian menuju kendaraan yang sengaja kusewa untuk ibu dan Faza. Faza menggandeng tangan ibu sambil berbincang-bincang. Anganku mengembara. Lega sekali rasanya, pelantikan selesai. Walau dengan ini berarti bebanku menjadi semakin berat. Empat tahun aku harus bekerja keras, demi kemajuan desa. Empat tahun aku harus menunggu untuk dapat memikirkan diriku sendiri lagi. Di sepanjang jalan aku lebih banyak diam, hanya mendengarkan perbincangan ibu dengan Faza. Aku tak begitu bernafsu untuk nimbrung pembicaraan mereka. Faza dan ibu terlihat akrab sekali, banyak hal yang bisa mereka perbincangkan. Suasana akrab yang tercipta, membuatku terharu. Tak terasa kami telah sampai di halaman rumah. Kendaraan diparkir di bawah pohon sawo.
”Alhamdulillah, akhirnya selesai juga, kita sudah sampai rumah. Rencana Faza nanti apa? Mau nengok mama di rumah dulu kan?” tanya ibu pada Faza ketika kami sudah masuk ke rumah.
Aku segera masuk kamar mengganti pakaian resmi yang kukenakan dengan kaus yang lebih nyaman. Faza masih berbincang-bincang dengan ibu. Akupun ikut duduk bersama mereka, menjadi pendengar setia.
”Tidak Bu. Waktu Faza terbatas, nanti jam 16.30. saya harus pulang naik bis.”
”Lho nggak lelah kamu Nak? Nggak nginap dulu?” ibu kaget mendengar jawaban Faza yang hendak langsung pulang.
”Faza hanya dapat ijin sehari Bu, pekerjaan di kantor sedang banyak.”
”Maklum Bu orang kantoran, sibuk!” kataku menyela, mendengar jawaban Faza. Dia melihatku tajam, kubalas dengan senyum.
”Ya nggak apa-apa, namanya juga tugas. Orang bekerja harus ditekuni dan dinikmati. Kamu itu lho Man, nggak ada terima kasihnya, Faza sudah jauh-jauh datang kemari masih digoda trus.”
”Sudah koq Bu, tadi sudah kan Za?” jawabku sambil menengok pada Faza. Dia melihatku lebih tajam tapi tetap tanpa kehilangan senyumnya. Aku tahu, dia tak akan berani menjawab candaanku di depan ibu.
”Masih ada waktu beberapa jam, Faza bisa istirahat. Nanti berangkat dari sini saja kan?”
”Ya Bu.”
”Kalau begitu Faza istirahat dulu saja. Kamar samping kan kosong, Faza bisa istirahat di situ biar tidak terlalu lelah.”
”Inggih Bu. Tapi Faza ingin melihat-lihat kebun dulu Bu, sudah kangen kebun.”
”Ya, mestinya Faza memang harus belajar tentang kebun, bagaimanapun kebun itu akan menjadi milikmu juga. Tentunya dengan tugas yang baru, Rahman harus segera punya pendamping. Biarkan Rahman bekerja sesuai tugasnya, Faza bisa mengelola kebun dan kios yang sudah berjalan. Begitu lebih baik kan Man, Za?” kata ibu sambil memandang kami.
Aku tak menyangka ibu akan mengungkapkan hal itu saat ini. Kulihat Faza tak bersuara, wajahnya memerah. Kilatan matanya berbeda. Orang lain mungkin tak bisa melihat perubahan senyum Faza, serasa sama dengan senyum yang biasa ia lontarkan. Tapi aku melihat perbedaan itu. Tipis.
”Faza memang harus belajar hidup di desa, mengenal kehidupan desa, bagaimanapun yang namanya wanita kembalinya adalah berada di samping suaminya. Kalian berdua sudah dewasa, tak ada yang perlu ditunggu lagi.”
Kulihat Faza menunduk mendengar kata-kata ibu, tangannya memainkan tali tas yang ada di pangkuannya. Ujung kakinya bergerak-gerak saling menyentuh. Faza gelisah, tapi dia tak berani minta ijin dari ibu untuk keluar dari situasi ini.
”Jadi lihat kebun nggak Za?” tanyaku mencoba mengeluarkannya dari situasi yang tidak ia sukai. Faza mendongak, sebuah senyum yang tulus terukir di wajahnya.
”Jadi dong. Boleh ya Bu?” katanya pada ibu takut-takut. Wajahnya kembali lebih cerah.
”Jangan lama-lama ya Nak? Biar bisa istirahat. Jaga dia Man.”
”Ya Bu.” sahut kami hampir bersamaan.
”Ayo.” kuulurkan tanganku ke Faza. Dia bangkit tanpa menyambut uluran tanganku.
Faza berjalan mendahuluiku menuju kebun di samping kiri kios. Di tempat itu anggrek dendro remaja siap berbunga, tertata rapi di rak-rak beralas kawat kasa. Beberapa sudah muncul kuncup-kuncup kecil. Faza mengitari masing-masing los, kadang memungut pot yang anggreknya sudah berbunga. Memandanginya, tapi aku tahu dia hanya mengusir gelisahnya saja. Langkahnya tanpa arah yang jelas. Beberapa kali dia mencoba menghindar dari dekatku, dia akan segera beralih tempat bila aku mendekatinya. Jadi kami hanya bisa saling pandang dari seberang rak-rak yang ada, tanpa suara, rak-rak yang ada hanya setinggi paha orang dewasa.
”Za....” panggilku. Faza hanya menatapku tanpa suara, kemudian pandangan matanya kembali pada bunga anggrek di tangannya. Hanya seulas senyum yang bisa kunikmati.
”Terima kasih Za...”
”Buat apa?”
”Faza mau datang.”
”Apakah itu penting?”
”Maksudmu?”
”Apakah itu penting? Sebegitu pentingkah mengundangku? Sepenting apakah kehadiranku?” Faza memandangiku tajam.
Siapa sebenarnya yang kuhadapi ini? Dia bukan Faza yang kukenal, Faza yang pandai mengendalikan emosinya, bukan Faza yang pandai menyimpan perasaannya. Kupandangi wajahnya, kutatap matanya. Wajahnya berubah dingin, tanpa rasa.
”Za....Kau tak suka aku mengundangmu?” tanyaku tak mengerti.
”Kalau kau tak suka, mestinya kau tak perlu datang Za... kalau itu membebanimu.” kataku setelah berdiam agak lama menanti jawabannya. Ada rasa kecewa yang hadir dalam hati.
Faza berjalan menuju kios yang sedang kosong, aku mengikutinya, dari belakang. Begitu aku dekat, kupegang tangannya erat. Dia mencoba melepaskan, tapi genggamanku makin erat. Aku berdiri menghadang jalan di depannya. Kupegang kedua tangannya, kutatap matanya dalam-dalam. Faza mengalihkan pandangannya.
”Za.... Mas sangat rindu kamu. Faza nggak kangen sama Mas?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
”Nggak...”
”Bener nih....nggak kangen?”
”Nggak.”
”Tapi matamu bilang kangen Za... matamu nggak bisa bohong.”
”Apa sih mau Mas?”
”Mau mau... kamu bilang kangen sama Mas!”
”Mas puas memperlakukanku seperti ini?”
”Mas hanya ingin mendengar Faza kangen sama Mas.”
”Kalian jahat, suka memojokkan.”
”Maksudmu apa Za..?”
”Mas puas? Puas melihat aku dipojokkan. Melihatku tak bisa berkutik di hadapan ibu? Melihatku menderita, tertekan? Puas? Puas Mas?” katanya berapi-api. Kemarahan terlihat sekali dimatanya, nafasnya memburu. Aku tak habis mengerti, mengapa dia harus marah? Mengapa harus merasa terpojok oleh kata-kata ibu?
”Apa ada yang salah dengan kata-kata ibu? Mas nggak tahu yang kau maksudkan Za!”
”Mas dengarkan? saat ibu mengatakan Faza harus segera belajar tentang kios, kebun karena semua ini akan menjadi milik Faza? Dengar kan Mas?” kata-katanya bergetar.
”Bukankah benar begitu? Ini semua nanti akan menjadi milik Faza. Lalu apa yang salah?”
”Mas, dengar! Faza belum ingin menikah. Bukan saat ini. Kalau Mas ingin segera menikah, jangan paksa Faza. Cari calon istri lain. Jangan menuntut Faza dengan cara seperti itu. Faza belum ingin menikah. Ingat itu.... Mas cari yang lain saja. Faza bisa menerima. Kalau Mas memang ingin melakukannya!”
Faza bisa menerima, Faza bisa menerima. Kalimat itu bergaung di otakku, jelas. Benarkah yang dikatakannya, benarkah dia bisa menerima kalau aku mencari calon istri yang lain selain dia? Benarkah itu kata hatinya? Faza dengan susah payah aku menaklukkan hatimu, kenapa aku harus mencari calon istri lain selain dirimu? Buat apa?
”Ingat Za...tak pernah terlintas sedikitpun di hati Mas untuk mencari calon istri lain selain Faza. Selama Faza masih bersama Mas, tak akan pernah ada wanita lain. Ingat itu.... ” kukatakan dengan keras kata-kata itu, biar Faza tahu apa yang kurasakan, nyeri yang terasa mendengar kata-katanya.
”Mas tahu kan kalau aku belum mau menikah...”
”Ya... Mas tahu...”
”Masih banyak yang menjadi keinginanku, dan aku belum mau terikat.”
”Mas pahami hal itu.”
”Lalu kenapa ibu ingin kita segera bersama? Agar Mas segera punya pendamping? Pasti Mas yang punya ide itu.”
”Za.... dengar.... Mas sama sekali tidak tahu kalau ibu hendak berkata seperti itu. Mas sendiri kaget mendengarnya. Tak pernah terlintas sedikitpun di hati Mas buat memaksamu, atau mencari penggantimu. Mas pernah berjanji menantimu sampai kau siap. Kau ingat? Itu janji Mas padamu. Kau harus percaya itu.”
”Mas...kalaupun Faza jadi menikah dengan Mas, Faza nggak mau tinggal disini...tak pernah aku bermimpi untuk tinggal di tempat ini...”
”Tapi itu tak mungkin Za....usaha Mas disini, hidup Mas di desa ini, susah Mas buat meninggalkan tempat ini. Lagi pula ada ibu. Kalau kita tinggalkan tempat ini, lalu siapa yang akan mengurus usaha yang sudah mulai berbuah ini, usaha yang kubangun dengan kerja keras selama ini.”
”Gimana aku bisa jadi istri yang baik, yang sekali waktu mengurusimu, kalau aku tak bisa menggunakan tungku, masak dengan kayu bakar? Bagaimana mungkin?”
”Semua bisa dipelajari Za, dan itu tidak prinsip. Kita akan cari orang yang bisa membantu. Kalau kau tak suka tungku, kita bisa cari alat lain. Demi kamu Za...semua bisa kulakukan...”
”Aku nggak mau ada orang lain diantara kita, aku mau kita hidup berdua saja. Berdua saja. Tanpa campur tangan orang lain. Aku tak mau tinggal disini atau di tempat mama. Aku mau kita mandiri. Man di ri .”
”Za...dengar Za. Mas juga mau seperti itu. Tapi Mas laki-laki, tak mungkin Mas hidup bergantung pada istri. Mas harus punya penghasilan. Mata pencaharian Mas ada disini. Mas harus jadi suami yang bisa menghidupi istri. Bukan suami yang numpang hidup pada istri.”
”Jadi, aku nggak boleh bekerja, begitu maksud Mas. Tidak Mas, sekaya apapun Mas, sebesar apapun penghasilan Mas, aku harus tetap bekerja. Bagiku, jadi istri tidak harus selalu krido lumahing asto . Seberapapun hasilku, aku ingin belanja dengan hasil keringatku sendiri. Aku tak mau hanya jadi kanca wingking. ”
”Za...aku tidak melarangmu bekerja, tapi kau harus ingat, aku juga butuh perhatianmu.”
”Bukannya ibu ingin aku mengurus kebun dan kios? Aku nggak mau jadi tukang kebun dan penjaga kios. Titik. Kalian egois.”
”Faza, bukan begitu. Kita bukan kanak-kanak lagi yang berebut mainan kan? Siapa yang kuat siapa yang menang. Semua bisa dipikirkan dan dicari solusinya. Tapi bukan dengan emosi.”
”Jadi Mas anggap aku masih kanak-kanak? Lepaskan tanganku. Aku pulang sekarang.”
”Za...” kataku tanpa melepaskan tangannya.
”Mas jahat, jahat...”
Tangannya mengarah memukul dadaku. Suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca. Kutarik badannya kupeluk erat. Terisak dia di dadaku. Air matanya membasahi kaus yang kukenakan, menembus dada. Apa sebenarnya yang kau inginkan Faza. Susah memahami alur pikirmu kali ini. Sehari ini kau tampilkan dirimu yang lain, yang sungguh berbeda. Kemarahan yang tak pernah kutemui dalam dirimu. Badannya berguncang menahan isak. Mengapa harus menangis sayang? Mengapa tak kau katakan terus terang rindumu padaku? Kuusap kepalanya dan kuciumi. Rasa marah yang sempat hadir dalam diriku luruh sudah, melihatnya menangis, terasa ngilu. Faza katakan sesuatu yang mudah buat kumengerti apa kehendakmu. Semua serba salah, semua menghadirkan rasa tidak nyaman.
Dia melepaskan diri ketika isaknya sudah mereda. Kupandangi wajahnya yang murung. Seujung penyesalan tergores. Seharusnya pertemuan ini adalah pertemuan yang membahagiakan, setelah beberapa saat kami tak berjumpa. Pertemuan yang bisa menjadi pelepas dahaga rindu. Sayang, mengapa harus terganggu dengan pemasalahan yang seharusnya tak terjadi. Tapi aku tak bisa menyalahkan ibu, karena yang dikatakan ibu benar adanya. Sedangkan Faza, aku bisa menyadari sepenuhnya. Dia yang tak pernah menyentuh dapur, yang selalu sibuk dengan pekerjaan dan kegiatannya, tentunya canggung bila harus berkutat di dapur ibu yang penuh asap kayu bakar. Tapi bukankah itu bukan hal yang prinsip? Kurasa aku mampu membelikan apa yang dia inginkan, aku bisa buatkan dapur yang bersih walau untuk itu aku harus berhemat. Aku harus memakluminya, dia yang biasa hidup di tengah kota dengan segala kemudahannya, tempat yang bersih dan terang benderang, harus beradaptasi di tempatku ini. Faza, kita bisa pikirkan itu semua sambil jalan, bukan sekarang. Saat ini aku hanya ingin melepas rinduku padamu saja.
”Kau istirahat saja dulu, masih ada waktu, paling tidak buat meluruskan badan.” kataku ketika Faza selesai membersihkan mukanya dari air mata.
”Ada kamar mandi di samping, kau bisa cuci muka dulu disana.” Dia mengangguk. Kemudian berjalan menuju kamar mandi di samping kios.
”Dah Mas.” dia sudah berdiri di sampingku tanpa kusadari.
”Ayo.”
Kuiringkan jalannya kembali ke rumah untuk istirahat, memanfaatkan waktu yang tinggal dua jam. Kuantar dia sampai depan pintu kamar.
”Kalau bisa tidur sebentar lebih baik. Nanti mas bangunkan kalau sudah saatnya ya?”
”He... eh.” jawabnya sambil mengangguk.
”Senyum dong, Mas rindu senyumanmu!” diberinya aku sedikit senyuman kemudian masuk kamar. Dan dia menutup pintunya.
”Tidur ya...” masih sempat kulontarkan kata-kata dari luar kamar.
”Ya...”
Aku menuju ruang tengah, tak kulihat ibu di sana, kamar ibu tertutup, mungkin istirahat. Lebih baik begitu, ibu tak boleh melihat Faza bersedih, karena kan menimbulkan tanda tanya. Dua wanita yang kucintai, dengan dua tempat yang berbeda di hati. Masing-masing tarik menarik untuk menyita perhatianku.

Tepat jam 04.00 kuantar Faza agen tiket di rumah makan Lestari, tempat bis berhenti untuk makan dan menaikkan penumpang tambahan. Wajahnya sudah terlihat lebih segar, tak lagi semurung tadi siang. Ketika pamit pada ibupun, senyumnya mengembang. Ibu memeluknya penuh cinta, Faza membalas pelukan itu sambil tersenyum melihatku. Kami berboncengan menuju agen tiket di rumah makan Lestari. Kutunggui dia cek in, bis belum datang, kami masih punya waktu buat berbincang. Banyak bangku kosong buat calon penumpang. Aku menggandeng Faza ke tempat yang agak sepi. Kami duduk bersisian.
”Maafkan Mas ya, kalau pertemuan ini tadi membuatmu tak enak.”
”Mas marah nggak kalau Faza ngomong sesuatu?”
”Menurutmu Mas suka marah ya?”
”Nggak juga sih, Mas termasuk orang yang sabar... terlalu sabar malah...”
”Emang mau ngomog apa ? Penting banget ya?”
”He...eh..” Faza menarik nafas panjang. Seakan ingin melepas beban berat di dadanya.
”Apa, kau gelisah?” kupegang tangannya memberinya kekuatan.
”Mungkin ini pertemuan terakhir kita.” katanya tersendat.
”Kenapa Za...?” tanyaku tak mengerti.
”Faza tak mampu melanjutkan hubungan ini..”
”Kenapa...?” aku penasaran dengan kata-katanya.
”Tak mampu aja..”
”Mas nggak salah dengar?”
”Nggak.”
”Kenapa tiba-tiba Faza katakan ini? Ada masalah? Sudah kau pikir benar-benar?” kuubah dudukku menghadap Faza.
”He...eh.”
”Faza nggak bertanya pendapat Mas?” kataku merasa tak dimintai pendapat.
”Apa itu perlu?” Faza berkata tanpa rasa bersalah.
”Sangat perlu.”
”Buat apa?”
”Kita menjalaninya berdua Za, kau tak bisa mengatakan pendapatmu saja. Disini ada aku yang terlibat, aku juga punya hati Za.” ada emosi yang terasa pada kata-kataku.
”Trus...?”
”Mas keberatan!”
”Kenapa?”
”Mas sayang kamu Za, dan Mas yakin kau juga sayang sama Mas.” kataku tegas, aku yakin Faza sayang padaku, aku meyakini sikap-sikapnya selama ini.
”Tapi arah jalan kita berbeda Mas, cara pandang kita berbeda.”
”Tidak Za, arah kita sama, hanya cara kita yang berbeda. Kita harus mencari solusinya.”
”Tidak mudah Mas.”
”Kita akan cari jalan terbaik buat kita, Za.”
”Aku tak yakin lagi, ada jalan terbaik.” katanya lemah, tanpa daya.
”Za...kau yang bilang kita tak boleh putus asa. Mana Faza yang dulu? Faza yang tegar dan tak mudah putus asa?”
”Sudah hilang Mas, tak ada lagi.”
”Faza, beri aku kesempatan buat memikirkannya. Jangan biarkan emosi membelenggumu .”
”Mungkin ini jalan terbaik Mas.”
”Faza, Mas tak mau itu...Dengar Za... Mas nggak mau kau pikirkan ini, Mas mau kita tetap bersama. Lihat mataku Za... adakah kebohongan disana. Lihat Za... Mas berkata sejujurnya.”
”Faza sudah sampai pada sebuah keputusan Mas.”
”Nggak Za...Kau terbawa emosi, Mas nggak mau kau menyesal.”
”Besok mungkin akan lebih menyesal Mas.”
Percakapan berhenti ketika bis yang ditunggu datang. Masih ada beban yang menggantung diantara kami. Aku berharap apa yang dikatakan Faza hanya sebatas emosi sesaat belaka. Ketika Faza hendak naik, karena bis hendak berangkat. Kupegang tangan Faza, dingin.
”Boleh Mas memelukmu Za...” dia hanya diam, tapi tak mengelak. Kupeluk Faza erat-erat, berat buat melepaskannya, dia juga memelukku erat, debaran jantungnya terasa sekali di dadaku. Aku tahu dia masih sayang padaku. Beberapa orang memperhatikan kami, namun itu tak membuat kami jengah. Aku ingin memeluknya buat selamanya.
”Sampai besok Za, Mas selalu menantimu.” kubisikkan ditelinganya kalau aku masih setia padanya. Dia tak berkata apa-apa kecuali mengeratkan pelukannya. Aku mengerti dia juga rindu padaku sebenarnya. Kulepas Faza dengan hati penuh tanda tanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar