Laman

Kamis, 05 Agustus 2010

9. Hangatkan Hatiku

Semalam aku jadi susah tidur. Hanya Faza yang ada dalam angan dan bayanganku. Secercah harapan hadir, ingat Faza yang terpesona karena aku memintanya buat menyebutku dengan sebutan Mas. Tak ada penolakan sama sekali saat kupegang erat tangannya. Tatapannya bertabur binar-binar riang, kilaunya menyejukkan. Membesarkan harapanku.
Sore itu, ketika aku menjemputnya, dia sudah rapi. Celana hitam, blus pink lembut, jilbab pink, tampilan yang ceria, seceria hatinya mungkin ya? Senyumnya merekah ketika menyambutku.
“Sekarang Kak?” tanyanya saat aku sampai teras, tanpa mempersilakan aku duduk dulu.
“Boleh, sudah siap kan?”
“Bentar ya…” dia masuk pamit tantenya kalau mau pulang agak malam. Keluar kembali menenteng selop dan tas batik kesayangannya.
“Boleh aku minta ijin tantemu dulu? Nggak enak kan, bawa gadis orang tanpa ijin. Padahal kita akan pulang agak malam.”
“Tan…. mau pamit ni Tan…!” serunya sambil melongok ke dalam. Seorang wanita muda berjalan keluar sambil melap tangannya yang basah. Tersenyum memandangku.
“Mau berangkat sekarang? Titip Faza ya…”
“Ya, saya permisi dulu …. Saya ajak Faza, saya antar pulang sekitar jam 10.00.” kataku santun, agak jengah juga harus menyapanya dengan sebutan apa.
“Hati-hati ya… ke Tegalrejokan? Kalau perlu sesuatu telpon Oom, Za…” katanya padaku dan Faza.
“Terima kasih, kami pamit.” sahutku.
“Ok Tan…berangkat dulu ya Tan…!” kata Faza sambil memeluk tantenya dan mencium pipinya. Dekat sekali dia dengan tantenya, seperti dengan temannya saja.
“Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.”
Berboncengan dengan Faza di udara sore, parfumnya lembut, menyentuh hidungku. Parfum yang tidak murah mestinya, lembutnya khas, tidak merangsang. Tak terburu-buru aku berkendara, ingin lebih lama berdekatan dengan Faza. Kulirik wajahnya dari kaca spion, pandangan kami beradu. Ternyata kami sama-sama mencuri pandang. Dadaku gemuruh. Kulihat wajah Faza yang memerah sudah berpaling. Makin kuat rasaku kalau dia juga memperhatikanku. Kugeser dudukku ke belakang, lebih mendekat. Udara memang lebih dingin dari biasanya, angin bertiup lebih keras. Sekilas kulihat mendung tipis terbawa angin.
“Dingin Za…?” kutatap dia dari kaca spion.
“Agak…!” dia mencoba melihatku dari kaca spion pula lalu dia tersenyum.
Dengan tangan kiriku, kuraih tangan Faza kuletakkan di pinggangku. Dia diam tak menolak. Saat di lampu merah kuraih tangan kanannya, sama, Faza diam tapi tak melepaskan tangannya dari pinggangku. Denyar-denyar itu hadir lagi. Dengan kedekatan ini makin terasa jantung Faza yang berdegub lebih kencang. Dadanya dekat sekali dengan punggungku, aku bahkan bisa merasakan detak jantungnya, aliran nadinya. Rasa hangat mengalir di seluruh tubuhku. Faza, kau buat aku jadi lebih merindukanmu. Ingin selalu berdekatan denganmu, tapi apa itu mungkin? Sebentar lagi kau berada jauh disana. Terasa Faza menyandarkan kepalanya di bahuku, nafasnya hangat menyentuh kudukku. Berdiri seluruh bulu roma, aliran nadiku semakin cepat, adrenalin terpacu. Jantungku bekerja lebih keras memompa darahku. Tanpa terasa aku sudah memasuki halaman rumah. Faza tergeragap, buru-buru melepaskan tangannya yang semula melingkari pinggangku. Wajahnya bersemu merah. Manis sekali. Turun dari boncengan dengan wajah tercengang memandang sekeliling. Pandangannya jatuh di hamparan anggrek di halaman samping rumah.
“Exotis….?” gumamnya.
“Za….?”
“Ya Kak…?” panggilanku mengganggu keasyikannya memperhatikan hamparan anggrek.
“Panggil Mas ya…?”
“Ahh…nggak biasa…!”
“Nanti pasti jadi biasa…ingat panggil Mas ya…?” kataku sambil menggamit tangannya. Dia memandangku lucu. Aku tersenyum. Dia menunduk menatap ujung selopnya. Kusentuh dagunya, aku ingin dia menatap mataku, merasakan kesungguhan hatiku. Merasakan resahku selama ini. Faza tak berkata, hanya menatap aku dengan senyum, tapi matanya, matanya yang mengatakan isi hatinya yang tak pernah bisa kuraba.
Kugandeng dia masuk ke rumah, di dapur sudah banyak orang yang membantu mempersiapkan uba rampe untuk acara nanti malam. Mendengar langkah kami masuk beberapa orang menengok memperhatikan. Aku tersenyum, mereka membalas dengan senyum sambil mengangguk. Kehadiran Faza di sampingku telah menyita perhatian mereka. Kuedarkan pandangan, tak ada ibu di dapur.
“Ibu mana ya mbak…?” tanyaku pada salah seorang dari mereka.
“Sejak tadi tidak di sini koq Mas…” sahutnya sambil memandangi kami tersenyum.
“Di ruang samping Mas.” kata yang lain.
“Matur nuwun mbak.” kataku sambil melangkah ke ruang samping.
Beberapa orang melihat Faza tak berkedip, yang dipandang salah tingkah, tangan Faza jadi dingin, mungkin nervous dia. Kueratkan peganganku, alirkan kehangatan, harapanku genggaman ini menenangkan. Tenang Za, ada mas disini, yang selalu siap bersamamu, kataku dalam hati. Seperti anak kecil dia mengikuti langkahku tanpa suara, melangkah menuju rumah samping. Terdengar suara orang berbincang di dalam. Kami masuk, Faza mengeratkan pegangannya.
“Assalamualaikum….” kuucapkan salam.
“Walaikumsalam….” suara mereka menjawab salamku.
Ada ibu disitu sedang menata makanan kecil di piring-piring dan toples dibantu Yu Kemi dan Indah anak gadisnya.
“Man…?” ibu memandangku penuh tanda tanya.
“Faza Bu.” kataku, menjawab pandangan ibu yang penuh tanya. Ibu tersenyum memandang Faza.
“Ini ibu Za.” kuperkenalkan ibu pada Faza. Dia tersenyum lalu mengulurkan tangan pada ibu, mereka saling berjabat tangan.
“Ini Yu Kemi, dan ini Indah putranya.” kataku memperkenalkan yang ada dalam ruangan itu. Faza tersenyum pada mereka dan mengulurkan tangan tak lupa berjabat tangan sambil memperkenalkan diri.
“Ayo nak, ajak ke ruang tamu Man.” Ibu memerintahku mengajak Faza ke ruang tamu. Faza memandangku.
“Boleh saya di sini membantu Ibu?” Faza bertanya pada Ibu.
“Eh…tamu tempatnya di ruang tamu…. Ayo Man ajak Faza….” Faza memandangku memohon pengertian.
“Biar disini sajalah Bu, Faza kan ingin bantu ibu, lagian disini banyak pekerjaan yang bisa dilakukan. Rahman disini juga, mau bantu ibu!” kataku. Ah baru kali ini aku menolak permintaan ibu, semoga ibu tidak marah.
“Baiklah…. Ndah pundhutke unjukkan ya Nok! ” kata ibu pada Indah.
“Inggih Bu….” Sahutnya sambil beranjak ke dapur.
“Nggak lelah Nak….?” tanya ibu pada Faza.
“Tidak Bu, terima kasih diijinkan membantu disini… apa yang bisa saya lakukan Bu?”
“Ini wajik ditata di piring, kembang goyang masukkan toples. Hati-hati biar baju dan tangan tidak kotor.” Ibu menasehati.
“Inggih Bu…” Ibu berhenti dan menengok Faza tak percaya mendengar kata-kata Faza. Faza mengambil beberapa potong wajik dengan alas daun, ditatanya di piring, rapi dan cantik tatanannya. Terlihat ibu suka dengan hasil kerja Faza.
“Lho, iso boso Jowo ta Nak? ” tanya ibu.
“Sekedik Bu… ”
“Lha tak kiro ki cah Jakarta, raiso Jowo. ”
“Besok Faza jadi anak Jakarta Bu.” kataku menjelaskan pada ibu.
“Maksudmu apa Man?”
“Bulan depan dia dipindahtugaskan di Jakarta.”
“Benar begitu Nak Faza…”
“Benar Bu…”
Cekatan Faza membantu ibu mempersiapkan makanan kecil, menata di piring dan memasukkan ke toples. Sambil berbincang dengan ibu, Yu Kemi dan Indah. Aku hanya memandangi mereka sambil tersenyum. Hanya Indah yang tak banyak bersuara, berkali-kali kulihat dia mencuri pandang pada Faza dan padaku. Entah apa yang dipikirkannya, anak klas dua SMK yang baru mekar, namun senyumnya banyak disimpan untuk sendiri. Beberapa kali pandanganku dan Indah beradu, dia cepat-cepat mengalihkan pandangan atau menunduk. Sebenarnya dia anak yang manis sekali.
Melihat ibu bisa menerima Faza, dan Faza bisa berbaur dengan mereka aku bahagia sekali. Dengan cara ini aku ingin memperkenalkan Faza pada keluargaku. Sejak awal aku yakin Faza akan bisa membawa diri di hadapan mereka, walau sering terlihat angkuh, tapi sebenarnya Faza punya pribadi yang supel. Bahkan Aril, ponakanku yang berumur 8 bulan langsung lengket begitu ketemu Faza, nggak mau lepas. Faza sendiri tak mau melepaskannya. Begitu mudahnya dia menarik hati anak kecil. Kata orang tua-tua, anak-anak mudah dekat dengan orang yang tulus hati mengajaknya, menyayanginya. Kulihat wajah bahagia Faza ketika menggendong si kecil. Kudekati dia kucium ponakanku dalam gendongan Faza, dia kegelian, meronta-ronta ingin lepas. Mencoba menghindarkan wajahnya dari ciumanku.
“Jangan dong Kak…. Geli dia kena kumis tu lho…” katanya sambil setengah mendorongku menjauh.
“Mas….” kataku mengulang sebutan Faza padaku.
“Ahhhh….” dia tersipu malu.
“Panggil aku Mas…. ya Yang….” Aku berbisik di telinganya.
“Huuuu….. sayang - sayang….” katanya sambil cemberut, tapi wajahnya memerah.
“Aku sayang bener koq sama Faza…” kataku berterus terang dengan suara setengah berbisik, sambil menggoda ponakanku.
“Maunya apa sih…?”
“Maunya kita bersama…”
“Maksudnya….?”
“Aku mau melamarmu…?” aku bersungguh-sungguh.
Kupegang tangannya yang menepuk-nepuk ponakanku. Dingin, sedingin es. Faza tak berkata-kata, wajahnya memerah, di bawah lampu aku melihatnya jelas. Mungkin Faza tak mengira akan secepat ini aku memintanya, apalagi melamarnya, sementara mengatakan jadian saja belum pernah. Sudah terlanjur basah, langkahku sudah mantab jadi aku harus mengatakannya sekarang, kalau aku serius menginginkannya menjadi istriku. Sebelum dia terbang jauh. Aku sudah siap dengan jawaban apapun dari Faza, pahit maupun manis. Semua ada resikonya dan aku sudah siap menghadapi resiko itu.
“Za….!” Dia hanya tersenyum, tak berkata apa-apa. Selalu begitu, kalau kami berbincang tentang hal yang sensitive sulit mengajak Faza menanggapi dengan cepat. Hanya senyum yang sering tersungging. Senyum yang tak menjawab pertanyaan. Karena semua masih menjadi misteri yang harus diungkapkan. Karena senyum bukan berarti setuju. Dan aku tak mau tertipu.
“Mas Rahman diminta ke depan, mbak Faza juga, sini Aril biar saya yang gendong.” kata Yu Kemi pada kami.
“Mas Rahman saja, biar aku disini sama Aril.” Mas…Mas Rahman? Nggak salah dengar aku? Faza menyebutku Mas? Betapa girang hatiku mendengarnya. Kutatap dia lekat-lekat, pandangannya masih pada Aril. Digodanya anak kecil itu, yang semula sudah hampir menangis karena ulahku. Kini Aril terkekeh-kekeh di tangan Faza. Ayo Za…. Pandang mataku. Ingin kucari jawab pada matamu, aku yakin bisa membacanya. Kutunggu Faza memandangku, tapi itu tak dilakukannya. Aku tahu dia menyembunyikan perasaannya dengan menggoda Aril, mengalihkan perhatiannya dariku.
“Mangga lho Mas’” Yu Kemi mengulangi.
“Nggih Mbak. Faza nggak ikut? Ok, nggak pa pa, kalau Aril rewel berikan Yu Kemi saja ya, Mas ke depan dulu.”
Aku setuju permintaan Faza. Yu Kemi hanya mengangguk, Faza mengangguk. Aku mengerti, Faza ingin menyendiri, mencerna kata-kata yang kuucapkan tadi. Dengan masih menggendong ponakanku dia akan leluasa memikirkannya, karena orang lain akan berpikir dia mengasuh anak itu. Tentunya itu hanyalah sebuah cara Faza untuk mengalihkan perhatian orang.

Acara selesai, aku menuju ruang samping. Kulihat Faza duduk sambil membaca buku di samping Aril yang sudah tidur nyenyak di amben panjang. Beberapa kali kulihat pandangannya jauh dari buku yang dipegangnya. Buku yang dipegangnya tak berpindah halaman, ada sesuatu yang dipikirkannya. Selintas terselip rasa berdosa melihatnya menjadi seperti ini. Dia gadis yang riang dan ceria, tapi beberapa kali dia harus mengalami guncangan karena tingkahku. Hari ini adalah kesekian kalinya aku membuatnya seperti ini, karena aku terlalu menggebu-gebu. Beberapa menit aku memandanginya sampai dia tahu. Dia menengok sambil tersenyum. Senyum itu yang telah membuatku jatuh hati padanya. Ah… ternyata dia tidak marah. Aku mendekatinya.
“Sudah selesai, mau kuantar sekarang apa nanti?” Dia mengangguk. Dimasukkannya buku yang tadi dibaca, kemudian beringsut turun. Kubimbing tangannya berdiri, kubantu dia mencari selopnya di bawah amben, dia tak menolak.
“Thanks.” katanya singkat.
“Minta ijin ibu dulu ya?”
Tak berkata apa-apa dia mengikutiku, ke rumah depan, ibu masih di sana berbincang dengan beberapa tamu yang masih tinggal. Tapi hari sudah terlalu malam, aku harus segera mengantar Faza pulang. Sebenarnya tidak enak mengganggu mereka berbincang, tapi apa boleh buat.
“Maaf…. Bu, Rahman ngantar Faza pulang dulu…?” kataku sambil bersalaman dengan tamu yang masih ada.
“Calonnya mas Rahman?” tanya pakdhe Wongso.
Aku hanya tersenyum sambil menengok pada Faza, yang kupandang hanya tersenyum dipaksakan.
“Hati-hati Man, lain saat datang lagi ya Nak.” ibu menjabat tangan Faza dan memeluknya. Faza mencium tangan ibu sambil tersenyum.
Kami beringsut meninggalkan tempat itu. Mengambil motor di halaman samping. Udara menggigit. Dingin.
“Sebentar ya…tunggu sini.” perintahku pada Faza. Aku masuk kamar kuambil jaket, sedikit parfum menghilangkan bau apek dari lemari kayu.
Faza masih berdiri tenang bersedekap di samping motor.
“Dingin…?” dia hanya mengangguk. Jaket yang kubawa kuselimutkan padanya.
“Pakai ini…” kataku. Tanpa kata dia mengenakan jaket yang kuberikan. Mengurangi dingin yang makin menusuk kulit. Kupakai jaket yang masih tergantung di motor. Lembab. Dingin. Aku sudah bersiap di atas motor. Faza sudah duduk di boncengan. Motor belum ku starter.
“Za….”
“Hemm…”
“Kamu marah…”
Tak ada jawaban dari Faza. Hanya nafasnya terasa di punggungku. Dia mendesah.
“Faza nggak mau bilang apa-apa sama Mas?”
Harus bagaimana agar dia bisa bicara. Tak ada kata-kata terucap dari bibirnya. Aku mengubah posisi dudukku, menyamping. Kuambil tangan Faza. Dingin. Wajahnya menunduk, dekat sekali denganku.
“Za….kalau memang Faza nggak suka Mas berlaku demikian, Mas mohon maaf. Mungkin Mas terlalu lancang melakukan ini. Mas terlalu menyayangimu Za….sejak dulu. Sejak kita bertemu di Pingka Mina. Sejak lama Mas ingin mengatakannya, tapi susah mencari saat yang tepat buat bicara. Sering kali ada kesempatan, tapi Faza selalu mengalihkan perhatian itu.”
Tangannya yang dingin semakin dingin. Kuremas tangannya. Masih tak ada jawaban, selain tarikan nafas panjang.
“Mas tahu diri. Mungkin orang seperti Mas bukan idamanmu. Karena memang kesenjangan yang ada terlalu lebar. Kau orang berpendidikan, mas hanya seorang petani desa. Orangtuamu kaya, orangtuaku miskin. Sering aku merasa bagai pungguk merindukan bulan. Tapi mas merasa sikapmu selama ini tak pernah menolakku. Mungkin mas gedhe rasa ya? Kalaupun Faza menolak, tolong jangan puasa bicara. Mas siap menerima apapun jawabannya.”
Faza masih diam, tapi detak nadinya cepat, memburu. Terasa dari nadi tangannya yang kupegang.
“Ok…maafkan Mas ya Za…. Telah sempat membuatmu tidak nyaman. Semoga berikutnya kita tetap bisa menjadi teman yang baik.”
Rasanya pupus sudah harapanku. Tak ada kata terucap, tak ada reaksi. Semua dingin. Sedingin udara malam ini. Detak nadi yang keraspun tak mampu menghangatkan badan yang rapuh.
Sepanjang perjalanan kami terdiam. Karena dingin yang menggigit, kuambil tangan Faza, kulingkarkan di pinggang. Faza diam tak menolak. Apa sebenarnya yang dipikirkan gadisku ini. Dari sikap-sikapnya selama ini tak ada penolakan sama sekali. Kalaupun dia marah, pada pertemuan-pertemuan berikutnya, sepertinya dia telah melupakan kemarahannya, semua kembali ceria dan riang. Beberapa pertemuan memang diakhiri dengan diam tanpa kata. Dingin yang menggigit membuatku berkendara tak terlalu cepat. Sebuah kegagalan tak harus membuatku putus asa. Aku yakin Tuhan akan memberikan yang paling baik buatku.
Sampai di depan rumah, Faza tak segera beranjak.
“Boleh bicara sebentar nggak Kak?” tanya Faza memohon.
“Boleh, ada apa?”
“Di bawah pohon alpukat ada ayunan.”
Kami menuju tempat yang ditunjukkan Faza. Setelah motor kusandarkan di samping pintu pagar. Ada tanya dalam hati, apa yang akan dia katakan. Sebuah vonis? Aku arus siap menerima segalanya. Harus. Aku laki-laki. Faza duduk di ayunan, aku duduk di bangku di dekatnya. Faza tak segera bersuara. Tarikan nafasnya panjang. Dia mendesah. Aku bertahan tak mengusiknya, walaupun aku segera ingin tahu apa yang akan dikatakannya.
“Kakak ingin jawaban apa dari Faza?” sungguh tak menyangka aku akan dihadapkan pada pertanyaan seperti ini. Sebenarnya aku lebih suka dia mengatakan ya atau tidak, daripada mengembalikan pertanyaan itu padaku. Kupandangi Faza dalam remang lampu taman, dia memandangiku menunggu jawaban.
“Faza tentu sudah tahu jawabannya. Aku ingin mendengar jawaban dari Faza. Aku nggak ingin menebak-nebak.”
“Kakak nggak sakit hati mendengar jawabannya nanti?”
“Kakak harus siap menerimanya, pahit maupun manis. Apapun jawabanmu Kakak siap mendengarnya.” Jantungku berdebar lebih keras dari biasanya.
“Aku belum siap menikah Kak.” Lemas seluruh sendiku mendengar jawaban Faza seperti itu. Tak ada daya. Lidah jadi kelu, banyak tanya yang ingin kusampaikan, tapi lidah ini tak mau banyak bergerak. Hening sesaat.
“Maafkan Faza, telah buat Kakak kecewa.”
“Nggak pa pa Za, mungkin memang kita belum jodoh, Kakak memakluminya, menyadarinya. Kakak juga minta maaf kalau selama ini kakak telah mengganggumu.”
Suara jengkerik dan burung puyuh, tak merusak keheningan yang ada. Menjadikan malam lebih ngelangut . Malam beringsut makin jauh. Aku berdiri hendak mohon diri.
“Aku pulang dulu Za….aku harus ketemu Oommu.”
Faza tak bergeming, ayunan yang didudukinya diayun pelahan.
“Kakak terburu-buru?”
“Sudah malam Za…”
“Tak ada waktu lagi buat Faza?”
“Sudah terlalu malam Za…”
“Ok…” akhirnya dia berdiri dan melangkah masuk memanggil Oomnya.
Oomnya keluar menemuiku.
“Sudah mau pulang?”
“Sudah malam, saya mengantarkan kembali Faza, terima kasih atas ijinnya.”
“Makasih lho sudah diantar pulang.”
“Permisi.”
“Mangga, nderekaken”
Aku menuntun motor keluar pagar, Faza masih mengikutiku, Oom Faza sudah masuk kembali.
“Pulang Za…” kataku sambil merapatkan kancing jaket. Faza melepas jaketnya, dan menyerahkannya padaku.
“Terima kasih ya Kak…. Besok kalau Faza sudah siap Faza akan beritahu Kakak….”
“Maksud Faza…?” tanyaku tak mengerti kata-katanya.
“Ya kalau Faza dah siap buat menikah Faza pasti kasih tahu Kakak…. Biar Kakak bisa mejemputku…”
Hati yang semula sudah putus harapan, kembali berbunga. Ternyata Faza bukan menolak, hanya menunda, menunggu dia siap. Aku tahu. Aku juga tidak ingin secepat itu menikah tanpa persiapan. Aku hanya ingin segera mengungkapkan keinginan hati. Kapanpun Faza siap, aku sudah siap. Faza terlalu pandai kau bersandiwara.
“Nggak salah dengar aku Za?” kupegang bahunya. Faza menggeleng. Kupandangi mata Faza mencari kepastian jawaban. Mata itu berkilat-kilat. Ada bulir bening meluncur dari sudut matanya. Kurengkuh tubuh Faza, kupeluk erat-erat, isak tertahan kurasakan di dadaku. Kupeluk erat tak ingin kulepas, ingin kuberikan ketenangan buatnya, aku selalu tak tahan melihat wanita menangis. Kuciumi kepalanya, dia membalas pelukanku erat. Kurasakan kepasrahan Faza dalam pelukanku, isaknya makin menjadi, isak bahagia, lega telah mampu menyampaikan apa yang dirasakannya. Masih beberapa saat Faza dalam pelukan, sebelum akhirnya dia melepaskan diri, menyusut ingusnya. Kupegang wajahnya dengan kedua tanganku, kuusap air matanya dengan ibu jariku. Senyumlah sayang, aku ingin membuatmu bahagia, bukan kesedihan yang ingin kuberikan, janjiku dalam hati. Faza tersenyum memegangi tanganku.
“Aku sangat sayang kamu Za….” Kataku penuh perasaan. Faza tak berkata-kata, hanya anggukan kepala. Tapi itu semua sudah cukup menentramkan hatiku.
Aku pulang dengan hati ringan dan bahagia. Ingin aku segera menemui ibu, mengabarkan berita bahagia ini padanya. Aku yakin pasti ibu juga berbahagia mendengar berita ini. Dalam perjalanan pulang aku masih bisa bersandung. Karena hatiku sedang menyanyi, menyanyikan lagu cinta yang selama ini kusimpan dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar