Laman

Jumat, 06 Agustus 2010

4. Ketep Pass, Kuhadir Bersamanya


Tiba-tiba saja Faza menagih janji untuk pergi ke Ketep. Heran juga, angin apa yang telah bertiup, yang telah mampu membuka hatinya untuk menerima ajakanku jalan. Yaa…. Sudah lama sekali sebenarnya aku pernah menawarinya untuk jalan ke Ketep berdua, tapi dia tak pernah menggubris, apalagi memberi respon. Aku bahkan hampir melupakannya. Eh pagi ini, dia sms klo nanti siang mengajak ke Ketep. Berbunga tentunya hatiku, bagiku ini adalah angin baik.
“Nanti siang ke Ketep ya…. jam 10.00. tak tunggu di Blabak….”
Aku baru saja ganti kostum, mau ke sawah melihat air, apakah masih mengalir, karena aku dapat giliran jam 4 pagi, tadi kutinggal pulang karena adzan subuh terdengar. Masih pagi sekali sms itu masuk, ketika kulihat detail info di ponselku masih jam 05.07. Mungkin dia baru saja bangun. Pantas semalaman aku tidak bisa tidur nyenyak, gelisah, sesekali ingat Faza. Hampir tiap malam libur selalu saja Faza hadir dalam benakku. Berharap diizinkan buat ke rumahnya, bisa jalan bersama, atau sekedar melewatkan waktu makan siang, atau bahkan sekedar bisa smsan panjang lebar buat memuaskan rindu. Rindu yang selalu hadir tanpa diminta, rindu yang selalu hadir tanpa bisa dicegah. Rindu yang memikat.
“Kujemput aja ya…. ke Yogya….”
“Nggak usah….terlalu jauh….biar ak naik bis aja ke Blabak.”
“Biar aku bisa pamit bapak dan ibu…masak bawa pergi gadis gak bilang-bilang.”
“Lain waktu aja….jadi pergi gak nie….waktuku hanya sampai jam 12 lho….”
Selalu begitu, betapa sulitnya aku ingin mengajaknya pergi tapi mohon izin pada orang tuanya. Kadang aku berpikir, anak ini sudah dibuang oleh orang tuanya, atau dia broken home? Tapi kalau dia bercerita tentang kedua orang tuanya dan adik-adiknya dia kelihatan bahagia sekali. Sungguh bertentangan dengan sikapnya. Atau mungkin orang tuanya terlalu ketat hingga dia enggan pamit, takut tidak diijinkan.
“Oey… gimana jadi nggak? Udah deh dicancel aja, aku bikin skedul baru buat pagi sebelum jam 12!”
Uh… galak banget. Tegas ya? Bukan galak? Itulah Faza, dia yang selalu menentukan apa yang harus kami lakukan, kami lalui, waktu baginya amatlah berharga. Tak pernah dia hidup tanpa skedul, Semua terencana rapi, jangan sampai meleset, jangan ada waktu terbuang percuma di luar rumah, walau diantara waktu-waktu senggangnya, dia bilang paling suka berada di rumah hanya sekedar untuk baca buku atau nonton tv.
“Ok… jadi…nanti ngabari klo dah berangkat ya…”
“Ok….”

Kuhabiskan pagi itu buat mengairi sawah dan memetik beberapa kacang panjang pesanan ibu, cabe yang tertanam di pematang sudah banyak juga yang semburat merah, sekalian kupetik. Juga beberapa terong ungu yang menggugah selera.

“Pagi sekali sudah mandi… ada acara?” tanya ibu melihatku sudah selesai mandi.
Ibu bilang pagi, padahal sudah setengah sembilan.
“Keluar sebentar Bu… ada temen ngajak ke Ketep….?”
“Perawan …?” ibu menyelidik.
“Ya Bu…. Namanya Faza?” sahutku sedikit bangga.
“Kapan kau bawa kemari, kenalkan pada Ibu.” Kata ibu sambil tersenyum. Senyum ibu menyejukkan.
“Besok Bu… sabar… yang ini lain…”
“Jangan lama-lama….”
“Insya Allah…”

Ponselku berdering. Semoga dari Faza, ada desir yang lain di hatiku.
“Ak dah sampai Jombor”
“Ok.”
Kuambil celana selutut dan kaus putih berkerah. Dompet kuselipkan di saku. Segera kusiapkan motor. Oh ya, helm harus dua Faza nggak mungkin nenteng helm naik bis.

“Berangkat ya Bu.” Kucium tangan ibu yang masih sibuk di dapur.
“Hati-hati, kok sandalan jepit?”
“Gak papa kok Bu, cuma main. Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam warohmatullah wa barokatuh”

Dengan riang kupacu sepeda motor menuju Blabak. Faza bilang mau menunggu di Blabak. Jalanan cukup ramai. Aku harus beli bensin dulu, wah ternyata antrean cukup panjang.
“Oey…dah kutunggu di Alfamart lho…!”
Ternyata dia sudah sampai duluan. Tapi antrean ini tidak mudah dilalui. Kalau beli eceran, sering dicampur minyak tanah. Tapi apa mungkin? Kan minyak tanah sekarang lebih mahal? Ah biarlah sudah terlanjur masuk antrean.
“Ak baru beli bensin.”

Aku langsung menuju simpangan setelah pabrik kertas Blabak, di situ banyak angkutan pedesaan sedang menunggu penumpang. Kutebarkan pandangan, tak kulihat Faza.
“Oey….aku pulang aja deh…kelamaan … ak dah nunggu hampir sejam…”
“Kamu dimana Za… aku di simpangan dekat rel…mencarimu?”
“Ak tu di Alfamart…di depan Alfamart.”
“Alfamart dimana….ak gak lihat Alfamart.”
“Tanya dong…masak cari Alfamart aja nggak ketemu, kamu kan orang sini, apa susahnya sih nanya?”
Wah, sudah mulai panas nih nadanya. Tidak biasanya dia berlaku seperti ini, biasanya emosinya cukup terkendali. Mungkin dia memang sudah terlalu lama menunggu. Hingga kesabarannya habis. Tapi Alfamart dimana ya? Tak terlihat papan Alfamart dari sini. Aku berputar mencari.
“Masak aku harus jalan ketempatmu….kamu kan bawa motor… kamu dong yang harus kemari…!”
“Ok…tunggu…kucari kau sampai ketemu….tapi jangan marah dong….”
Akhirnya kutemukan juga. Faza duduk membaca di bangku depan Alfamart. Celana panjang coklat muda kaus hitam jilbab hitam. Kharismatik. Kubunyikan klakson ala tukang ojek. Faza menegakkan kepalanya, melhatku dia berdiri dan tersenyum pada teman duduknya. Lalu berjalan ke arahku dengan pandangan menyelidik.
“Lama banget….” Katanya sambil naik ke boncengan, kusodorkan helm, tapi dia menolak.
“Maafkan aku…”
Debar-debar itu hadir lagi, dia cukup dekat denganku. Bahkan menempel di punggungku. Kulajukan kendaraan tak telalu cepat. Kurasakan Faza menikmati perjalanan ini. Tak banyak kata terucap, dari spion kulihat wajahnya sumringah, dan senyuman itu, mendebarkan. Sering ditengokkannya wajahnya ke kanan atau ke kiri, menikmati pemandangan yang tersaji, sawah yang hijau, udara yang sejuk. Ingin sekali aku merasakan tangannya buat memeluk pinggangku. Tapi itu tak dilakukannya. Satu tangannya memegang buku dan tangan lainnya memegang botol minuman.
“Za….botol ma bukunya masukkan ke bagasi aja ya…”
“Biar aja, buat pegangan.”
Aku tak ingin memaksanya buat memeluk pinggangku, aku ingin semua berjalan alami. Aku ingin dia melakukannya karena keinginannya sendiri, bukan karena jebakan, bukan karena paksaan. Walaupun aku ingin sekali.
Sampai di tempat, kuparkir motor. Kami menuju loket, kuambil dompet buat bayar tiket masuk, tapi Faza mendahului. Aku tak habis pikir, gadis macam apa yang kuhadapi ini, karena ternyata dia membeli tiket hanya untuk dirinya sendiri dan aku dibuatnya kecipuhan berhadapan dengan petugas karena aku belum membeli tiket untuk diriku sendiri. Ada senyum, tapi senyum yang kecut. Aku dikerjain. Sebagai tuan rumah yang baik, aku mencoba menjadi pemandu wisata yang baik buat Faza. Melihatnya riang, aku jadi ikut riang, sering aku mencuri-curi pandang buat menikmati wajahnya. Aku sering merasa disepelekan, karena dia asyik sendiri. Sambil berjalan-jalan dia asyik menerima telepon dari teman-temannya, kalau tidak dia akan bersenandung pelan, sepertinya dia sedang mendengarkan lagu dari radio atau mp3.
Berjalan berkeliling di udara yang sejuk segar, membuat pikiran kita jadi segar pula. Di tempat yang tinggi dan berudara segar ini aku berjalan dengan seorang gadis yang istimewa bagiku. Apapun sikap yang dia perlihatkan padaku, tak membuatku tidak nyaman namun justru membuatku semakin penasaran. Semakin ingin mengenalnya lebih jauh, semakin ingin dapat merengkuhnya. Tak banyak kata yang terucap untukku, namun banyak kata yang bisa kunikmati saat dia menerima telepon. Keriangannya itu, membuat orang yang berada didekatnya menjadi riang pula. Sesaat dia menjawab telepon dengan bahasa asing, fasih kudengar, kubuang pandangan ke lain arah tapi telingaku tajam menyimak pembicaraannya yang tak semua kumengerti.
Dia hampir terjatuh ketika kakinya tersandung telundak yang kami lewati. Reflek kupegang lengannya, dia tersenyum sebagai ucapan terima kasih sambil melepaskan pegangan tanganku. Jatungku berdebar makin keras, hanya karena bisa memegang lengannya. Susah buat mengembalikan detak jantung yang berdebar-debar. Aku hanya mampu tersenyum tanpa bisa berkata-kata. Sebenarnya banyak kata yang ingin kuungkapkan, tapi bibir ini jadi kelu.
Belum setengah jam kami berada di lokasi dia sudah mengajak turun.
“Aku harus pulang sekarang, aku harus menjemput teman di bandara.”
“Sekarang? Kan baru sebentar?”
“Sesuai janji, jam 12 aku harus sampai Yogya lagi!”
“Gak bisa ditunda?”
“Tidak, tolong antar aku ke terminal aja biar dapat bis ac!”
“Ok.”
Kebetulan dia minta diantar ke terminal, berarti kami bisa singgah walau sebentar ke rumah, semoga ibu bisa menerima. Terlalu bersemangat aku memacu kendaraan untuk segera sampai. Apalagi Faza bilang sangat tergesa. Biarlah Faza marah, tidak apa-apa asal bisa mampir sebentar ke rumah. Ketika jalan menikung tajam, kendaraan sedikit oleng, Faza terkejut spontan dipegangnya pinggangku. Tapi segera dilepaskannya kembali. Ada rasa lain menyelinap di hati ketika Faza memegang pinggangku.
“Gak jadi ke terminal ah…. Ke Blabak aja….” Katanya setengah berteriak mengatasi bising kendaraan.
“Kenapa… ke terminal aja biar dapat bis ac….”
“Gak ah…. Takut…”
“Takut apa?”
“Kamu stir kayak orang kesetanan !”
“Katanya takut terlambat?”
“Aku juga masih takut mati!”
“Aku pelan aja deh.” Kataku sambil mengurangi kecepatan kendaraan.
“Ke Blabak aja.”
“Terminal aja ya.?”
:”Blabak.”
“Terminal.”
“Koq maksa sih?”
“Biar bisa mampir rumah.”
“Oooo….” Faza terkejut
Runyam deh, seharusnya dia tidak boleh tau kalau mau mampir ke rumah, salahku juga sih, terlontar begitu saja kalau mau mampir ke rumah.
“Blabak aja, lebih dekat….”
“Dah ni… gak jadi ke terminal?”
“Blabak….Blabak….n Blabak.”

Akhirnya kuantar juga dia ke Blabak. Kutunggu sampai dia dapat bis.
“Kita belum banyak berbincang?” kataku sambil menunggu bis datang.
“O ya?” dia menyahut ringan.
“Aku ingin banyak cerita tapi kamu sibuk telepon terus.?”
“Keberatan?”
“Gak juga sih, hanya aku jadi gak punya waktu.”
“Itulah aku.”
“Kapan kita jalan lagi?”
“Kapan-kapan.”
“Oke…. Kapan-kapan.”
Bis datang kulambaikan tangan. Faza naik sambil masih mengulaskan senyum untukku. Kubalas senyumnya. Walau ada kecewa, aku memberinya juga senyuman. Kulambaikan tangan, dia menyambut dengan lambaian tangan pula. Selamat jalan Faza, kataku dalam hati. Sampai jumpa lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar