Laman

Selasa, 03 Agustus 2010

13. Suara Hati

”Sudah mantab Za ... dengan pilihanmu?”
Kata-kata mama kembali mengusik pikiranku. Pertanyaan itu menusuk ulu hatiku yang paling dalam. Aku yakin mama bermaksud baik dengan pertanyaan itu. Sudah mantabkah aku dengan pilihanku? Aku tak pernah menyangka, mama akan menanyakan hal itu secepat ini. Apakah mama merasakan ada yang aneh dalam sikapku kali ini? Ataukah karena kehadiran Rahman bersamaku siang tadi? Ketika sampai di rumah justru mama yang lebih banyak mengendalikan pembicaraan, mengajak Rahman berbincang lebih santai, sementara aku jadi penonton, jadi penggembira, yang hadir di tempat tapi tak banyak berperan, pikiranku berkelana entah kemana..
”Mama lihat, Rahman berharap banyak padamu?”
”Masa sih Ma...”
”Kau sendiri ceria sekali bila bersama Rahman.”
”Wah Mama tahu aja.... mang klihatan ya Ma?”
”Seorang ibu pasti tahu gejolak hati anaknya, apalagi kalau dia sedang jatuh cinta....”
”Menurut Mama dia gimana sih Ma....?”
”Kelihatannya baik.... dia sopan.... juga anak yang ulet.”
”Hanya itu?”
”Lho maunya apalagi?”
”Mungkin Mama lihat yang lain lagi. Biasanya Mama lebih jeli.”
”Kan Faza yang lebih mengenal Rahman, sedangkan Mama baru tiga kali ketemu langsung, itupun tak bisa terlalu banyak berbincang.”
”Mama suka dia?”
”Faza gimana? Suka nggak?”
Mengapa mama bertanya suka apa enggak ya? Apa sebenarnya yang sudah mama lihat dari kami. Apakah ada yang terlihat istimewa? Padahal aku merasa biasa-biasa saja. Ah Mama.... mama memang memiliki penglihatan yang berbeda dari yang lainnya, dapat melihat hal yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.
Kupandangi lampu-lampu yang seolah berjalan di kanan kiri jalan yang kulewati. Malam ini penumpang tidak terlalu penuh. Di deret 20 aku duduk sendiri. Aku jadi lebih bebas karena tidak terganggu pertanyaan-pertanyaan teman seperjalanan yang bisa mengganggu pikiranku saat ini. Teman seperjalanan biasanya bisa menjadi teman berbincang dan teman perintang waktu yang baik, namun kadang akan membuat kita tertekan bila kondisi emosi kita sedang tidak baik. Sedangan aku merasa saat ini adalah saat yang paling enak buat menyendiri, apalagi aku duduk hanya sendiri.
Benar kata Mama, aku yang lebih tahu siapa Rahman dibanding Mama. Kata-kata Rahman yang penuh harap, untuk dapat segera menikah denganku adalah sebuah pernyataan yang tulus bahwa dia amat mencintaiku. Sudah sejak dulu, sejak pertemuan kami yang pertama, Rahman sudah menunjukkan perhatian yang berlebihan. Sedangkan aku? Tak lebih menganggapnya sebagi seorang kenalan. Tapi kalau jadinya seperti ini? Apakah harus diingkari? Aku sendiri kadang merasa bingung dengan perasaanku. Apakah ini yang dinamakan cinta? Tapi kenapa hambar? Kenapa sunyi? Beragam gejolak hadir dalam benak. Aku tak menolak bahwa rasa rindu sering mendera. Keinginan untuk segera mendengar suaranya bila beberapa hari kami tidak bertemu lewat dunia maya, sering terasa menyakitkan, namun mampu membuatku ketagihan, membuatku ingin selalu mengulanginya.
Jalanan sudah sepi, tanda-tanda kehidupan sudah tak nyata lagi, malam sudah mengajak makhluknya untuk mengistirahatkan diri. Hanya tinggal beberapa orang saja yang kulihat masih ada di jalanan, sepeda motor dan mobil tak lagi banyak yang berseliweran. Malam sudah semakin larut. Penumpang yang ada di sekitarku sudah mulai terlelap. Dinginnya ac membuatku semakin sulit untuk memejamkan mata. Kutekuk tubuhku hindarkan rasa dingin yang berlebihan. Mengubah posisi duduk yang lebih nyaman. Rapikan selimut membungkus tubuh.
Mata terpejam tapi pikiran melayang-layang. Sesosok wajah hadir dalam imajinasi. Rahman. Aku mencoba mengusirnya menjauh, semakin kucoba, semakin kuat wajah itu hadir menguasai pikiranku. Senyumnya, kata-katanya, pegangan tangannya.
”Ini bukan janji Za.... tapi kalau Allah mengijinkan aku ingin membuatmu bahagia.”
Dikatakannya hal itu ketika kami berada di kebun samping rumah. Aku sendiri merasa sangat heran, mengapa dia tiba-tiba berubah serius, padahal sebelumnya kami masih bercanda dan saling ejek. Aku menemukan Rahman yang asing yang hadir di sampingku saat itu, walau dia sering memberikan kejutan-kejutan yang membuat pikiran dan perasaan berdebar-debar.
”Wuih serius amat.... mang siapa yang minta janji-janji?”
”Nggak bisakah sekali waktu kita bicara yang serius?”
Apa gerangan yang membuatnya demikian serius, tegas, memerintah. Apakah ada yang salah yang telah kulakukan? Bukankah dia yang mendahului dengan canda?
”Aku tak pernah menuntut sebuah janji Kak, aku hanya ingin hidup ini mengalir apa adanya.”
”Faza yang kukenal selama ini adalah Faza yang optimis menghadapi hidup.”
”Kadang manusia dituntut untuk bermimpi, menggantung asa setinggi langit, tapi yang namanya lahir, mati dan jodoh Allah sudah mengatur semuanya.”
”Aku ingin bersamamu mencari sebuah mimpi yang sama, megupayakannya, dan meraih bersama mimpi itu menjadi sebuah kenyataan.”
”Kakak sudah yakin dengan mimpi itu?’
”Aku harus meyakininya, walaupun kadang jadi gamang.”
”Kenapa?”
”Ternyata untuk meraih mimpi itu, tak semudah meraih tanganmu yang dingin. Kadang aku merasa sunyi dimana-mana, hingga aku kembali kehilangan arah.”
”Faza tak tahu maksud Kakak.”
Tiba-tiba saja Rahman memelukku, dadanya berdentang, diciuminya rambutku tanpa berkata lagi. Pelukannya yang erat membuatku sesak, ada rasa hangat yang mengalir. Setelah degub di dadanya mereda, baru dilepaskannya pelukannya.
”Kamu tahu nggak? Aku sangat sayang padamu.”
Bayang-bayang Rahman ternyata telah menguasai seluruh perjalananku sepanjang malam ini. Seakan tak ada yang tersisa. Dari satu sisi ke sisi yang lainnya, sambung-menyambung tak putus-putus. Aku mendesah, kutarik nafas panjang dan kuhentakkan, coba hilangkan pikiran yang membelenggu. Kusandarkan kepala dalam-dalam sambil pejamkan mata, tapi bayangan Rahman terus memburu. Kenapa aku harus terlalu memikirkannya? Kenapa? Kuusap muka dengan kedua tanganku namun tak memberikan hasil apa-apa, semua tetap seperti semula. Apakah Rahman juga sedang memikirkanku? Apakah dia juga tidak bisa tidur sepertiku?
Perjalanan pulang dari rumah Rahman, membuatku semakin tak menentu. Membuatku menjadi semakin mudah resah dan gelisah. Apakah aku mencintai pemuda itu? Mengapa aku tak pernah menyadarinya sejak semula? Aku hanya merasa nyaman bila berada dekat dengannya. Merasa terlindungi. Bila terlalu lama tak ada berita darinya, membuatku mudah marah. Betapa seringnya aku menunggu-nunggu sms dan teleponnya. Sejak kapan itu terasa? Ya ... sejak kapan? Aku sendiri tak tahu kapan tepatnya. Walau sms yang dia kirimkan tak banyak bercerita. Suatu pagi dia kirimkan sms yang mengejutkan.
”Pagi Za.... aku kangen sekali Za....”
Kangen? Dia bilang kangen?
”Selamat bobok sayang....”
”Bolehkah aku bilang....AKU SAYANG KAMU...”
”Ingin selalu kupegang tanganmu yang bisa hangatkan hatiku.”
Debar-debar aneh itu datang sejak dia menangkap tanganku saat malam tahun baru, saat pertama kali dia menggenggam tanganku. Genggaman yang telah membuatku panas dingin, membuat jantungku berdebar tak karuan. Karena aku harus merasakan degub jantungnya yang bredentang-dentang. Nadiku mengalir deras tak terkendali. Membuatku tak mampu berkata-kata. Apalagi ketika aku berada di kotanya, saat di depan rumah oom dia mengatakan sayang padaku. Saat pertama kali aku diajak ke rumahnya dan bertemu dengan ibunya.
Malam kian dingin, kian sunyi, hanya tinggal bunyi gemeretak roda kereta beradu dengan rel, diiringi mesin yang gemuruh memekakkan. Jam 01.24. ingin ku sms Rahman tapi sudah terlalu malam, menjelang pagi bahkan, mungkin dia sedang tidur nyenyak. Pandangan di luar jendela hanya sawah yang membentang, di kejauhan ada api menjilat-jilat ke udara. Bekas sumur minyak yang terbakar. Keinginanku menggebu.
”Kak....” sebuah sms singkat kukirimkan, semoga besok dia membacanya penuh tanya. Telepon genggam masih dalam genggaman. Sebuah kelegaan hadir kala sms sudah terkirim. Aku hampir terlelap ketika terasa getar di tangan. Ah sms dari Rahman. Berarti dia belum tidur.
”Gmn Za.... dah sampai mana?”
”Nggak tahu Kak. Kakak belum tidur?”
”Belum.... Faza nggak bobok?”
”Nggak bisa bobok.”
”Mas ingat kamu terus Za.... jadi susah bobok”
”Faza juga.... ingat Kakak terus sepanjang jalan.”
”Za.... Mas sangat sayang kamu.”
Tak ada lagi kata-kata yang bisa kuungkapkan. Memang benar rasa rindu itu belum terpuaskan, karena kami hanya bisa bertemu beberapa jam saja. Tak banyak kata yang bisa tersampaikan. Ingat kata Rahman tadi siang saat kami dalam perjalanan pulang.
”Sesegera mungkin aku mengujungimu.”
”Jangan janji Kak, aku nggak mau janji, yang penting Kakak datang, itu sudah membuatku senang.”
”Aku terlalu sering didera rindu Za.... rindu buat ketemu kamu...”
Dikatakannya rindu itu dengan menggenggam tanganku. Sementara aku hanya bisa melayangkan pandang ke luar jendela. Taksi masih meluncur di jalanan, tak terlalu cepat, pengemudi seakan tahu bila penumpangnya sedang menuntaskan rindu.
”Ok.”
”Maukah kau sekali waktu telepon ibu Za... dia sering sekali menanyakanmu.”
”Masa sih ?”
”Kamu nggak percaya ucapan Mas?”

Mengingat sikap ibu Rahman yang mencoba mengetahui isi hatiku. Melihatku dengan penuh selidik, mencoba merebut hatiku. Aku sungguh tidak tahu, apa yang sudah diceritakan Rahman pada ibu tentang aku. Namun aku melihat betapa ibu berharap agar aku dapat menerima Rahman apa adanya. Betapa beliau berusaha menerima aku menjadi bagian dari keluarganya.
”Za.... satu hal yang belum ibu laksanakan untuk Rahman. Menikahkannya.”
”Begitu ya Bu....?”
”Ibu masih menanti datangnya calon menantu yang mau menerima Rahman apa adanya. Ibu tidak berkeinginan terlalu muluk. Siapapun dia yang penting seiman, dia disayangi Rahman tapi dia juga harus menyayangi Rahman.”
”Faza dekat dengan Rahman, Faza tahu siapa orang yang disayang Rahman?”
”Faza nggak tahu Bu, mungkin Ibu lebih tepat menanyakannya pada Kak Rahman.”
”Kamu Za...., kamulah orang yang paling disayang Rahman?”
”Masa sih Bu...?”
”Dia tak pernah mengatakannya padamu?”
”Pernah Bu...”
”Kau sendiri....?”
Aku tak bisa menjawab pertanyaan ibu, aku hanya diam tak bisa berkata-kata. Ibu tak memaksaku untuk menjawab. Beliau hanya memandangku dengan arif, pandangannya sejuk kemudian berdiri memegang bahuku.
”Kau tak harus menjawabnya Nak. Coba tanyakan pada hati nuranimu, apakah ada rasa sayang buat Rahman? Atau kau sudah memiliki orang lain yang kau sayangi?”
Aku mengangguk, tanpa tahu apa yang harus kukatakan. Berhadapan dengan ibu aku menjadi mati kutu, tak bisa berkutik. Wanita yang baik, apakah aku harus melukai hatinya? Apakah jawabanku yang spontan tidak akan membuatnya bersedih, atau bahkan terlalu bersuka cita? Sungguh aku tak ingin membuat wanita itu kecewa dan bersedih hati karenaku, namun aku memang tak bisa berkata apa-apa. Sekali aku berucap maka aku harus berani bertanggung jawab terhadap ucapanku itu, namun aku belum siap buat menjawabnya secara pasti, aku sendiri masih gamang dengan perasaanku.
Semua kembali berputar, seperti film yang diputar ulang. Semua terpampang dengan jelas. Merasakan perhatiannya yang berlebihan membuatku tersanjung. Wanita mana yag tahan diperlakukan bak putri raja? Sikapnya yang menunjukkan padaku bahwa dia sangat menyayangi dan mengharapkanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar