Laman

Selasa, 03 Agustus 2010

17. Hatiku

Waktu sudah menunjukkan pukul 01.08 dini hari, namun mata ini tak mau terpicing sedikitpun. Kejadian seharian ini kembali berputar di otakku. Pertemuan dengan Faza yang seharusnya menjadi pertemuan yang menyenangkan justru diwarnai kemarahan dan air mata.
Mengapa justru Faza meminta mengakhiri hubungan ini, di kala aku sedang penuh harapan buat bisa meminangnya, walau aku harus menanti sampai dia siap. Aku tak lagi memperhitungkan usiaku, aku hanya ingin Faza bisa menerimaku tanpa paksaan. Sampai Faza merasa membutuhkanku, menyayangiku apa adanya. Tanda-tanda itu sudah terasa sejak lama, sikapnya menunjukkan padaku kalau dia mengimbangi perasaanku. Tak ada kata-kata yang istimewa buatku dari Faza, tapi perlakuannya, tingkah lakunya, tanggapannya padaku selalu positif. Itu yang membuatku yakin kalau aku tidak bertepuk sebelah tangan.
Sudah sekian lama aku menanti, dengan sabar menunggu hatinya melunak dan bisa menerimaku. Penantian itu baru saja terasa hasilnya. Baru bisa kurasakan betapa dia mempedulikanku, selalu menjawab telponku, menjawab smsku, mau menghadiri undanganku, bahkan tanpa akupun dia sudah mau datang sendiri mengunjungiku.
Perhatiannya membangkitkan semangatku, sapaannya saat malam-malam dalam sms singkat, membuatku semakin bisa bersyukur pada Sang Maha Pencipta.
”Dah bobok?”
”Lagi melamun ya?”
”Hujan gak?”
”Tok...tok..tok...”
“Malam penuh bintang.”
”Kak....”
”Capek ya?”
”Malam!”
”Lembur ya?”
Aku masih ingat sekali ketika aku demam tinggi selama dua hari, hari pertama aku demam, aku berdiam di rumah saja, pagi-pagi di perjalanan ke kantor dia sms.
”Dah ditunggu pelanggan lho...”
”Libur.” jawabku singkat.
”Tumben, bukan tanggal merah kan?”
”Aku libur, kios tetap buka.”
”Kenapa? Ada acara?”
”Lagi gak enak badan.”
”Gak enak badan pa gak enak makan?” pertanyaannya meledek.
”Demam tinggi.”
”Haa...demam tinggi? Hujan-hujan ya...?”
”Nggak.”
”Dah ke dokter?”
”Besok juga sembuh.”
”Ke dokter, makan yang banyak n istirahat yang bener. Ok?”
”Susah buat nelan.”
”Minum susu, ma jus buah aja, nggak terlalu keras, nelan lebih mudah.”
”Dah makan bubur putih!”
”Priksa, minta anak-anak buat ngantar ya...aku nggak mau mas sakit.”
”Nantilah, aku ke dokter...”
”Segera lho Mas... biar nggak tambah parah.”
”Ya, tuan putri.”
”Ngledek nih, dah Mas istirahat aja nanti qu sms lagi.”
”Ok. Kutunggu.”
Sehari itu entah berapa puluh sms kulayangkan padanya. Setiap kali aku terbangun, aku menyapanya, dia akan langsung membalas. Dikatakannya kalau dia takut mengganggu tidurku, padahal aku tak bisa tidur nyenyak, tapi sms darinya menjadi penghiburku yang kesepian di dalam kamar seharian.
”Kalau aku ada dekat dengan Mas, pasti sudah kubuat jus buah yang enak dan menyehatkan, biar Mas cepet sehat.”
”Faza datang kesini saja, ibu nggak bisa bikin jus buah Za.”
”Dah tak peluk dari sini aja biar Mas lebih tenang dan bisa bobok nyenyak.”
”Mas nggak bisa rasakan Za.”
”Pejamkan mata, rasakan, nikmati, tangan Faza memeluk Mas erat. Rasakan nafas Faza, debar jantung, detak nadi. Terus peluk, jangan lepaskan. Jangan buka mata sebelum Mas pulas ya?”
”Kau pintar Za...”
Kulakukan betul perintahnya, kupejamkan mata, kurasakan aku sedang memeluk Faza, kurasakan nafasnya, debar jantungnya, detak nadinya, kurasakan kehangatannya dalam pelukanku, kunikmati. Benar akhirnya aku terlelap sampai dua jam tanpa terbangun. Aku bangun ketika ibu membuka pintu kamarku membawakan makan siang yang sudah amat terlambat karena aku tidur terlalu nyenyak.

”Sudah turun panasnya Mas?”
”Masih demam ya?”
”Mas sudah makan?”
”Kalau masih demam tingi Mas harus ke Rumah Sakit, biar mendapat perawatan yang lebih intensif. Kapan aku bisa menengok Mas ya?”
Aku sakit demam begini saja, dia gelisah bukan main. Apakah itu bukan salah satu tanda kalau dia memperhatikanku? Perhatiannya yang berlebihan, menjadikan aku orang penting.
Cerita-cerita dan berita yang dia sampaikan sering membuatku harus berpikir lebih panjang. Di kala senggang dia sms hanya memberikan teka-teki untuk dijawab, kalau aku tak bisa menjawab dia akan tertawa terbahak-bahak kemudian dia katakan.
”Mang aku tertawa seperti ini boleh nggak sih?”
”Selama hanya di sms tak apalah.” jawabku.
Di lain saat dia akan hadir dengan berita-berita yang bermacam-macam, dari pameran buku yang dilihatnya sampai pameran tanaman. Dia katakan kalau dia sering sekali melihat pameran tanaman, bukan untuk membeli tapi hanya untuk sekedar melunaskan kerinduan pada kebun anggrekku. Mungkin karena dia rindu pada pemiliknya ya? Hari masih sore saat itu, dia sms.
”Mas anggrek apa yang nama dan warnanya nggak sama?”
“Mang ada ya...?”
“Ayo, jawab dong mas...”
“Apa ya....Mas nyerah deh...”
“Anggrek hitam... mas payah...”
“Mas nguji Faza aja....kan Faza nggak suka tanaman, mana Faza tahu?”
“Huuu...Mas jahat.... eh... Mas mau bibitan anggrek baru nggak?”
”Anggrek apa?”
”Mas mau yang apa? Di sini komplit, Mas tinggal pilih dan bayar. Pokoknya memuaskan.”
”Faza ganti profesi nih? Jadi penjual bunga ya sekarang?”
”Nggak lah yauw... ni lagi liat pameran bunga, harganya mahal-mahal Mas, coba kalau Mas yang ikut pameran.”
”Kalau Mas ikut kenapa?”
Seringkali smsnya membuatku semakin penasaran, apa yang diinginkannya. Sekedar iseng atau ada sesuatu yang ingin disampaikannya dengan berita-berita itu.

Malam berjalan menuju pagi, tapi mata ini tak mau terpejam juga. Rasa lelah dan ngantuk sirna begitu saja. Hanya ada Faza dalam pikiranku. Sebenarnya bagiku masalah yang paling berat adalah tentang Faza. Mengapa dia begitu drastis perubahannya? Faza yang kukenal kali ini sungguh berbeda dengan Faza yang dulu.
Sungguh di luar dugaanku kalau kata-kata ibu akan memicu permasalahan baru. Sebenarnya kata-kata ibu tak ada salahnya bagiku. Tapi ternyata bagi Faza menjadi permasalahan yang serius. Hanya karena ibu memintanya untuk belajar tentang kebun dan kios, Faza menerimanya sebagai sebuah paksaan untuk segera menikah. Aku sendiri tidak berpikir untuk segera menikah. Pernah kukatakan pada Faza, kapanpun dia siap maka aku bersedia menanti. Faza mengatakan kalau saat-saat ini dia belum siap. Aku cukup mengerti, dia ingin menikmati masa mudanya lebih dulu, ingin bekerja. Ingin membahagiakan ibu dan adik-adiknya terlebih dahulu.
Bayangan wajahnya ketika marah-marah kembali mencengkeramku, seribu tanya bergaung, apa sebenarnya yang diinginkannya. Tak ingin segera menikah, ingin hidup mandiri, merasa tak mampu melanjutkan hubungan, semua menimbulkan tanda tanya. Mengapa? Tiba-tiba saja dia minta hubungan ini tak berlanjut, tanpa alasan yang jelas. Apakah hanya karena kata-kata ibu dia menjadi tersinggung dan tak mau memaafkan? Kalau hanya karena kata-kata ibu, mengapa harus dipikirkan, bukankah yang penting aku bisa mengerti, biarkan aku yang akan membicarakannya dengan ibu. Kenapa harus dengan marah-marah. Sedangkan alasan-alasan yang diajukan kadang tidak masuk akal. Terlalu kekanak-kanakan. Hal-hal yang tidak prinsip justru yang mencuat menjadi pemicu kemarahan tak berkesudahan. Hanya keinginannya untuk keluar dari rumah ini, harus kupertimbangkan. Tak mungkin aku meninggalkan ibu sendirian di rumah ini. Kalaupun kuajak mungkin ibu tidak akan mau juga.
Atau karena aku menanyakan apakah dia rindu padaku? Jujur, aku ingin mendengar dia mengatakan rindu padaku. Selama ini tak pernah ada kata-kata itu untukku. Salahkah aku, kalau aku ingin mendengar dari bibirnya? Kadang aku merasa gamang karena tak ada kata-kata yang terucap yang bisa menjadi pegangan, namun sikap dan tingkahnya memberi sinyal baik bagiku. Namun begitu kadang aku ingin mendengar ikrarnya kalau dia memang menyayangiku, membutuhkanku.
Faza, betapa inginnya aku memelukmu selamanya, merengkuhmu dalam kehidupanku, menjadikanmu belahan jiwa, jangan biarkan aku limbung tanpa pegangan, karena aku telah terlanjur mencintaimu. Mungkin aku egois, karena aku berani mencintaimu tanpa minta pendapatmu. Aku memang egois, dan mau menang sendiri karena aku sungguh amat mencintaimu.
Lelah aku memikirkan semua itu. Kepala jadi pening. Serasa waktu tak beranjak juga, pagi tak segera tiba. Aku ingin segera keluar dari lingkaran pengap ini. Lingkaran yang membuatkan tak bisa bernafas dan berpikir jernih. Faza kau telah mengungkungku dengan berbagai kelebihan dan kekuranganmu, membuatku tak mampu memikirkan yang lain. Semua perhatianku tersita untukknya. Faza yang telah dengan setia mengisi hari-hariku, menumbuhkan semangatku. Wahai mengapa aku tak dapat menyingkirkan bayangmu walau sejenak, begitu kuatkah pesonamu.
Mengapa hal ini tak pernah terpikirkan sejak awal? Tapi bukankah Faza pindah ke kantor pusat belum lama, padahal aku mencoba mendekati Faza sudah berbilang tahun. Apakah yang kulakukan salah. Apakah tidak ada jalan tengah yang bisa diambil. Kalau Faza mau sedikit mengalah, aku sebenarnya tak keberatan membeli rumah di kota ini, asal aku masih bisa mengurus kebun tempat mata pencaharianku. Hanya Faza tentunya harus kembali ke cabang yang ada dekat dengan kotaku. Kalau aku yang harus ke luar dari kota ini, apa yang harus kukerjakan? Hari dan hidupku sudah menyatu dengan sawah dan kebun, aku kembali ke desa untuk menjadi petani, aku tak terlalu suka harus tinggal di kota, namun demi Faza, kalau itu yang dia mau, dengan segala upaya akan kubeli rumah di kota ini, biarlah aku yang mengalah. Yang penting aku masih bisa berkutat dengan kebun dan sawah dan aku juga bisa dekat dengan Faza.
Faza sudah kutemukan solusi buat masalah kita. Kalau kau setuju tak perlu ada perpisahan. Sungguh aku tak menginginkan perpisahan itu terjadi. Karena tentunya hal itu akan menyakitkan buat kita berdua. Tak perlu kau katakan tak mampu melanjutkan hubungan ini. Semua butuh pengobanan Za, aku dan kamu. Kubawa jalan tengah permasalahan ini dalam mimpiku. Entah karena lelah atau justru karena telah kutemukan solusi dari semua masalah yang membebani, akhirnya aku terlelap juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar