Laman

Selasa, 03 Agustus 2010

18.Itukah Maumu

”Pagi Faza....” pagi-pagi sms Rahman datang mengganggu tidurku.
”Pagi...” jawabku singkat.
”Blom bangun ya...”
”Masih ngantuk Mas...”
”Libur...?”
”Kan hari Sabtu...!”
”Acara hari ini apa...?”
”Istirahat aja...”
”Mas disini lho Za...!”
”Ah yang bener... mimpi kali ya...!”
”Sungguh... ni di penginapan...”
”Bener nih...”
”Gak percaya ...? ”
”Sebentar Mas datang kesitu ya...?”
”Mas nginap dimana sih...?”
”Tak jauh dari tempatmu...!”
”Dimana...?”
”Ada deh....”
”Ah... Mas mesti pura-pura....gak lucu...!”
”Serius...”
”Mas suka banget sih godain Faza....jahat....!”
”Kau suka sama Mas yang jahat....?”
”Huuuu.....rese....”
”Mas serius ya.... 5 menit lgi Mas ketuk pintu kamar Faza...!”
”Alaaaa....dalam mimpi...!”
”Kamu belum bangun kan...pasti belum mandi juga...pa masih mimpi...he..he..?”
”Masih bobok, masih ngantuk....”
”Oke deh...Mas mau lihat Faza yang belum cuci muka aja...yang masih asli...!”
”Yang asli juga cantik kok...?”
”Bener ya...nggak boleh cuci muka dulu lho...!”
”Siapa takut....Mas paling boong aja...!”
Terganggu aku dengan sms Rahman pagi ini. Aku masih merasa ngantuk yang amat sangat dan rasa lelah yang menggelayut. Mata ini rasanya masih susah buat terbuka. Rahman... beberapa hari ini nama itu cukup mengganggu tidurku. Dua hari kami tak saling bertukar cerita. Aku mencoba untuk melewatkan saja hari-hari tanpa dirinya dengan sekuat tenaga. Sepi. Tapi itu semua harus kulakukan, aku harus menetapkan hati untuk tidak terlalu mengharapkannya. Berat, tapi harus kuterima apa adanya. Karena aku yang sudah memulai untuk membuat jarak pada hubungan kami. Sehari tanpa melayangkan kabar buatnya merupakan siksaan tersendiri. Aku harus bertahan. Apalagi Rahman sendiri tidak berusaha untuk menghubungiku. Hampir tiap saat kulihat ponsel ku, siapa tahu ada sms yang masuk darinya, atau panggilan tak terjawab yang tak kuketahui datangnya. Hasilnya nihil. Dua hari tanpa kabar secuilpun. Ini adalah hari ketiga, semula sudah kuputuskan untuk menghubunginya nanti malam, ada kabar ataupun tidak darinya. Karena aku tak ingin hubungan ini berakhir begitu saja dengan beban di hati masing-masing. Kalaupun harus berakhir maka harus ada kesadaran untuk tetap bersahabat, bukan putus sama sekali. Aku cukup menyadari ada banyak perbedaan antara kami, namun semula perbedaan itu tidaklah terlalu kupikirkan. Hal itu baru kusadari sepenuhnya ketika Rahman dilantik, dan ketika kata-kata ibu yang penuh harap membelengguku demikian erat. Benar kata Rahman, kata-kata ibu tak ada salahnya. Namun ternyata kata-kata ibu telah membukakan hatiku pada sebuah kesadaran bahwa sebenarnya diantara kami ada sesuatu yang dipaksakan. Aku merasa hubungan kami selama ini mengalir begitu saja. Begitu menyadari ternyata kami sudah saling membutuhkan, saling tergantung, saling menunggu apa kemauan masing-masing. Sejak awal Rahman memang lebih antusias mendekati, sedangkan aku ? Hanya karena Rahman telaten maka aku merasa wajib untuk tetap membalas berita-berita darinya. Lama kelamaan bila kabar dari Rahman tak muncul, aku merindukannya, menantikannya.
”Assalamualaikum...”
Deg. Alarm tamuku berbunyi. Rahman. Jangan-jangan Rahman benar datang kemari. Melompat aku dari tempat tidur, mengaca sebentar dan buru-buru masuk kamar mandi untuk sikat gigi dan cuci muka. Alarm berbunyi lagi 2 kali.
”Sebentar...” kataku setengah berteriak.
Kudengar suara kursi teras ditarik, berarti dia menunggu di teras, tapi tak ada suara. Rahmankah? Ah rasanya tak mungkin dia yang datang setelah sekian hari tak berkabar padaku. Atau orang lain? Siapa pagi-pagi begini datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Atau memang Rahman yang ingin membuat kejutan?
Kupandangi wajahku di cermin, segar koq, kataku dalam hati. Biarlah siapapun yang datang, biar melihatku apa adanya. Kuganti baju tidurku dengan kaus dan celana panjang. Kusisir rambut sekedarnya dan kusapukan bedak tipis-tipis. Dengan berusaha tenang kubuka tirai jendela, hari masih remang, seorang pria duduk di kursi teras membelakangiku. Debar di dada ini makin menjadi. Kucoba tenangkan hati, kubuka pintu perlahan sambil menyorongkan muka keluar meyakinkan siapa yang datang. Pria itu menolehkan wajahnya ke arah pintu yang terbuka dan tersenyum.
”Faza....” sapanya.
Aku masih tertegun tak percaya. Sepagi ini Rahman sudah sampai disini. Tanpa pemberitahuan lebih dulu. Penuh kejutan. Aku termangu di muka pintu, tak tahu harus kemana, keluar ataukah masuk kembali.
”Masih mimpi Za...?” ucapnya kembali menggodaku.
”Kak...!” jawabku terbata, kebingungan mau menjawab apa.
”Ssstttt....panggil aku Mas...!” katanya setengah berbisik, telunjuknya tepat dibibir.
”Ahh...” aku tersipu malu mencoba mengatasi debar yang tak karuan.
”Kapan Mas datang...?” tanyaku setelah bisa menguasai diri. Aku mendekat dan duduk di kursi seberang meja.
”Kemarin pagi...”
”Kemarin pagi... terus mas kemana aja dari kemarin... ada acara dimana...?” pertanyaanku beruntun.
”Ada acara di Trubus... terus Mas sekalian sempatkan buat jenguk Faza...”
”Kupikir tadi Mas bercanda aja, habis Mas nggak memberi tahu dulu sih!”
”Sengaja Za... Mas ingin buat kejutan untukmu.”
”Mas jahat....” kataku merajuk.
”Mas kangen kamu Za....” Rahman mengubah duduknya, sekarang mengarah padaku.
”Nggak.... mas nggak boleh kangen Faza....” jawabku agak keras, mengatasi debar jantung yang menggebu.
”Koq bisa... kenapa Za...”
”Hanya Faza yang boleh kangen... tapi Mas nggak boleh...” kata-kataku terbawa emosi.
”Faza... ada apa denganmu...? kau marah pada Mas...? kenapa ?” tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya.
”Karena aku sedang belajar untuk melupakan Mas...” kataku perlahan.
”Za.... aku tak mengerti maksudmu... sungguh....”
Kurasakan tangannya bergetar. Aku tahu dia menahan hati. Tanganku jadi dingin merasakan getaran tangannya. Aku takut, takut sekali bila dia marah dan tidak bisa kendalikan emosi. Tapi semua sudah terlanjur dan aku tak bisa menarik kembali ucapanku. Lidahku jadi kelu, tak ada kata yang terucap walau berjuta kata menyesakkan berlomba ingin meluncur dari bibirku. Bibirku mengatup ingin menyuguhkan senyum walau pahit sekalipun. Tolong Man, jangan ungkapkan rindu itu lagi, karena aku sedang berusaha untuk tidak mengingatmu. Hal itu akan melemahkan semangatku, akan membuatku kembali terpuruk untuk berharap terlalu banyak padamu.
Kurasakan genggaman tangannya makin erat, menanti jawab dariku. Matanya menatapku tajam, mengiris, nyeri. Tak mampu aku membalas tatapan matanya yang menghujam. Kualihkan pandanganku pada anggrek dendro yang sedang berbunga di gantungan. Mataku panas, butir-butir airmata mendesak ingin keluar, kutengadahkan wajah, mengerjapkan mata agar tak ada yang sempat keluar. Tapi ternyata itu tak membantu, aku tak mampu menahannya. Kucoba menyeka dengan punggung tangan. Rahman mendesah panjang.
”Aku tak ingin membuatmu menangis...maafkan aku...” Rahman menunduk tanpa kata. Dia telah kehilangan senyumnya, mendung duka menggayut di matanya. Kerut dahinya makin nampak, menggaris nyata. Ditatapnya anggrek yang menggantung penuh bunga.
”Dia berbunga, cantik sekali... kau bisa merawatnya juga...?” tanyanya mengalihkan perhatian. Setelah sekian lama hening.
”He...eh... mama yang memberi tahu... itu kubawa dari rumah...” jawabku sambil mencoba tersenyum.
”Kau bisa juga merawatnya Za...?”
”Yaa... sederhana saja... asal jangan lupa menyiram...”
Pandangan kami tertuju pada anggrek dengan bunga putih berlidah ungu. Ada dua tangkai yang berbunga, masing-masing 9 dan 12 kuntum. Masih ada dua pot lagi yang hendak mekar bunganya, satu putih dan satu lagi ungu tua, pekat.
”Anggrekmu bagus Za... itu yang dua pot lagi juga hampir mekar. Warna ungu dan putih ya...?” katanya sambil masih mengamati anggrek yang menggantung.
”Mas tahu...? padahal kan belum mekar...?” tanyaku heran.
”Ah... Faza sudah lupa kan, kalau Mas petani anggrek...?” jawabnya melucu.
”Iya ya... koq Faza bisa lupa ya...?”
”Karena Faza nggak ingat Mas lagi... apalagi anggreknya...!”
”Nggak lah Mas... bukannya Mas yang lupa sama Faza...?”
”Za... Mas nggak akan pernah lupakan Faza selama Faza nggak lupakan Mas... ingat itu ya...” kebekuan yang sudah mulai mencair kembali memanas. Kami berdua sudah terbawa emosi masing-masing. Sedikit kata yang menyinggung maka akan menjadi awal kebekuan kembali.
”Kubuatkan minum dulu ya Mas... Mas mau apa...? Teh, kopi, susu coklat, atau apa...?” kataku memecah kebisuan.
”Apapun yang Faza buat... pasti Mas nikmati... ”
”Air putih aja ya Mas... yang gampang...” kataku menggoda.
”Masa pagi-pagi minum air putih Za...? Tadi kan nawari yang macam-macam....?” katanya merajuk.
”Katanya terserah Faza....!” jawabku sambil masuk ke dalam.
Rahman, kau datang tiba-tiba, hingga aku tak mampu sembunyikan perasaanku padamu. Namun semua tetap sesuai rencana, aku tak mungkin bersamamu lagi. Sudah bulat tekadku untuk melupakannya. Kubuat dua gelas susu coklat, kubuat juga telur setengah matang untuk kami berdua. Mudah tinggal menyiapkan bubuk lada dan garam halus untuk menikmatinya. Berdua kami duduk-duduk di teras sambil sarapan apa adanya.
”Berdua begini, Mas merasa kita sudah menjadi sebuah keluarga...” Rahman bergumam sambil menikmati minumannya. Aku diam tak bereaksi. Yang dikatakannya benar, aku juga merasakan kedekatan yang lain.
”Kapan akan kita nikmati suasana seperti ini lagi...?”
”Nggak usah mimpi Mas...”
”Hidupku berawal dari impian... dan Mas sekarang juga sedang dalam impian...”
”Mas, apa yang Faza katakan kemarin tetap Mas, tak berubah...”
”Mas sudah temukan solusi masalah kita Za...”
”Aku sudah tidak berminat lagi Mas...”
”Kenapa Za...apakah kesalahanku terlalu berat hingga kau jatuhkan vonis yang demikian buatku...?”
”Nggak Mas...hanya mungkin inilah yang terbaik buat kita...”
”Za... Mas merasa selama ini kita baik-baik saja... tak ada masalah sedikitpun... lalu tiba-tiba kau minta menghentikan semuanya... sungguh Mas tidak bisa mengerti...”
”Di antara kita terlalu banyak perbedaan Mas... dan yang paling prinsip... aku ingin meniti karir sementara Mas tak bisa meninggalkan desa... dengan kondisi seperti ini jelas kita tak mungkin bersama. Tak ada jalan lain Mas. Jalan kita berbeda.”
”Keinginanku untuk membangun desa mungkin kau rasa terlalu muluk, terlalu idealis, tapi itu janjiku sejak dulu... janjiku pada diriku sendiri. Janji bagiku serasa hutang yang harus dibayar.”
”Begitu juga aku Mas, mimpiku untuk menjadi wanita mandiri harus terwujud, itu impianku yang paling utama tentu tanpa meninggalkan kodratku sebagai wanita. Aku bukan wanita serakah yang ingin memilikinya secara bersama-sama, ada waktunya, ada skala prioritasnya. Di kala aku sudah menjadi wanita mandiri maka aku masih bisa menikah, namun bila aku menikah lebih dulu maka impianku menjadi wanita mandiri mungkin hanya akan menjadi impian semata.”
”Semula Mas berpikir, perbedaan yang ada diantara kita tentu masih bisa dicari solusinya. Mas sudah menemukan jalan tengah untuk mengatasai semua ini, dan Mas yakin kau akan menyetujuinya. Apa yang Faza inginkan akan bisa terpenuhi, tanpa meninggalkan mata pencaharian Mas selama ini...”
”Mas...kita tak perlu mencari solusi... karena itu sudah tidak mungkin ada... selain diantara kita ada yang mengalah...?”
”Dengar dulu Za...”
Dibeberkannya semua rencana dan solusi yang bisa diambilnya. Hatiku teriris, betapa baiknya dia. Aku tak ingin mengecewakannya, menyakitinya lebih dalam. Keputusan ini adalah yang terbaik bagi kami. Karena aku masih ingin bebas untuk beberapa waktu lagi, aku masih ingin menikmati kesendirianku, menikmati indahnya masa muda yang tanpa beban. Aku masih ingin menikmati indahnya dunia di luar benteng yang namanya keluarga. Membahagiakan mama, papa, juga adik-adik, ponakan-ponakan, juga membahagiakan diriku sendiri dengan kebebasan dalam batasan norma. Kau tahu Man betapa aku menikmati kebersamaan denganmu, namun aku masih belum memikirkan untuk pergi ke jenjang pernikahan. Harus jauh darimu, sepi dari sapaanmu memang membuatku sedih, sepi, tapi apa boleh buat, semua harus kujalani. Karena bagiku karir itu penting. Sejak dulu aku menggebu belajar giat karena ingin menjadi wanita yang tidak dipandang sebelah mata oleh laki-laki. Aku harus jadi wanita mandiri walau aku tak boleh melupakan kodratku sebagai wanita. Namun bukan sekarang aku ingin menjadi wanita seutuhnya, wanita yang tidak mengingkari kodratnya. Aku masih ingin meniti karir.
Memang menyatukan dua manusia yang berbeda, latar belakang yang berbeda, keinginan yang berbeda, prinsip yang berbeda bukanlah hal yang mudah. Untuk menyatukannya perlu pengorbanan. Aku tak bisa mengorbankan keinginan dan mimpiku sementara Rahmanpun tak bisa melepaskan diri dari desanya. Impiannya untuk membangun desa dengan caranya, telah membelenggunya.
Pertemuan yang mestinya untuk saling melepaskan rindu tak terwujud. Yang ada justru masalah yang makin meruncing dan makin menyakiti hati kami masing-masing. Sakit memang, namun akan lebih sakit lagi bila kami harus tetap berdua tanpa jelas ujung pangkalnya.
”Keputusanku sudah bulat Mas...”
”Berat Mas buat melepasmu Za...”
Man apa yang harus kulakukan agar kau mau melepaskanku sendiri. Tidak mengungkungku dengan perhatian dan rasa sayangmu yang berlebihan. Membelengguku dengan sejuta rindu yang senantiasa kau ungkapkan padaku tanpa batas waktu. Ya Allah bila memang dia jodohku maka dekatkanlah dan bila dia bukan jodohku maka jauhkanlah dariku. Ya Allah berikan aku kekuatan untuk menghadapi semua ini. Agar apa yang kami putuskan bermanfaat bagi kami. Doaku terucap dalam kepepatan hatiku. Mendengar kata-katanya menimbulkan kebimbangan dalam hati.
Keheningan menguasai kami. Tak ada suara sedikitpun. Kami bicara dengan hati kami masing-masing. Apa yang harus kami lakukan. Tapi hatiku sudah bulat. Aku harus menjadi wanita mandiri lebih dahulu. Menikah, itu urusan nanti.
”Za... kau yakin atas kuasa Allah ?”
”Harus dong Mas...!”
”Mas percaya, kalau kita memang jodoh... keputusan apapun yang kita perbuat maka Allah akan tetap mempertemukan kita...”
”Ya Mas...”
”Mas ingin mengajakmu jalan-jalan... Faza mau...”
”Boleh... tapi Faza belum mandi....”
’Gak papa nggak mandi aja sudah cantik koq...”
”Tapi masih bau... Faza bersiap dulu ya Mas...?”
”Oke... Mas tunggu ya... jangan lama-lama...”
”Nggak lah Mas....”
Mengguyur badan dengan air yang dingin, menyejukkan. Perasaanku yang semula terbebani kini menjadi lebih ringan setelah semua tersampaikan. Rahman bisa memaklumi apa yang kuinginkan, aku juga bisa memahami keinginan Rahman. Hari ini kami habiskan bersama di beberapa tempat di ibu kota ini. Sampai saatnya Rahman harus pulang kembali. Kami berpisah dengan senyuman masing-masing, senyum penuh makna dan pengharapan yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar