Laman

Kamis, 05 Agustus 2010

8. Panggil Aku Mas

Bahasa daerah? Apa aku bisa? Itu yang pernah dia katakan padaku, ketika aku menanyakan mengapa dia suka berbahasa Indonesia padahal dia kan orang Jawa. Orang tua dari Jawa, lahir di Jogja bahkan sepanjang usianya dia tinggal di Jogja.
“Kak, aku tidak fasih berbahasa daerah….”
Katanya ketika itu. Saat aku menemuinya di kotaku ketika dia berkunjung ke rumah Oom nya. Kuajak dia keluar makan ketupat tahu kesukaannya…
“Enak Za….kau terlalu suka pedas.” tanyaku melihatnya makan dengan nikmat.
“Its ok, very delicious…!” jawabnya sambil mengacungkan ibu jarinya, tangannya masih asyik menyendok kuah berwarna coklat beraroma pedas itu.
“Kakak nggak makan…?” dia bertanya melihat piringku masih banyak terisi. Memandangiku, wajahnya memerah kepedasan. Cantik sekali dia. Bagiku dalam keadaan apapun, dengan posisi seperti apapun, dilihat dari sisi manapun, aku selalu bisa melihat hal yang menarik buat dipandang. Detak jantungku selalu bertalu-talu dalam keadaan seperti ini. Kenapa selalu saja aku merasa teramat resah bila dekat dengannya. Selalu ingin dekat, ingin memandanginya. Segera kuhabiskan makanku, melihat Faza telah selesai makan.
“Aku ingin sekali mendengar kau berbahasa daerah…. Selama ini beberapa kali aja aku dengar….“
“Ada apa sih Kak?”
“Ingin dengar aja…!”
“Mang ada bedanya?” tanyanya sambil memandangiku lekat-lekat. Kutatap matanya, kucari jawab tanyaku dimatanya. Dia tersenyum. Senyum itu, senyum yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku.
“Ada.” sahutku tanpa melepaskan tatapanku.
“Kurasa orang ngomong pakai bahasa apa saja sama… mau pakai bahasa Jawa, bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Osing, bahasa Inggris, bahasa Jepang, bahkan bahasa tarsan pun boleh digunakan, nggak ada bedanya!” saat berkata-kata tangannya berekspresi.
“Beda….”
“Sama….” jawabnya sedikit galak.
“Apanya yg sama….?” tanyaku ingin tahu pendapatnya.
“Bahasa apapun yang digunakan di dunia ini adalah untuk berkomunikasi….” jawabnya tegas.
“Hanya itu….?”
“Salah satu sarana untuk mengungkapkan isi hati…?”
“Ok…bahasa yang digunakan tiap daerah berbeda, karena masing-masing memiliki adat yang berbeda. Dalam bahasa Jawa ada unggah-ungguh , tata cara, bahkan dalam hal menyapa saja ada tatacaranya…?”
“Iya sih…itulah sebenarnya yang bikin ribet ….jadi aku sering takut salah penempatan…”
“Nggak susah kok, kalau mau membiasakan?”
“Kak…aku lahir dari keluarga Jawa, tapi mereka berbeda. Orang-orang di sekitarku lebih banyak mengajakku berkomunikasi dengan bahasa Indonesia sejak kecil, sejak bayi bahkan. Nenekku mengajariku bahasa daerah, kakekku juga. Ibuku kadang-kadang. Sedang bahasa ibu bagiku adalah bahasa Indonesia, karena di rumahku semua mengajaku berkomunikasi dengan bahasa itu. Kakak tahu, Bapakku ni…. walaupun beliau orang Jawa tapi pada awal pernikahan, beliau takut berbicara menggunakan bahasa Jawa dengan mertuanya. Jadi wajar dong kalau aku tidak terlalu sering menggunakan bahasa daerah!” katanya memberi alasan yang dianggap logis.
“Boleh gunakan bahasa nasional tapi harus bisa bahasa daerah. Kalau bukan kita yang menjaga bahasa kita ini, lalu siapa? Nunggu kita belajar sama orang Belanda?”
“Emang kenapa sih, Kakak semangat banget nyuruh Faza pakai bahasa daerah? Dapat pesanan dari dinas pariwisata ya? Apa dari Kementrian budaya dan pariwisata ?” menebak-nebak menanyakan alasanku.
“Faza tahu nggak sebutan Kakak dalam bahasa Jawa apa….?”
“Yach kalau itu sih aku tahu Kak. Kalau gak tahu ya kebangetan kan. Kalau gini mah namanya pelecehan….?” katanya pura-pura merajuk. Tingkah seperti ini jarang sekali dia lakukan padaku. Semua selalu terkesan formal.
“Kalau Faza nggak jawab, Kakak anggap nggak tahu….”
“Mas buat laki-laki dan mbak buat perempuan.” dia menjawab tanpa semangat.
“Nah gitu dong….Faza tahu nggak apa yang Kakak pikirkan?” tanyaku memacing perhatiannya. Aku ingin dia bertanya-tanya apa yang hendak kuugkapkan.
“Lho kalau Kakak nggak bilang gimana aku tahu? Mang aku tukang ramal pa? Bisa nebak isi hati orang?” jawabnya tak tak peduli.
“Ya udah kalau Faza nggak tahu… berarti rahasia Kakak biar tetap jadi rahasia…” aku masih menggoda, mengharap dia penasaran dengan kata-kataku.
“Ya kalau itu rahasia jangan disebutin dong… kalau dikasih tahu ke orang lain berarti bukan rahasia lagi namanya!” Oooo … dia tidak memaksaku untuk mengatakannya, padahal aku ingin dia penasaran dan aku akan mengatakannya dengan syarat.
“Faza nggak ingin tahu rahasia Kakak itu apa?”
“Nggak, nggak etis. Yang namanya rahasia ya harus dijaga. Ya kan…?”
“Bener nih….nggak ingin tahu…?”
“Nggak…” kukuh dia dengan pendapatnya, atau bahkan dia sudah tahu arah pembicaraanku? Lalu dia mencoba untuk membentengi diri?
“Wah Kakak jadi kecewa nih…?” kuungkapkan lugas rasa kecewaku. Karena kapanpun aku harus mengatakan keinginan kecil hatiku buat Faza.
“Koq…?” wajahnya bertanya-tanya tak mengerti. Ditatapnya mataku, dia mencoba mencari-cari jawabannya dari mataku.
“Karena Faza nggak ingin tahu…?”
“Katanya rahasia…?”
“Rahasia Kakak buat Faza.” jelasku padanya
“Kakak ingin Faza tahu? Gitu? Apa mau bikin Faza penasaran…?”
“Ingin Faza tahu!”
“Nggak ah…Faza nggak ingin tahu…” wuih wuih…. sombongnya dia, cuek, tak ada celah sedikitpun buatku mengatakan keinginanku. Semua pintu ditutupnya. Membuatku jadi gundah. Tapi aku tak ingin memaksa.
Duh sulitnya menggiring pembicaraan ini, padahal hanya sederhana saja yang aku mau. Panggil aku Mas. itu saja, aku ingin Faza panggil aku Mas. Dengan panggilan kakak aku jadi merasa teramat jauh dari Faza. Jauh tak teraih. Aku tahu maksudnya memanggilku kakak, tentu karena dia menghargaiku, menghargai yang lebih tua.
“Kakak marah?” dia bertanya polos melihat kediamanku. Aku hanya menjawab dengan senyuman.
“Faza suka Kakak marah?”
“Nggak juga sih…”
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah Oomnya, tak banyak kata yang terucap. Aku lebih banyak diam, Faza kelihatan membatasi diri. Kendaraan kujalankan pelan-pelan. Kulihat wajahnya dari kaca spion. Senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya. Bahkan ketika kuajak putar-putar kota dia diam saja. Tak banyak komentar.
“Kau pulang kapan Za…” tanyaku ketika aku mau pamit pulang setelah sampai di rumah Oomnya.
“Lusa, mang kenapa Kak?”
“Kakak antar mau?”
“Nggak ah, mau diantar Oom sama tante…”
“Tumben kau pergi berlama-lama.”
“Sesekali dong, besok mungkin akan lama aku tak bertemu mereka.”
“Kenapa?”
“Yach…. aku dipindahkan ke kantor pusat.”
Ada rasa ngilu mendengar pengakuannya. Kalau dia dipindahkan ke kantor pusat, berarti kemungkinanku buat bertemu akan semakin kecil. Dengan posisi yang tidak terlalu jauh ini saja, aku jarang bisa bertatap muka, apalagi kalau dia jauh. Semakin kecil saja kesempatanku. Masih adakah kesempatanku buat mengungkapkan isi hatiku pada Faza? Tinggal beberapa hari, aku harus berkata secepatnya, apapun hasilnya.
“Mulai kapan?”
“Bulan depan. Kenapa sih Kak?”
“Besok malam ada acara nggak?”
“Paling jalan-jalan sama adik sepupuku. Ada apa?”
“Besok malam ada acara di rumah…Kalau Faza mau datang tentunya aku harus berbangga hati.”
“Acara apa…?”
“Besok Faza akan tahu…”
“Rahasia ya?”
“Acara keluarga.”
“Nggak ah, kalau Kakak nggak kasih tahu aku…!”
“Pengajian khusus buat Bapakku…besok tak jemput ya…sebelum maghrib, malam tak antar pulang lagi....”
Kulihat dia bimbang sebentar. Akhirnya dia menganggukkan kepalanya. Lega sekali rasanya. Akhirnya aku bisa membawanya ke rumah tanpa memaksanya. Terima kasih ya Allah atas segala kasihmu…
“Za…!”
“Ya Kak.”
“Boleh minta sesuatu Za?”
“Duduk dulu deh. Mau apa…Air putih? Apa teh ? Tapi jangan es ya…!”
“Panggil aku Mas…!” kataku sambil meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Kutatap matanya lekat-lekat, ada cahaya jernih yang memancar. Ada yang berkilat-kilat dimatanya. Dia tidak mencoba mengalihkan pandangannya, dia juga tidak menolak genggamanku. Aku jadi ingat ketika kami nonton gamelan saat tahun baru. saat itu dia berusaha menarik tangannya yang kupegang erat, tapi semua berakhir dengan diam, tanpa kata. Kini yang ada binar-binar riang berkilat dimatanya yang bulat jernih…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar