Laman

Selasa, 03 Agustus 2010

11. Gadis Itu

Aku sedang mengupas bawang merah ketika kudengar langkah kaki yang agak cepat dan panjang mengarah pintu dapur yang terbuka. Seorang gadis berpostur tinggi berdiri di muka pintu mengucap salam.
“Assalamualaikum Ibu.”
“Walaikumsalam.” Kujawab salamnya tanpa beranjak. Gadis itu tertegun di depan pintu. Rasanya aku pernah mengenalnya, tapi siapa? Aku beranjak mendekat. Kupandangi dia dari atas ke bawah. Siapa ya?
“Faza Bu, teman Kak Rahman” katanya menjelaskan.
“O maaf Nak ibu pangling…. Yang malam itu kan?” tanyaku meyakinkan. Ya dia pasti gadis yang malam itu datang bersama Rahman, yang sempat membantuku menyiapkan makanan kecil.
Inggih Bu.” jawabnya santun.
Melihatnya ragu, kudekati dia kujabat tangannya, dia membungkuk mencium tanganku. Tiba-tiba saja aku telah memeluknya. Aku merasakan kedekatan yang aneh dengan anak ini. Kedekatan yang semula tak pernah kukenal. Dia amat menikmati pelukanku, tak jauh dari kami kulihat Rahman tersenyum melihat kami berdua, memandangi kami, kemudian membelokkan arah langkahnya menuju kebun di belakang kios. Biarlah dia meninggalkanku berdua dengan anak ini. Aku ingin tahu lebih banyak tentang dia. Kugandeng dia masuk ke dapur.
“Baru masak Bu…?”
“Iya, Rahman ingin sayur lodeh.”
“Dilanjut saja Bu, apa yang bisa saya bantu?”
“Dah Nak Faza duduk manis saja di situ, kita bincang-bincang di sini saja ya, sambil ibu masak, nanti kita makan bersama-sama.”
“Ya Bu.” Dia duduk melihatku bekerja. Melihat kacang panjang yang belum terpotong, dia meraihnya.
“Kacang panjangnya dipotong kan Bu?” katanya sambil memotong kacang panjang yang ada di tangannya.
“Sudah lah nak, biar ibu yang kerjakan. Tamu koq malah di dapur ikut masak.”
“Nggak pa pa. Bikin tempe goreng juga Bu, biar Faza yang motong ya…?” Ternyata gadis ini tidak bisa kalau hanya berpangku tangan saja. Bibirnya berbicara tangannya juga bekerja.
“Boleh deh, potong yang tipis dibikin tempe garit. Kau suka masak juga Nak?”
“Kadang-kadang Bu. Ibu panggil Faza saja Bu.” begitu permintaannya. Itu dikatakannya sambil tersenyum padaku, sementara tangannya masih membuka bungkus tempe. Aku sendiri masih canggung kalau hanya menyebut namanya begitu saja.
“Begitu ya, nggak papa? Sayur lodeh, tempe garit, sambal terasi, adalah makanan kesukaan Rahman, dia akan lebih suka lagi kalau ada telur asin. Tapi hari ini ibu tidak sempat membeli telur asin buat Rahman.”
“Ibu sayang banget ya sama Kak Rahman?”
“Tak ada ibu yang tak sayang pada putranya Za.”
”Begitu ya Bu? Kadang Faza iri kalau melihat ibu memandang Kak Rahman, terlihat sekali kalau ibu terlalu sayang pada Kak Rahman.”
”Ada satu hal yang masih belum bisa ibu lakukan buat Rahman, jadi kadang ibu merasa masih berhutang.”
”Ibu berhutang pada Kak Rahman? Bukannya Kak Rahman yang berhutang pada ibu?”
”Salah satu kewajiban orang tua adalah menikahkan anaknya dan itu yang belum terlaksana.”
Sebenarnya dengan kalimatku ini aku ingin tahu seberapa jauhkah hubungan mereka. Karena selama ini memang Rahman belum bercerita banyak, hanya beberapa kali dikatakannya bahwa hatinya telah terpikat pada seorang gadis. Tapi tentang gadis itu tak pernah diceritakan secara tuntas padaku. Rahman hanya sekedar memberikan rambu-rambu saja. Suatu saat dia datang mengajak gadis itu ke rumah tanpa memberitahuku dulu. Setelah pulang dia bertanya padaku, apakah aku suka melihat gadis yang diajaknya. Kukatakan siapapun dia kalau Rahman mencintainya maka aku akan menyukainya.
”Boleh Faza siapkan piringnya Bu?”
Gadis itu mencoba mengalihkan perhatian. Melihat perhatiannya, tentunya gadis ini yang dimaksudkan Rahman. Buat apa dia kemari bila tak ada perhatian khusus pada putraku?
”Ambil yang di lemari samping meja makan saja Nak yang sudah kering dan bersih.”
”Baik Bu.”
Ndak usah banyak-banyak kita hanya bertiga, anak-anak biasanya makan di kios.”
Gadis ini beda, berpendidikan, rajin dan cekatan, juga santun, hanya memang tidak terlalu suka berbahasa daerah. Dandanannya juga apik, sederhana tapi menarik.
”Kalau sudah siap, tolong panggil Rahman ya Nak. Biar ibu yang siapkan sayur dan lauknya.” kataku sambil menyendokkan sayur di mangkuk.
”Ya Bu.” katanya kemudian keluar.
Pantas saja kalau Rahman tidak mau menengok pada gadis lain. Karena dia sudah menjatuhkan pilihan. Ini kali kedua aku bertemu dengannya setelah pertemuan malam itu. Gadis dengan senyum yang menawan, beberapa kali Rahman menceritakan padaku, kalau hatinya telah menjatuhkan pilihan. Aku setuju saja pilihan Rahman. Karena bagiku yang penting adalah kebahagiaannya. Bila ingat dua adiknya yang sudah menikah sementara dia belum, aku amat kasihan padanya. Kadang rasa rindu cucu dari Rahman amat menggebu, hingga aku tak segan-segan mencari-cari gadis mana yang pantas untuk Rahman. Beberapa kali kusodorkan anak gadis yang aku rasa pas, tapi jawaban Rahman sederhana.
”Bu, kalau sudah saatnya pasti Rahman akan menikah. Rahman akan tunjukkan pada Ibu gadis macam apa yang Rahman inginkan. Ibu tak perlu risau. Hanya untuk saat ini Rahman belum menemukan yang paling tepat.”
Jawaban-jawaban yang semacam itulah yang selalu diberikan padaku. Tak kulihat ada teman perempuan yang pernah diajaknya ke rumah, kalau aku ikut berupaya mencari karena aku takut. Takut kalau Rahman terlalu asyik dengan pekerjaannya, dia akan lupa kalau usianya sudah dewasa. Sudah saatnya mencari pendamping hidup, biar segera ada yang mengurusinya setiap hari.
”Assalamualaikum.”
”Walaikumsalam. Makan Man!”
”Wuah.... sedap nih... makasih ya Bu....” kata Rahman sambil mencium-cium aroma sayur yang memang menggoda.
”Kesukaanmu Man.” senang aku melihatnya seperti itu, dan hal itu yang selalu dilakukannya bila aku memasak masakan kesukaannya. Sejak dia masih kecil selalu berbuat seperti itu. Dulu saat dia masih kecil bahkan tak segan-segan mencelupkan jarinya ke mangkuk sayur hanya untuk mencicipinya.
Gadis itu mengikutinya di belakang. Aku duduk menunggunya di meja makan. Rahman menarik kursi di samping kiri meja.
”Tuan putri duduk sini ya...” katanya pada Faza.
”Ah Kakak....” malu-malu Faza memandangku. Aku tersenyum menenangkan.
Kulihat sinar bahagia di mata Rahman, yang selama ini jarang ada. Senyum Rahman membuat hati wanitaku bangga, aku kan ibunya. Anakku ini sebenarnya cukup tampan, hanya karena kegiatannya di sawah dan di kebun, maka tampilannya tak seperti pemuda-pemuda kota, yang tampil trendy dan wangi. Rahman tidak gemuk, tapi berotot, justru karena kegiatannya maka dia terlihat seperti itu. Bagi kami bekerja adalah berolah raga, semua harus dinikmati. Rahman cenderung berpakaian yang sangat sederhana, jarang kulihat dia membelanjakan uangnya untuk membeli pakaian. Aku hanya selalu menekankan bahwa pakaian haruslah bersih, dengan pakaian yang bersih akan membawa suasana hati yang bersih pula.
”Ayo Za...” kataku melihat gadis itu terpana saja melihat kami.
”Ya Bu.”
Kusendok nasi beberapa sendok, kuberikan ke piring Rahman, juga Faza.
”Terima kasih Bu, jangan banyak-banyak....” katanya malu-malu.
”Diet ya...?” tanyaku.
”Saya terbiasa makan sedikit Bu.”
Aku menyendok untuk diriku sendiri, tak banyak, karena usia maka aku tak mampu lagi makan banyak-banyak. Kulihat Rahman makan dengan lahap, sesekali kulihat Faza menyuap, dia makan dengan hati-hati sekali. Tak ada suara selama kami makan selain suara sendok yang beradu dengan piring.

”Mbak sudah ditunggu taksi...” tiba-tiba Jito datang memberi tahu kalau taksi sudah datang.
”Ya, makasih ya...” sahutnya sambil mempercepat makannya.
”Suruh tunggu dulu Jit.... kamu nggak tergesa kan Za...?”
”Ya Mas....” sahut Jito sambil berlalu.
”Aku nanti naik kereta jam 10.05 malam, tapi aku pingin mampir rumah dulu, dah kangen mama.”
”Masih ada waktu.... selesaikan dulu makanmu Nak.”
”Ya Bu....”
”Bu, nanti aku ngantar Faza dulu....”
”Sebaiknya memang begitu Man.”
”Nggak usahlah Mas.... Faza naik taksi kan langsung sampai ke rumah.” Mas? Dia panggil Mas pada Rahman? Tadi dia memanggil dengan sebutan Kakak? Ah biarlah, anak muda punya cara sendiri untuk mengungkapkan rasa cintanya.
”Nggak mau nih diantar.... mang enak berduaan sama sopir taksi ?” Rahman kadang memang usil, suka sekali menggoda. Yang digoda menekuk wajahnya.
”Man ....” kataku memberi isyarat agar tidak menggodanya lebih jauh. Rahman hanya menjawab dengan senyuman, lalu dia bangkit dari kursinya.
”Mau sholat dulu nggak....?” katanya pada Faza.
”He..eh..” Faza bangkit menumpuk piring kotor dan membereskan meja.
”Sudah biarkan saja, nggak usah dicuci, nanti Yu Kemi datang membereskan semuanya.” kataku pada Faza yang mengangkat piring ke dapur.
”Baik Bu.”
Gadis yang baik kataku dalam hati. Aku segera berwudhu, dan menunggu gadis itu bersiap untuk melaksanakan sholat berjamaah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar