Laman

Jumat, 06 Agustus 2010

2. Bunda, Lidahku Kelu

Pandangannya yang teduh, dan sikap diamnya selalu membuat orang lain tak berkutik. Hanya senyum yang senantiasa tersungging dari bibirnya. Tak banyak kata yang terucap, bila tak penting benar. Tapi tatapan matanya seolah sudah bisa menyampaikan apa yang ingin beliau ungkapkan. Bahasa mata, itu yang selalu terlihat. Wanita paruh baya ini adalah bundaku. Bunda yang senantiasa ada buat anak-anaknya. Bunda, adalah pahlawan bagi kami. Malaikat kami, yang tak pernah merasa bosan, letih dan jenuh memberikan seluruh waktunya bagi kami. Tanpa keluhan, tanpa rintihan, tanpa tangisan. Walau yang harus ditanggungnya demikian pedih, berat dan sulit. Dari beliaulah kami tahu bagaimana harus bersikap, berbuat dan berperi laku. Keteladanan beliau menjadi cermin bagi kami semua. Tubuhnya masih tegap walau tak gemuk tapi bundaku adalah wanita yang gesit, wanita yang tak suka berdiam diri. Ada saja yang dilakukannya di kala mata terbuka. Diam dan berhenti adalah ketika beliau tidur. Itu saja. Kulitnya sedikit keriput, wajahnya bersih, jernih, bercahaya. Karena banyak terusap air wudhu mungkin ya? Sholatnya memang tekun, tak ada malam yang terlewati tanpa sujud-sujud malam, tanpa senandung-senandung merdu Al Quran. Pandangannya yang teduh menimbulkan rasa nyaman tersendiri bagiku.
“Man…. Kapan kau penuhi permintaan Ibu?” tanyanya suatu saat, ketika selesai makan malam.
“Masakan ibu enak, Rahman suka.” kataku sambil tersenyum.
“Kau alihkan pembicaraan Man…. Bukan menjawab pertanyaan Ibu.” sahut ibu sambil menatapku lekat-lekat.
Kalau sudah seperti ini situasinya, aku tak bisa berkata-kata. Kuambil tangan ibu, kuciumi, dengan ini ingin kusampaikan pada ibu bahwa pertanyaan itu sungguh meresahkan dan aku tak bisa menjawabnya. Hanya lewat getaran-getaran halus yang kusampaikan ibu akan menerimanya dan merasakan kegelisahanku.
Sebenarnya itu adalah pertanyaan yang wajar disampaikan ibu pada anaknya, apalagi bila si anak sudah cukup dewasa. Tentunya ibu menanyakan hal itu karena kakak dan adikku sudah berkeluarga semua. Tinggal aku yang masih tinggal bersama ibu. Pertanyaan klise yang pasti akan ditanyakan oleh seorang ibu pada putranya yang sudah dewasa.
Namun setiap kali pertanyaan itu terlontar dari mulut ibu, lidahku selalu jadi kelu. Banyak kata-kata yang ingin kuungkapkan namun tak pernah ada kata yang mampu terucap. Betapa inginnya aku membahagiakan hati ibu. Kurasa tak ada seorang anakpun yang tidak ingin membahagiakan hati ibunya. Begitu juga aku. Kebahagiaan ibu menjadi prioritas utama. Kalaupun aku harus memilih manakah kebaagiaan yang akan kau pilih, bahagia dirimu atau bahagia ibumu, maka aku akan memilih kebahagiaan ibu.
Masih lekat dalam benakku, bagaimana ibu harus mengasuh kami berlima sendirian. Waktu itu betapa seringnya aku melihat ibu menitikkan air mata sendirian ketika menunggui kami makan tanpa ibu sendiri makan. Setiap kali kami meminta ibu untuk makan, beliau hanya tersenyum dan berkata,
“Melihat kalian makan ibu sudah merasa kenyang.” Waktu itu kami belum tahu apa yang ibu rasakan kecuali melihat air mata haru yang menitik di pipi ibu. Lalu ibu akan memeluk kami erat-erat. Aku baru merasakan saat ini ternyata itu adalah cara ibu untuk mencari kekuatan demi hari-hari mendatang. Sering juga malam-malam ibu datang melihat kami tidur berimpitan, kadang aku melihat sembunyi-sembunyi karena tidurku belum pulas, ibu memandangi kami lekat-lekat lalu akhirnya ibu akan menyeka sudut matanya degan ujung kebaya atau lengannya kemudian menjauh perlahan-lahan.
Sejak 15 tahun yang lalu ibu menggantikan posisi bapak sebagai tulang punggung keluarga. Menghidupi 5 anak yang masih membutuhkan banyak biaya. Ibu yag semula hanya ibu rumah tangga harus banting stir menjadi tulang punggung keluarga. Untunglah kami masih punya dua petak sawah yang bisa kami. Di kebun masih banyak tanaman yang bisa kami ambil daunnya sebagai sayuran.
“Man…tak adakah gadis-gadis di sini yang menarik hatimu?”
Aku hanya tersenyum tanpa menjawab. Ya… beberapa dari mereka memang cantik dan pantas dijadikan istri. Tapi tak ada satupun yang bisa menyentuh hati. Polah tingkah gadis-gadis itu, polah tingkah orang tua mereka, kadang secara tidak sengaja memintaku untuk menjadi menantunya, sering memang membuatku risau. Tapi tak bisa kupungkiri, bahwa tak satupun dari mereka yang sempat singgah di hatiku. Sayang memang. Di hatiku hanya ada satu wajah, satu nama yang telah merebut seluruh hati, perasaan, pikiran dan perhatianku. Tak ada gadis lain, tak ada nama lain yang terukir selain dia. Namun aku belum bisa menyampaikannya pada ibu, karena aku tahu itu belum saatnya. Aku belum mampu menundukkannya, aku takut yang kurasa ini hanya bertepuk sebelah tangan, tanpa bunyi. Aku juga belum bisa memberikan rambu-rambu apapun pada ibu tentang itu.
“Kau pasti sudah jatuh hati pada seseorang Nak. Ibu tahu itu.”
Beginikah cara ibu menggiringku untuk sebuah jawaban? Tidak vulgar. Hati-hati sekali, hingga aku tak merasa bila ibu akan menjebakku dengan pertanyaan seperti ini. Aku seperti anak ingusan yang baru jatuh cinta. Tak bisa berkata-kata selain tertunduk malu. Benar bu, aku baru jatuh cinta, kataku dalam hati. Tak sanggup aku menentang mata ibu yang menghujam, menghakimi.
“Sering ibu dengar kau telepon malam-malam, suaramu riang dan ringan, setelah itu kau akan menjadi lebih bersemangat melakukan sesuatu. Wajahmu penuh senyuman. Kerianganmu bisa ibu rasakan Man.”
Ibu betapa ingin aku menceritakan semuanya kepada ibu. Tapi aku takut ibu akan kecewa. Karena aku sendiri belum yakin akan apa yang terjadi. Aku masih gamang. Antara ya dan tidak. Walau hatiku sudah yakin seyakin –yakinnya. Aku jatuh cinta pada pertemuan pertama Bu. Namun aku juga minder, rendah diri di hadapannya. Aku merasa bukan apa-apa dibandingkan dirinya. Aku tidak mau menjadi pungguk merndukan bulan. Walau aku selalu dirundung rindu, hari-hariku dipenuhi olehnya. Tak terlewat waktu sedetikpun tanpa memikirkannya. Aku tak bisa berbuat tanpa memikirkannya, hari-hariku jadi riang tiap kali menerima berita darinya. Tiap kali kuterima telepon aku selalu berharap itu adalah telepon darinya, bila kubuka ponselku menerima sms aku selalu berharap itu berasal darinya. Hari-hariku jadi lebih bergairah karena ada yang selalu kutunggu. Hanya karena menanti sesuatu darinya, akan menumbuhkan semangatku. Ibu harus bersabar bu, menanti yang tak pasti, tapi aku yakin suatu saat pasti dia akan bisa kuperkenalkan pada ibu, yakin itu bu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar