Laman

Jumat, 06 Agustus 2010

3. Petani Muda Itu Aku

Berdiri berkacak pinggang di pematang, memandangi sawah yang tanahnya baru diolah mendatangkan kenikmatan tersendiri. Aku tersenyum, tipis, seulas rasa puas hadir. Kupandangi traktor yang sedang berputar-putar di areal persawahan. Terbersit harap, kelak hasil panen harus lebih baik dari pada musim yang lalu. Mengolah sawah, adalah pekerjaan yang harus kulakukan, sejak dulu, bahkan sejak masih kanak-kanak.
“Belum selesai mas Rahman?” pakde Wongso menyapaku. Di bahunya masih bertengger cangkul yang habis digunakannya. Peluhnya menutup seluruh wajahnya sedangkan surjan luriknya yang lusuh digulung lengannya hingga ke siku. Sebuah caping menutupi kepalanya dari terpaan terik matahari.
“Belum Pakde, sebentar lagi. Pulang Pakde?”
“Dah panas Mas, Yu Kemi dan teman-teman besok sudah siap buat tandur kemarin saya sudah pesankan. Mas Rahman nggak perlu kesana lagi.”
Memang sinar matahari mulai menyengat kulit. Beruntung aku punya tetangga yang baik seperti pakde Wongso yang selalu setia menjadi tempat bertanya dan tempat minta tolong.
“Matur nuwun Pakde bantuannya. Mangga kalau mau kondur nanti saya menyusul.”
“Nanti Jito biar ke rumah katanya mau membantu mas Rahman ngrawat tanaman hias.”
“Nggih Pakde, saya tunggu.” Kataku sambil sedikit menyingkir, memberi jalan pakde Wongso lewat.
“Ngrumiyini. ”
“Mangga .”
Kupandangi pakde Wongso yang berjalan tegap di pematang. Walau usianya sudah lebih setengah abad, tapi tampilannya masih segar, sehat. Anak pakde Wongso yang bungsu, memang sering membantuku mengurusi tanaman hias yang ada di kebun, sambil belajar katanya. Aku suka-suka saja, karena dengan demikian secara tidak langsung aku sudah menularkan ilmu yang kupunyai pada mereka. Yang tentunya akan membuka pengetahuan mereka, bisa menjadi modal untuk melakukan usaha.
Aku adalah anak petani, yang hidup dari cucuran keringat petani, hidup dari hasil bertani, tinggal di daerah pertanian, senantiasa menghirup udara sawah yang menyegarkan. Kalaupun aku pernah tinggal di kota, mengenal masyarakat kota, namun aku tetap anak desa, anak petani, anak yang tak bisa jauh dari sawah dan padi. Anak yang selalu rindu bau lumpur sawah dan bulir padi, anak yang selalu rindu bentangan sawah yang hijau memberikan kesejukan dan ketenangan.
Anak desa yang selalu rindu pada kehidupan desa yang tenang, kehidupan desa yang penuh rasa kekeluargaan. Hidup yang tidak terburu-buru, namun penuh makna. Hidup dalam kesederhanaan. Sebagai orang desa kami bisa makan apa saja. Semua tersaji oleh alam asal kita mau mengolahnya. Sayuran ada di mana-mana di kebun belakang, di pagar pembatas halaman, di pematang sawah semua bisa kita ambil dan kita petik untuk memenuhi kebutuhan sayur setiap hari. Ayam di kandang belakang juga itik bisa menjadi sumber lauk, baik telur maupun dagingnya. Beras jelas sudah kita siapkan jika panen tiba. Saat panen sebagian besar kita siapkan untuk makan sebelum masa panen berikutnya tiba. Di sela-sela itu masih ada ubi, talas dan umbi-umbian lain yang bisa digunakan sebagi makanan selingan. Tenang dan tidak terburu-buru.
Dengan tetanggapun kita masih bisa saling bertukar makanan yang kita miliki. Di kala kita kehabisan garam, tak perlu sungkan untuk minta pada tetangga, di kala kita kehabisan gula, bukan hal yang tabu kita meminjam pula ke tetangga. Bila suatu saat ada tamu jauh yang datang, kalau kami ingin menjamu makan, maka kamipun tak segan-segan untuk meminjam nasi pada tetangga, yang nanti akan kami tukar saat nasi masak. Yang penting keperluan untuk menjamu tamu bisa teratasi secepatnya.
Suara jengkerik, belalang, kotek ayam, cericit burung menghadirkan suasana nyaman di hati. Irama ini tak pernah lagi kita temui di kota. Tapi di desa tempat tinggalku, suara itu menjadi musik alam yang indah yang bisa kita temui setiap saat, pagi hari, sore ataupun malam hari. Tonggeret yang biasa berbunyi di senja dan malam hari di musim hujan ditimpali suara kodok bersaut-sautan. Sungguh musik yang indah, yang tak mudah ditemui di tempat lain. Musik alam itulah sebenarnya yang selalu membuatku rindu untuk pulang. Tanpa suara bising kendaraan, tanpa polusi udara yang berlebihan.
Saat-saat malam harus mengairi sawah, berat memang, namun itu saat yang nyaman buat menikmati malam. Udara dingin, sejuk, gemericik air, bau tanah basah, justru saat tenang menunggui air memenuhi sawah, adalah saat yang baik untuk merenung, menyepi, melihat ke dalam diri, apa yang sudah kita lakukan, apa yang sudah kita capai, dan apa yang hendak kita raih. Saat-saat itulah sebenarnya saat-saat penting buat mencari makna hidup. Mencari kemana sebenarnya tujuan hidup kita. Mencari jati diri kita. Saat-saat buat menemukan inspirasi. Saat-saat kita bisa menyendiri tanpa diganggu orang lain. Walau kadang kala kami juga berbincang dengan sesame pencari air, namun itu tidak selalu kami lakukan.
Selepas dari SMK Pertanian aku tak berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Sengaja aku mengambil sekolah kejuruan sesuai dengan latar belakangku. Aku yakin, sekolah itulah yang tepat untukku. Dengan ilmu yang kudapat tentu aku akan bisa memajukan desaku. Impianku adalah meningkatkan kesejahteraan warga desa, petani penggarap, petani buruh yang tidak memiliki sawah.
“Man…Man…sekolah jauh-jauh koq kembalinya jadi petani. Rugi to Man… sekolah di kota ya cari kerja di kota!” seorang sahabatku mengatakan seperti itu.
“Lho kalau semua pemuda di desa ini pergi ke kota, lalu siapa yang akan melanjutkan kehidupan di desa?”
“Jadi petani tu sudah tidak njamani , kuno, mendingan kerja di kota, di pabrik syukur-syukur di kantor… he…he…he…”
Aku hanya bisa tersenyum melihat ocehan mereka. Emang dia pikir hidup di kota mudah dan menyenangkan? Sulit dan berat. Belum lagi godaannya lebih banyak. Sungguh berbeda dengan kehidupan di desa yang tenang dan tidak terburu-buru.
Karena sejak kecil aku hidup di lingkungan petani, maka akupun menjadi petani. Dunia tani adalah duniaku. Bangun pagi dan segera pergi ke sawah adalah kegiatanku di kala libur, bila saatnya mencari air untuk mengairi sawah, bisa jadi aku harus begadang sampai pagi agar mendapat giliran buat mengairi sawah kami. Bila saat panen tiba, akupun harus ikut terjun ke sawah buat menyabit batang padi, merontokkan bulir-bulir padi dari tangkainya. Aku teringat saat masih sekolah, ketika pabnen tiba aku diminta pulang untuk membantu panen. Karena tenagaku amat dibutuhkan walau banyak tetangga yang membantu dengan cara gotong-royong. Selesai disabit, padi harus dirontokkan dengan alat yang menyerupai sepeda, harus dikayuh maksudnya agar mempermudah pekerjaan. Kami menyelesaikan kegiatan itu sampai malam, tetangga sudah banyak yang pulang, aku dan kakak ku menyelesaikan sendiri. Entah sudah berapa lama kukayuh perontok padi itu hingga pekerjaan selesai, kalau dibandingkan dengan bersepeda maka sudah berpuluh kilometer kulewati. Alhasil sehari semalam setelah itu, badanku sakit semua kakiku pegal tak karuan, pantatku memar-memar bahkan untuk sekedar dudukpun aku merasa tersiksa sekali. Tapi aku tak berani menceritakannya pada ibu, aku takut ibu akan menjadi bersedih karenanya. Kegiatan menjemur padi adalah pekerjaan yang paling melelahkan, apalagi saat musim penghujan, karena harus selalu berpacu dengan datangnya hujan. Tak ada kata tabu dalam benakku kala itu.
Pada umumnya pemuda-pemuda seusiaku, yang orang tuanya mampu, akan pergi ke kota untuk melanjutkan belajar, atau ke kota untuk mencari pekerjaan, bisa dihitung dengan jari yang masih mau bertahan di rumah hanya untuk mengurus sawah dan kebun. Aku hanyalah salah satu diantara mereka yang terbelenggu tak bisa keluar dari desa. Di hati kecilku sebenarnya ada keinginan untuk keluar dari desa untuk mencari pengalaman. Ada keinginan untuk berontak, kalau mereka bisa keluar, mengapa aku tidak? Terjadi pertentangan di hatiku, kalau aku pergi juga ke kota lalu siapa yang akan melanjutkan kegiatan di desa. Namun pada kenyataannya 3 tahun bersekolah di kota tidak membuatku kerasan, kalau bukan karena keinginan yang menggebu untuk mendapat ilmu, maka sudah kutinggalkan bangku sekolah sejak dulu, hanya untuk memuaskan rindu pada desaku.
Ternyata pilihanku untuk bersekolah di sekolah kejuruan adalah pilihan yang tepat. Banyak ilmu yang kudapat yang bisa kuterapkan di rumah, di desaku. Dari mengolah sawah, tanaman hortikultura, perkebunan, hingga pengolahan, aku mendapatkannya. Aku hanya tinggal megembangkan. Walau itu bukan perkara yang mudah, namun itu semua harus dimulai secepatnya, secepat aku kembali ke desa. Pilihan sekolah yang semula dicibirkan banyak orang, dibilang anak petani sekolah di pertanian tidak akan mengangkat derajat petani, tapi kedatanganku unuk membuktikan bahwa pilihanku adalah pilihan yang tepat. Dengan semangat aku kembali ke desa dan aku siap menjadi petani muda. Ya….petani muda itu adalah aku.
Berbekal pengalaman sejak kecil, ilmu yang kudapat di sekolah serta buku-buku pertanian aku mencoba menjadi petani muda. Bukan hanya itu, beberapa bibit tanaman hias, anggrek, adenium, menjadi salah satu bekalku. Di sekolah aku telah mempelajari banyak hal tentang kedua tanaman hias ini. Aku yakin dengan penanganan yang baik dalam jangka dua tahun aku akan mampu menghiasi kebun rumahku dengan dua tanaman ini. Tanaman hias yang selalu digemari dan memiliki pangsa pasar sendiri walaupun banyak tanaman hias lain yang booming. Belajar bukan sekedar menjadi petani turun temurun, namun mencoba menjadi petani yang berilmu.
Aku yakin dengan bertanipun aku pasti bisa menjadi petani yang sukses, sesukses mereka yang berdasi, yang duduk di kursi empuk. Biarlah aku tak berdasi tapi aku bisa memetik hasil jerih payah yang baik. Kesuksesan tidak hanya diukur dari berdasi atau tidak berdasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar