Laman

Kamis, 05 Agustus 2010

6. Paket Buat Faza

Hari ini aku harus ke Yogya. Beberapa pedagang memintaku untuk mengirimkan anggrek. Biasanya mereka datang sendiri, memilih yang mereka mau, paling-paling mereka memberi tahu kalau mau datang dan membutuhkan barang. Tapi kali ini mereka minta dikirim, karena pasaran di Yogya sedang ramai, mereka tak punya waktu buat mengambilnya. Pameran tanaman hias banyak digelar di beberapa tempat, hingga membutuhkan stok yang banyak, biasa mereka mengejar pasar. Demi memuaskan pelanggan aku menyanggupi untuk mengirimnya, bahkan aku ingin mengirimkannya sendiri sambil melihat prospek yang ada di kota gudeg itu. Meluaskan pasar tidak ada salahnya kan?
Ada tiga pedagang yang meminta kiriman dan harus segera dikirim, jumlah semua 450 pot anggrek dan 100 pot adenium untuk mereka bertiga. Jumlah yang tidak sedikit. Kalau tidak dikirim sungguh sayang, karena ini peluang yang harus ditangkap. Demi kelangsungan hidup kios dengan pemilik dan pegawai yang ada, maka semua harus dilaksanakan.
Hari ini sebenarnya harus menengok sawah yang sedang panen, tapi semua sudah kuserahkan pada ibu. Beberapa tetangga sudah siap untuk membantu panen, ibu cukup mengawasi saja, nanti biar dibantu pakde Wongso. Toh mereka adalah orang-orang yang sudah berpengalaman, jadi mereka sudah cukup tahu apa yang harus mereka lakukan. Jadi kalaupun kutinggal tidak akan kacau.
Kuminta Jito buat mencari angkutan yang bisa disewa buat mengantarkan kiriman ke Yogya setelah mereka selesai menyiapkan pot yang hendak dikirim. Sebuah colt pick up L300 milik tetangga kampung yang biasa disewa sudah siap di depan kios. Kuminta Tihat dan teman-temannya menata di mobil, agar bisa segera berangkat, agar jangan terlalu siang. Tak sampai satu jam semua sudah siap.
Beberapa kali aku mondar-mandir masuk ke dalam rumah sebelum berangkat. Serasa ada yang belum lengkap, yang masih tertinggal. Namun berulang kali aku kembali masuk ke rumah tak kutemukan juga apa yang belum terbawa. Nota, dompet, cap, kalkulator, ponsel, semua sudah ada.
“Koq masih mondar-mandir to Mas?” tanya Jito heran.
“Rasanya masih ada yang tertinggal tapi tak tau apa?” sahutku.
“Mau ke Yogya, kan harus bawa oleh-oleh Mas!” Tihat menyahut.
“Oleh-oleh buat pulang? Nanti kubelikan kalian mau apa?”
“Nggak koq Mas, itu lho oleh-oleh buat gadis yang pakai kijang dari Yogya itu lho mas. mosok lali she …” kata Tihat sambil tersenyum penuh arti.
Astaghfirullah, jadi bingungku ini karena Faza. Baru kemarin lusa, terakhir aku sms dia. Hanya dua kali kirim lalu selesai, sepi lagi. Kenapa aku sampai bisa lupa Faza? Hal yang tak biasa. Aku baru ingat, kalau aku mau ke Yogya, ke tempat Faza tinggal. Wah…baru sehari koq sudah nggak ingat dia. Terlalu sibuk mungkin ya, sampai aku sempat tak mengingatnya. Aku tersenyum, lucu juga ya, biasanya tak sekalipun pernah melupakannya, tapi kali ini sehari aku telah melupakannya.
“Oooo…itu ya… yang bikin aku linglung…”
“Iyalah mas….bawain bunga lagi biar seneng… nggak marah…”
“Tolong dong dua atau tiga pot yang kemarin belum mereka beli, biar buat koleksi.”
“Vanda aja sama anggrek hitam gimana Mas, vanda yang ungu bintik kan bagus, apalagi dah hampir berbunga…” kata mereka sambil beranjak menuju kebun.
“Boleh deh…nanti kubilang ini kiriman dari Tihat sama Jito…” kataku keras-keras.
“Jangan gitu Mas…kami jadi nggak enak lho…kalau dia naksir kami, nanti mas Rahman patah hati….ha…ha…ha…” jawab mereka tak kalah keras sambil tertawa.
“Ooo gitu ya…jadi kalian nggak mau ni?” kataku sambil tertawa pula.
“Nggak deh Mas, buat mas aja. Ni langsung masuk aja ya Mas?” kata mereka sambil memasukkan pot bunga yang mereka ambil.
“Oke deh… ak berangkat dulu ya…!” setelah mereka selesai memasukkan oleh-oleh buat Faza, aku berangkat.
Sungguh aku tak ingat sama sekali kalau hendak pergi ke Yogya, dan Faza tinggal di Yogya. Mungkin ini adalah salah satu jalan yang ditunjukkan Tuhan untuk dapat mempermudah jalan menemui Faza. Seandainya aku tidak harus mengirimkan pesanan ke kota itu, tak terpikir untuk mampir ke rumah Faza, kebetulan sekali salah satu yang harus kukirimi tak jauh dari rumah Faza, bahkan aku harus melewati rumahnya dulu untuk mencapai tempat itu. Sebuah kesempatan yang bagus.
Mana yang tepat? Aku datang tanpa memberi tahu dengan resiko Faza marah atau tidak ketemu Faza? Atau aku harus memberi khabar dulu pada Faza kalau aku ingin berkunjung ke rumahnya? Dengan resiko ditolak untuk bertamu. Tak apalah kalau harus ditolakpun aku tetap bisa mengirimkan bunga itu untuknya. Kapan aku harus memberi tahu? Sekarang atau nanti kalau sudah hampir sampai? Ah…apapun resikonya, aku harus memberi khabar sekarang. Sms atau telpon? Telpon saja, biar bisa dengar suaranya, seruku dalam hati. Kupencet tuts di ponsel. Aku hafal betul nomornya.
“Assalamualaikum” kataku ketika nada tersambung.
“Walaikum salam…tumben, ada apa Kak?” suara Faza renyah di seberang.
“Aku mau ke Yogya?”
“Kapan Kak?”
“Ni dah di perjalanan, sudah menjelang jembatan Krasak.”
“Oo gitu, ada acara apa?”
“Ngirim pesanan?”
“Emang sering ngirim ke Yogya ya?”
“Baru kali ini, biasanya mereka ngambil sendiri.”
“Selamat ya…”
“Faza dimana…?”
“Di rumah…kenapa?”
“Nanti aku mau mampir, kebetulan nanti lewat depan rumahmu.”
“Ah yang bener…Kakak mengada-ada.”
“Nggak…bener, nanti aku lewat depan rumah, boleh mampir nggak?”
“Nggak boleh…!” sahutnya agak galak.
“Kenapa…? Mau pergi?”
“Nggap pa pa, aku nggak mau pergi kok.”
“Ya udah…gak papa…maaf ya dah ganggu.” kataku sambil menahan debar di dada. Benar dia menolakku. Tapi aku tak boleh putus asa. Lain waktu akan kucoba lagi. Ponsel kututup. Tak ada lagi kata-kata dari Faza. Ada sesal sebenarnya, kenapa aku harus meneleponnya dulu, seharusnya nanti kalau sudah dekat rumahnya saja. Tapi tak apalah kan sudah mendengar suaranya, itu sudah menghibur hatiku. Sepanjang perjalanan tak ada suara yang terucap. Aku ingin segera menyelesaikan kiriman ini. Dan segera pulang.
Ketika sampai pada kiriman terakhir, ketika lewat depan rumah Faza terlihat Honda jazz merah masih ada di tempat parkir di depan rumah. Mungkin benar Faza ada di rumah. Kami terus melaju menyelesaikan pekerjaan. Saat kembali kukatakan pada Parman, pengemudi untuk berhenti dulu di seberang rumah nomor 4 di jalan itu.
“Bisa minta tolong untuk menyampaikan titipan ini di rumah nomor 4?” tanyaku pada Parman.
“Kenapa Mas, capek?” tanya Parman.
“Tolong ya, katakan kiriman buat Faza…”
“Mas Rahman nunggu disini?”
“Ya…” sahutku lesu.
Parman turun kemudian mengambil pot yang masih tersisa. Menyeberang, mengetuk pintu rumah nomor 4. seorang gadis keluar menerima pot-pot yang dibawa Parman sambil berteriak.
“Kak…kiriman bunga…”
“Ya….” suara dari dalam rumah menyahut. Suara Faza, sebentar kemudian kulihat Faza keluar, celingukan mencari-cari.
“Yang ngirim mana?” tanyanya pada adiknya.
“Mobil itu!” kata adiknya sambil menunjuk mobilku yang sengaja belum dijalankan. Faza menuju gerbang luar.
“Kak Rahman….” Suaranya nyaring ditelinga memanggilku. Aku menoleh dan melambaikan tangan tanpa turun dari mobil, karena aku tahu, dia tidak menginginkan kehadiranku.
“Kakak nggak mampir dulu? Mau trus pulang?” Faza bertanya dengan nada kecewa.
“Boleh aku mampir sebentar?” tanyaku tak habis mengerti.
“Rumah kami terbuka…” dia tersenyum melihatku turun dari mobil, kuajak Parman turun tapi dia tidak mau.
“Katanya tadi nggak boleh berkunjung?” kataku sambil melangkah menuju halaman.
“Yach…kalau sudah sampai di halaman rumah masak nggak mau mampir?” dia sedikit merajuk.
“Kakak nggak nyaman saja kalau nggak ada ijin.”
“Sekarang dah diijinkan… nggak jadi mampir?”
“Sebentar aja ya, lain waktu Kakak mampir lagi boleh?” kataku berbasa-basi.
Aku ingin Faza menahanku untuk tinggal lebih lama, tapi itu tak dia lakukan. Kami berbincang sebentar di halaman. Wajahnya berbinar. Aku suka sekali melihatnya, tak bosan memandanginya, sampai dia tersipu karena tahu pandanganku. Sebenarnya dia memintaku masuk, tapi dengan halus aku menolaknya. Awalnya kalau dia mengijinkan aku berkunjung, aku akan pulang naik bis, Parman biar pulang sendiri. Tapi kalau Parman hanya menunggu di mobil, nggak mungkin kan aku menyiksa dia dengan menungguku terlalu lama?
“Ok…, makasih bunganya ya Kak…mama pasti senang.” katanya bersungguh-sungguh.
“Bunga itu buat Faza…”
“Aku nggak bisa ngrawat, daripada akhirnya mati? Sayang kan? Biar buat mama aja ya…?” begitulah cara dia menolak pemberianku. Faza memang sedikit angkuh, dia tidak mudah menerima pemberian, tapi dia tak segan buat memberi. Tak apa, toh dia masih tetap bisa memandang bunga pemberianku. Bisa menikmati, tentu di tangan ibunya, anggrek itu akan lebih terawat.
Tak terlalu lama aku singgah, aku mohon diri. Faza melepasku dengan senyum manisnya. Kembali kutekankan pertanyaanku tadi.
“Lain kali masih boleh mampir kan?”
“Boleh, asal tidak tiap hari….bikin bosan!” sahutnya sambil tertawa. Tawa yang renyah, tawa yang selalu menggodaku, menggoda perasaan dan mimpiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar