Laman

Jumat, 06 Agustus 2010

Anggrek untuk Faza

”Aku tak bisa melanjutkan hubungan ini.” kata Faza suatu ketika.
”Diantara kita terlalu banyak perbedaan Mas.... yang paling prinsip, aku ingin meniti karir sementara mas tak bisa meninggalkan desa. Jalan kita berbeda.”
”Keinginanku membangun desa mungkin kau rasakan terlalu muluk, terlalu idealis, tapi itu janjiku sejak dulu. Janjiku pada diri sendiri. Janji bagiku serasa hutang yang harus dibayar.” Kata-kata Rahman ini seperti menyiratkan bahwa tak ada lagi jalan tengah yang bisa ditempuh.
Di kala cinta mulai berpaut baru datang kesadaran bahwa ada perbedaan antara mereka berdua.

Persembahan

Persembahan buat para belahan jiwa :

Mas Hadi,

Mbak Tika,

Mas Faid

Dik Ima,

Bapak

Oom Icu

Pengantar

Terinspirasi dari cerita-cerita yang disampaikan oleh anak-anak baik itu anak didik maupun si buah hati, maka tersusunlah novel Anggrek Untuk Faza. Keinginan untuk menulis yang menggebu membuahkan hasil. Semula rasa tidak percaya yang muncul, akankah selesai? Mampukah ? Setelah berhenti selama sebulan dalam melakukan proses kreatif, akhirnya datang kembali semangat untuk menyelesaikan sesegera mungkin agar tak menjadi PR yang tertunda. Alhamdulillah dengan dorongan banyak pihak, dengan semangat pantang menyerah maka novel kedua ini akhirnya selesai juga.
Ungkapan terima kasih terutama buat Kakanda yang sempat terlantar di malam-malam yang dingin. Yang harus rela menanti matinya komputer untuk dapat beristirahat. Kakanda menjadi penyemangat yang paling utama. Buat para belahan jiwa yang sudah memacu semangat buat berkarya. Tanpa kalian cerita ini tak akan pernah selesai. Mbak Tika dengan inspirasinya, Mas Faid dengan keahliannya, Adik dengan cerita-ceritanya yang membuat rumah jadi makin ceria. Oom Icu dengan masukan-masukannya. Bapak dengan Suportnya. Buat seseorang yang tak bisa diungkapkan namanya lewat kata-kata, kau adalah penggerak proses kreatif ini, lewat getaran jiwa, denyut nadi, pencerah hati, tanpamu proses kreatif ini tak pernah ada.


Yogyakarta, Januari 2009
Penulis

Daftar Isi

1. Faza
2. Bunda, Lidahku Kelu
3. Petani Muda itu Aku
4. Ketep Pass. Kuhadir Bersamanya
5. Anggrek, Jalanku Menemuimu
6. Paket Buat Faza
7. Komposisi itu Menyihirku
8. Panggil Aku Mas
9. Hangatkan Hatiku
10. Hadirmu Hapuskan Rindu
11. Gadis Itu
12. Cita-cita & Impian
13. Suara Hati
14. Tawaran itu Menyulitkanku
15. Surat Buat Faza
16. Siapa Harus Mengalah
17. Hatiku
18. Itukah Maumu

1. Faza

Wajahnya yang riang telah mampu membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Ya pertama kali aku berjumpa dengannya setelah sekian lama berkenalan. Senyumnya itu lho…. Segar dan memikat…. Saat pertemuan pertama itu benar-benar mengesankan. Riang, ramah, penuh senyum.
Ketika itu kencan pertama kami, copy darat, itu mungkin kata yang lebih tepat. Aku yang dari luar kota cukup kesulitan sebenarnya mencari rumah makan dan pemancingan Pingka Mina. Rumah makan yang cukup luas, di pinggir kali. Mungkin karena itu ya diberi nama Pingka, pinggir kali. Di antara hamparan sawah yang hijau, di tengah kolam-kolam ikan.
“Tempatnya asyik dan bagus Kak,” katanya ketika itu.
“Gimana kalau kita ketemuan di rumah aja Za, jadi kamu gak perlu susah-susah keluar rumah?” Aku mengajukan penawaran, karena sebenarnya aku ingin sekali tahu rumahnya dan bisa mengenal keluarganya.
“Lain kali aja ya Kak, ortuku baru tidak di rumah…. Nggak enak kalau kita ketemuan di rumah….Ok…?” jawabnya dengan santai.
“Tapi kalau Kakak keberatan nggak papa koq…. atau Kakak punya alternative tempat yang lain selain di Pingka Mina?” dia menawarkan padaku untuk memilih tempat, tapi aku tak begitu mengenal seluk beluk kotanya sehingga aku menyerah apa maunya saja.
“Kok diem , kalau Kakak nggak ingin ya kita batalkan aja, atau diundur biar Kakak bisa mencari tempat lain. Atau Kakak nggak suka ikan?” pertanyaannya memberondongku, membuatku makin tak berkutik.
Lama baru aku bisa menjawab pertanyaannya.
“Oke deh…. Aku setuju. Sesuai hari dan tanggalnya ya? jam 11.00. Ok?”
“Ok.” jawaban yang teramat singkat, padahal aku mau yang lebih dari itu.
Menjelang pertemuan itu aku benar-benar gelisah. Persis seperti ketika klas 2 SD mau diajak ibu ke Semarang, semalaman tidak bisa tidur berharap pagi segera tiba. Sore tidak segera tidur membayangkan perjalanan besok pagi. Semalam juga begitu, banyak angan-angan melintas tentang pertemuan yang hendak terjadi. Membayangkan apa yang akan kulakukan begitu melihatnya, apa yang akan dia lakukan ketika bertemu. Apakah akan sama dengan bayanganku semula? Sampai akhirnya aku terlena, tertidur mendekap angan-angan.
Setelah beberapa kali bertanya sampailah aku di Pingka Mina yang dimaksud. Benar juga katanya, tempatnya memang asyik, terutama bagi mereka yang tidak pernah berada di sawah. Serasa di kampung saja. Aku jadi ingat Lik Soni yang kuserahi matun di sawah Si Gong. Harusnya kutemani dan kubantu biar cepat rampung. Tapi demi Faza kubiarkan Lik Soni bekerja sendirian.
Di tempat parkir kulepas jaket dan helm, rasa gerah segera sirna disapu angin yang semilir . Tukang parkir berseragam biru tersenyum padaku memperlihatkan giginya yang rapi. Mempersilakanku melewati gerbang yang ada disebelahnya. Kubalas senyumnya dan ungkapan terima kasih atas petunjuknya. Kurapikan baju, memantas-mantas diri, sudah rapikah aku di mata Faza?. Dengan langkah yang kubuat seyakin mungkin, aku melangkah masuk.
“Kostumku kaus lengan pendek putih dekker hitam dengan jilbab hitam” katanya waktu itu.
Kutengok beberapa gubuk yang tersebar di petak-petak kolam. Ada 14 gubuk kecil dan tiga gubuk yang luas terlihat dari angka-angka yang terpampang di depan gubuk. Di gubuk 4 seseorang duduk membelakangi pintu, berkaos putih dengan kerudung hitam. Kuedarkan pandangan, banyak gubuk yang terisi, tapi yang sendiri dan berjilbab hitam hanya ada di gubuk 4. Diakah? Tanyaku dalam hati. Terlihat dia masih asyik membaca, sendirian dalam gubuk. Perlahan aku menuju tempat itu. Ada tanya dalam hati, perlukah kutelepon dia atau kunikmati dulu dari sisi kiri? Aku masuk gubuk 6 yang masih kosong duduk menghadap arah Faza. Seorang pramusaji mendekati memberikan daftar menu.
“Bisa nanti saja mbak ? Saya sedang menunggu teman.” tanyaku basa basi.
“Bisa Pak, nanti silahkan pencet bel di samping akan ada yang datang melayani Bapak.” pramusaji berseragam merah tua itu berlalu, rambutnya yang diekor kuda bergoyang ke kanan dan ke kiri. Bapak katanya? Sudah terlalu tuakah penampilanku hingga pantas disebut bapak? Atau sekedar sopan santun dia memanggilku bapak? Kugelengkan kepala sendiri tanpa sebab. Aku masih merasa cukup muda.
Aku kembali ke sasaran semula, Faza. Kepalanya masih menunduk sesekali tersenyum kecil, matanya masih tertuju pada buku yang dibaca. Tangan kanannya mengambil gelas berisi es jeruk yang tinggal setengah kemudian meminumnya. Ada makanan kecil di mejanya, beberapa kali tangannya meraihnya. Tidak merasakah dia kalau sudah beberapa lama dipandangi orang. Betapa aku ingin dia menoleh padaku dan berteriak, Rahmanto? Tapi ternyata iu tak pernah terjadi. Dia masih saja asyik dengan bukunya. Jam 11.20. tak ada tanda-tanda kegelisahan padanya. Padahal kalau aku yang harus menunggu, terlambat beberapa menit saja pasti aku akan mengeluh. Tapi itu tidak dia lakukan. Hebat gadis ini, dengan sebuah buku saja telah membuatnya terlena, tak peduli alam sekitarnya.
Iseng ingin aku mengodanya. Ku sms kalau aku ternyata tidak bisa datang tepat waktu karena saat ini aku baru berangkat dari kotaku.
Sambil terus membaca dia meraih dompet hitam di meja, membukanya pelan dan membuka telepon genggamnya. Sebentar pandangannya beralih pada layar telepon gengam, jarinya memencet-mencet tuts. Ada tarikan napas yang tidak biasa, bahunya terangkat lebih tinggi.
“Nggak papa, dicancel aja. Nanti aku ada acara yang tidak bisa kutinggalkan. Selamat siang.”
Tak ada kata-kata marah. Padahal aku ingin sekali melihatnya marah, lalu merajuk ketika aku memperlihatkan diri, kemudian dia akan memukul-mukul dadaku dengan kepalan tangannya yang tentunya tidak begitu kuat, karena hanya ingin menunjukkan kemanjaannya saja. Itu yang sejak tadi kupikirkan. Tapi ternyata dia menjawab dengan datar. Terkendali sekali emosinya, tidak mudah buat mengajuk-ajuk hatinya. Dihabiskannya es dalam gelas kemudian dia bersiap-siap memasukkan bukunya ke dalam tas batiknya. Aku jadi lebih terpesona. Dia menelpon sebentar ketika pelayan datang menyerahkan bon. Aku meneleponya, tak tahan aku melihatnya akan pergi begitu saja. Buru-buru aku meneleponnya takut, dia segera beranjak pergi. Buat apa aku datang kemari kalau tak bisa menjumpainya. Padahal itu adalah tujuan utamaku.
“Za….”sapaku
“Eh gimana Kak? Klo sibuk dicancel aja gak papa koq…” jawabanya datar tanpa ekspresi.
“Tengok ke kiri gubuk nomor enam?” perintahku begitu saja. Dia menengokkan kepalanya ke kiri. Aku mencoba tersenyum. Jantungku berdebar keras sekali tak terkendali. Ah betapa jahatnya aku telah menggodanya demikian rupa. Dia tersenyum sedikit marah. Lalu mengarahkan kepalan tangan kanannya padaku.
“Jahat.” katanya tanpa suara. Aku bangkit dengan segera menuju gubuk empat. Setelah dekat makin jelas dia badannya berisi, tinggi besar, tapi proporsional. Tapi dia memang kharismatik.
“Faza…” kataku tercekat di kerongkongan.
“Kakak jahat….” matanya yang bulat melotot sambil menahan senyum kemenangan. Aku tak berkutik memandanginya terpesona. Semua jauh dari bayangan semula. Lebih cantik dan menarik dari bayanganku. Dia melambaikan tangan ketika seorang pramusaji lewat di dekat kami.
“Kakak mau pesan apa?” pertanyaannya membuyarkan tatapanku.
“Faza aja yang pesan, aku ikut…” sahutku.
“Ntar nggak cocok seleranya lho Kak? Mau gurame, patin, nila, cumi, udang, bakar, goreng, saus asam pedas atau manis? Minum jus buah, es atau apa?” penawarannya komplit.
Aku hanya mengenal ikan goreng, selain itu aku tak pernah menikmatinya. Paling-paling kalau di rumah ikan selain digoreng ya dimangut, masakan bersantan dan berasa pedas. Kadang-kadang juga ada ikan bakar, tapi sebenarnya aku tidak terlalu suka. Bau arang dan tempelan arang membuatku tak tega buat memakannya.
“Faza aja yang pesankan, minum cukup dengan es teh aja ya?”
“Ok, mbak aku mau patin bakar sama jus wortel tomat, jangan terlalu manis ya mbak, buat kakak yang lain ya…. ikan pa cumi Kak? Cumi asam manisnya enak lho Kak?” mulai promosi dia.
“Nila pa gurami aja deh…?”
“Gurami aja yg ½ kg ya mbak bakar juga Kak?”
“Boleh.” jawabku, demi Faza akan kucoba makan ikan bakar.
“Bakar ya mbak.” pramusaji yang menunggu pesanan segera mencatat dan mengangguk lalu undur diri.
“Kakak jahat banget ma aku!” katanya dengan nada sedikit merajuk. Tapi hanya itu saja yang keluar, tak ada ekspresi lain seperti yang kuharapkan.
“Sejak tadi kamu asyik membaca, aku perhatikan kamu sejak tadi.” Sahutku sambil terus memandanginya.
“Huuuu….” tiba-tiba kepalan tagannya melampaui meja dan menonjok bahuku, membuatku kaget, tapi aku menikmatinya. Ternyata benar secara reflek dia suka menonjokkan tangannya.
Hari itu kami lalui dengan damai, tapi terasa jelas perbedaan itu. Selintas hadir rasa rendah diri dihadapannya, tapi segera aku menghibur diri. Sebesar apapun perbedaan kalau hati sudah menyatu pasti ada jalan tengahnya. Walau aku merasa aku berharap terlalu banyak untuk itu.
Aku yang terbiasa ke sawah dan dia yang cuma suka pegang buku. Itulah anak kuliahan, sedang aku hanya tamat SMA. Sebenarnya aku ingin sekali mengantarnya pulang, dia menolak dengan halus. Ternyata dia membawa kendaraan sendiri karena harus segera menghadiri pertemuan di suatu tempat. Dia bilang tidak bisa naik motor. Jadi kupikir dia naik angkutan umum atau diantar. Kutawarkan buat mengantarnya, dia menolak. Akhirnya kubiarkan dia pulang sendiri, ketika hendak kuantar keluar gerbang, ternyata dia menuju tempat parkir. Dihampirinya Honda Jazz warna merah darah. Dengan memencet alarm dia membuka kunci mobil.
“Aku duluan ya Kak.” katanya sambil tersenyum, kubalas senyumnya serta kulambaikan tangan.
Ternyata dia bisa mengemudi. Dengan anggun dia duduk di belakang kemudi Honda jazz merah darah. Makin terasa bedanya, aku hanya mengendarai Supra X, itupun kubeli dengan cara diangsur dan belum lunas.
Kupandangi kepergiannya sampai lenyap dari pandangan, aku tertegun, menyadari keadaanku. Ada sesuatu yang hilang, pertemuan itu hanya sejenak, tak impas dengan waktu perjalananku kemari. Tapi tak apa demi sebuah kesempatan, kuluangkan waktu yang seharusnya bisa kugunakan untuk merawat tanaman padiku di sawah, yang beberapa hari ini tak sempat kusentuh.

2. Bunda, Lidahku Kelu

Pandangannya yang teduh, dan sikap diamnya selalu membuat orang lain tak berkutik. Hanya senyum yang senantiasa tersungging dari bibirnya. Tak banyak kata yang terucap, bila tak penting benar. Tapi tatapan matanya seolah sudah bisa menyampaikan apa yang ingin beliau ungkapkan. Bahasa mata, itu yang selalu terlihat. Wanita paruh baya ini adalah bundaku. Bunda yang senantiasa ada buat anak-anaknya. Bunda, adalah pahlawan bagi kami. Malaikat kami, yang tak pernah merasa bosan, letih dan jenuh memberikan seluruh waktunya bagi kami. Tanpa keluhan, tanpa rintihan, tanpa tangisan. Walau yang harus ditanggungnya demikian pedih, berat dan sulit. Dari beliaulah kami tahu bagaimana harus bersikap, berbuat dan berperi laku. Keteladanan beliau menjadi cermin bagi kami semua. Tubuhnya masih tegap walau tak gemuk tapi bundaku adalah wanita yang gesit, wanita yang tak suka berdiam diri. Ada saja yang dilakukannya di kala mata terbuka. Diam dan berhenti adalah ketika beliau tidur. Itu saja. Kulitnya sedikit keriput, wajahnya bersih, jernih, bercahaya. Karena banyak terusap air wudhu mungkin ya? Sholatnya memang tekun, tak ada malam yang terlewati tanpa sujud-sujud malam, tanpa senandung-senandung merdu Al Quran. Pandangannya yang teduh menimbulkan rasa nyaman tersendiri bagiku.
“Man…. Kapan kau penuhi permintaan Ibu?” tanyanya suatu saat, ketika selesai makan malam.
“Masakan ibu enak, Rahman suka.” kataku sambil tersenyum.
“Kau alihkan pembicaraan Man…. Bukan menjawab pertanyaan Ibu.” sahut ibu sambil menatapku lekat-lekat.
Kalau sudah seperti ini situasinya, aku tak bisa berkata-kata. Kuambil tangan ibu, kuciumi, dengan ini ingin kusampaikan pada ibu bahwa pertanyaan itu sungguh meresahkan dan aku tak bisa menjawabnya. Hanya lewat getaran-getaran halus yang kusampaikan ibu akan menerimanya dan merasakan kegelisahanku.
Sebenarnya itu adalah pertanyaan yang wajar disampaikan ibu pada anaknya, apalagi bila si anak sudah cukup dewasa. Tentunya ibu menanyakan hal itu karena kakak dan adikku sudah berkeluarga semua. Tinggal aku yang masih tinggal bersama ibu. Pertanyaan klise yang pasti akan ditanyakan oleh seorang ibu pada putranya yang sudah dewasa.
Namun setiap kali pertanyaan itu terlontar dari mulut ibu, lidahku selalu jadi kelu. Banyak kata-kata yang ingin kuungkapkan namun tak pernah ada kata yang mampu terucap. Betapa inginnya aku membahagiakan hati ibu. Kurasa tak ada seorang anakpun yang tidak ingin membahagiakan hati ibunya. Begitu juga aku. Kebahagiaan ibu menjadi prioritas utama. Kalaupun aku harus memilih manakah kebaagiaan yang akan kau pilih, bahagia dirimu atau bahagia ibumu, maka aku akan memilih kebahagiaan ibu.
Masih lekat dalam benakku, bagaimana ibu harus mengasuh kami berlima sendirian. Waktu itu betapa seringnya aku melihat ibu menitikkan air mata sendirian ketika menunggui kami makan tanpa ibu sendiri makan. Setiap kali kami meminta ibu untuk makan, beliau hanya tersenyum dan berkata,
“Melihat kalian makan ibu sudah merasa kenyang.” Waktu itu kami belum tahu apa yang ibu rasakan kecuali melihat air mata haru yang menitik di pipi ibu. Lalu ibu akan memeluk kami erat-erat. Aku baru merasakan saat ini ternyata itu adalah cara ibu untuk mencari kekuatan demi hari-hari mendatang. Sering juga malam-malam ibu datang melihat kami tidur berimpitan, kadang aku melihat sembunyi-sembunyi karena tidurku belum pulas, ibu memandangi kami lekat-lekat lalu akhirnya ibu akan menyeka sudut matanya degan ujung kebaya atau lengannya kemudian menjauh perlahan-lahan.
Sejak 15 tahun yang lalu ibu menggantikan posisi bapak sebagai tulang punggung keluarga. Menghidupi 5 anak yang masih membutuhkan banyak biaya. Ibu yag semula hanya ibu rumah tangga harus banting stir menjadi tulang punggung keluarga. Untunglah kami masih punya dua petak sawah yang bisa kami. Di kebun masih banyak tanaman yang bisa kami ambil daunnya sebagai sayuran.
“Man…tak adakah gadis-gadis di sini yang menarik hatimu?”
Aku hanya tersenyum tanpa menjawab. Ya… beberapa dari mereka memang cantik dan pantas dijadikan istri. Tapi tak ada satupun yang bisa menyentuh hati. Polah tingkah gadis-gadis itu, polah tingkah orang tua mereka, kadang secara tidak sengaja memintaku untuk menjadi menantunya, sering memang membuatku risau. Tapi tak bisa kupungkiri, bahwa tak satupun dari mereka yang sempat singgah di hatiku. Sayang memang. Di hatiku hanya ada satu wajah, satu nama yang telah merebut seluruh hati, perasaan, pikiran dan perhatianku. Tak ada gadis lain, tak ada nama lain yang terukir selain dia. Namun aku belum bisa menyampaikannya pada ibu, karena aku tahu itu belum saatnya. Aku belum mampu menundukkannya, aku takut yang kurasa ini hanya bertepuk sebelah tangan, tanpa bunyi. Aku juga belum bisa memberikan rambu-rambu apapun pada ibu tentang itu.
“Kau pasti sudah jatuh hati pada seseorang Nak. Ibu tahu itu.”
Beginikah cara ibu menggiringku untuk sebuah jawaban? Tidak vulgar. Hati-hati sekali, hingga aku tak merasa bila ibu akan menjebakku dengan pertanyaan seperti ini. Aku seperti anak ingusan yang baru jatuh cinta. Tak bisa berkata-kata selain tertunduk malu. Benar bu, aku baru jatuh cinta, kataku dalam hati. Tak sanggup aku menentang mata ibu yang menghujam, menghakimi.
“Sering ibu dengar kau telepon malam-malam, suaramu riang dan ringan, setelah itu kau akan menjadi lebih bersemangat melakukan sesuatu. Wajahmu penuh senyuman. Kerianganmu bisa ibu rasakan Man.”
Ibu betapa ingin aku menceritakan semuanya kepada ibu. Tapi aku takut ibu akan kecewa. Karena aku sendiri belum yakin akan apa yang terjadi. Aku masih gamang. Antara ya dan tidak. Walau hatiku sudah yakin seyakin –yakinnya. Aku jatuh cinta pada pertemuan pertama Bu. Namun aku juga minder, rendah diri di hadapannya. Aku merasa bukan apa-apa dibandingkan dirinya. Aku tidak mau menjadi pungguk merndukan bulan. Walau aku selalu dirundung rindu, hari-hariku dipenuhi olehnya. Tak terlewat waktu sedetikpun tanpa memikirkannya. Aku tak bisa berbuat tanpa memikirkannya, hari-hariku jadi riang tiap kali menerima berita darinya. Tiap kali kuterima telepon aku selalu berharap itu adalah telepon darinya, bila kubuka ponselku menerima sms aku selalu berharap itu berasal darinya. Hari-hariku jadi lebih bergairah karena ada yang selalu kutunggu. Hanya karena menanti sesuatu darinya, akan menumbuhkan semangatku. Ibu harus bersabar bu, menanti yang tak pasti, tapi aku yakin suatu saat pasti dia akan bisa kuperkenalkan pada ibu, yakin itu bu.

3. Petani Muda Itu Aku

Berdiri berkacak pinggang di pematang, memandangi sawah yang tanahnya baru diolah mendatangkan kenikmatan tersendiri. Aku tersenyum, tipis, seulas rasa puas hadir. Kupandangi traktor yang sedang berputar-putar di areal persawahan. Terbersit harap, kelak hasil panen harus lebih baik dari pada musim yang lalu. Mengolah sawah, adalah pekerjaan yang harus kulakukan, sejak dulu, bahkan sejak masih kanak-kanak.
“Belum selesai mas Rahman?” pakde Wongso menyapaku. Di bahunya masih bertengger cangkul yang habis digunakannya. Peluhnya menutup seluruh wajahnya sedangkan surjan luriknya yang lusuh digulung lengannya hingga ke siku. Sebuah caping menutupi kepalanya dari terpaan terik matahari.
“Belum Pakde, sebentar lagi. Pulang Pakde?”
“Dah panas Mas, Yu Kemi dan teman-teman besok sudah siap buat tandur kemarin saya sudah pesankan. Mas Rahman nggak perlu kesana lagi.”
Memang sinar matahari mulai menyengat kulit. Beruntung aku punya tetangga yang baik seperti pakde Wongso yang selalu setia menjadi tempat bertanya dan tempat minta tolong.
“Matur nuwun Pakde bantuannya. Mangga kalau mau kondur nanti saya menyusul.”
“Nanti Jito biar ke rumah katanya mau membantu mas Rahman ngrawat tanaman hias.”
“Nggih Pakde, saya tunggu.” Kataku sambil sedikit menyingkir, memberi jalan pakde Wongso lewat.
“Ngrumiyini. ”
“Mangga .”
Kupandangi pakde Wongso yang berjalan tegap di pematang. Walau usianya sudah lebih setengah abad, tapi tampilannya masih segar, sehat. Anak pakde Wongso yang bungsu, memang sering membantuku mengurusi tanaman hias yang ada di kebun, sambil belajar katanya. Aku suka-suka saja, karena dengan demikian secara tidak langsung aku sudah menularkan ilmu yang kupunyai pada mereka. Yang tentunya akan membuka pengetahuan mereka, bisa menjadi modal untuk melakukan usaha.
Aku adalah anak petani, yang hidup dari cucuran keringat petani, hidup dari hasil bertani, tinggal di daerah pertanian, senantiasa menghirup udara sawah yang menyegarkan. Kalaupun aku pernah tinggal di kota, mengenal masyarakat kota, namun aku tetap anak desa, anak petani, anak yang tak bisa jauh dari sawah dan padi. Anak yang selalu rindu bau lumpur sawah dan bulir padi, anak yang selalu rindu bentangan sawah yang hijau memberikan kesejukan dan ketenangan.
Anak desa yang selalu rindu pada kehidupan desa yang tenang, kehidupan desa yang penuh rasa kekeluargaan. Hidup yang tidak terburu-buru, namun penuh makna. Hidup dalam kesederhanaan. Sebagai orang desa kami bisa makan apa saja. Semua tersaji oleh alam asal kita mau mengolahnya. Sayuran ada di mana-mana di kebun belakang, di pagar pembatas halaman, di pematang sawah semua bisa kita ambil dan kita petik untuk memenuhi kebutuhan sayur setiap hari. Ayam di kandang belakang juga itik bisa menjadi sumber lauk, baik telur maupun dagingnya. Beras jelas sudah kita siapkan jika panen tiba. Saat panen sebagian besar kita siapkan untuk makan sebelum masa panen berikutnya tiba. Di sela-sela itu masih ada ubi, talas dan umbi-umbian lain yang bisa digunakan sebagi makanan selingan. Tenang dan tidak terburu-buru.
Dengan tetanggapun kita masih bisa saling bertukar makanan yang kita miliki. Di kala kita kehabisan garam, tak perlu sungkan untuk minta pada tetangga, di kala kita kehabisan gula, bukan hal yang tabu kita meminjam pula ke tetangga. Bila suatu saat ada tamu jauh yang datang, kalau kami ingin menjamu makan, maka kamipun tak segan-segan untuk meminjam nasi pada tetangga, yang nanti akan kami tukar saat nasi masak. Yang penting keperluan untuk menjamu tamu bisa teratasi secepatnya.
Suara jengkerik, belalang, kotek ayam, cericit burung menghadirkan suasana nyaman di hati. Irama ini tak pernah lagi kita temui di kota. Tapi di desa tempat tinggalku, suara itu menjadi musik alam yang indah yang bisa kita temui setiap saat, pagi hari, sore ataupun malam hari. Tonggeret yang biasa berbunyi di senja dan malam hari di musim hujan ditimpali suara kodok bersaut-sautan. Sungguh musik yang indah, yang tak mudah ditemui di tempat lain. Musik alam itulah sebenarnya yang selalu membuatku rindu untuk pulang. Tanpa suara bising kendaraan, tanpa polusi udara yang berlebihan.
Saat-saat malam harus mengairi sawah, berat memang, namun itu saat yang nyaman buat menikmati malam. Udara dingin, sejuk, gemericik air, bau tanah basah, justru saat tenang menunggui air memenuhi sawah, adalah saat yang baik untuk merenung, menyepi, melihat ke dalam diri, apa yang sudah kita lakukan, apa yang sudah kita capai, dan apa yang hendak kita raih. Saat-saat itulah sebenarnya saat-saat penting buat mencari makna hidup. Mencari kemana sebenarnya tujuan hidup kita. Mencari jati diri kita. Saat-saat buat menemukan inspirasi. Saat-saat kita bisa menyendiri tanpa diganggu orang lain. Walau kadang kala kami juga berbincang dengan sesame pencari air, namun itu tidak selalu kami lakukan.
Selepas dari SMK Pertanian aku tak berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Sengaja aku mengambil sekolah kejuruan sesuai dengan latar belakangku. Aku yakin, sekolah itulah yang tepat untukku. Dengan ilmu yang kudapat tentu aku akan bisa memajukan desaku. Impianku adalah meningkatkan kesejahteraan warga desa, petani penggarap, petani buruh yang tidak memiliki sawah.
“Man…Man…sekolah jauh-jauh koq kembalinya jadi petani. Rugi to Man… sekolah di kota ya cari kerja di kota!” seorang sahabatku mengatakan seperti itu.
“Lho kalau semua pemuda di desa ini pergi ke kota, lalu siapa yang akan melanjutkan kehidupan di desa?”
“Jadi petani tu sudah tidak njamani , kuno, mendingan kerja di kota, di pabrik syukur-syukur di kantor… he…he…he…”
Aku hanya bisa tersenyum melihat ocehan mereka. Emang dia pikir hidup di kota mudah dan menyenangkan? Sulit dan berat. Belum lagi godaannya lebih banyak. Sungguh berbeda dengan kehidupan di desa yang tenang dan tidak terburu-buru.
Karena sejak kecil aku hidup di lingkungan petani, maka akupun menjadi petani. Dunia tani adalah duniaku. Bangun pagi dan segera pergi ke sawah adalah kegiatanku di kala libur, bila saatnya mencari air untuk mengairi sawah, bisa jadi aku harus begadang sampai pagi agar mendapat giliran buat mengairi sawah kami. Bila saat panen tiba, akupun harus ikut terjun ke sawah buat menyabit batang padi, merontokkan bulir-bulir padi dari tangkainya. Aku teringat saat masih sekolah, ketika pabnen tiba aku diminta pulang untuk membantu panen. Karena tenagaku amat dibutuhkan walau banyak tetangga yang membantu dengan cara gotong-royong. Selesai disabit, padi harus dirontokkan dengan alat yang menyerupai sepeda, harus dikayuh maksudnya agar mempermudah pekerjaan. Kami menyelesaikan kegiatan itu sampai malam, tetangga sudah banyak yang pulang, aku dan kakak ku menyelesaikan sendiri. Entah sudah berapa lama kukayuh perontok padi itu hingga pekerjaan selesai, kalau dibandingkan dengan bersepeda maka sudah berpuluh kilometer kulewati. Alhasil sehari semalam setelah itu, badanku sakit semua kakiku pegal tak karuan, pantatku memar-memar bahkan untuk sekedar dudukpun aku merasa tersiksa sekali. Tapi aku tak berani menceritakannya pada ibu, aku takut ibu akan menjadi bersedih karenanya. Kegiatan menjemur padi adalah pekerjaan yang paling melelahkan, apalagi saat musim penghujan, karena harus selalu berpacu dengan datangnya hujan. Tak ada kata tabu dalam benakku kala itu.
Pada umumnya pemuda-pemuda seusiaku, yang orang tuanya mampu, akan pergi ke kota untuk melanjutkan belajar, atau ke kota untuk mencari pekerjaan, bisa dihitung dengan jari yang masih mau bertahan di rumah hanya untuk mengurus sawah dan kebun. Aku hanyalah salah satu diantara mereka yang terbelenggu tak bisa keluar dari desa. Di hati kecilku sebenarnya ada keinginan untuk keluar dari desa untuk mencari pengalaman. Ada keinginan untuk berontak, kalau mereka bisa keluar, mengapa aku tidak? Terjadi pertentangan di hatiku, kalau aku pergi juga ke kota lalu siapa yang akan melanjutkan kegiatan di desa. Namun pada kenyataannya 3 tahun bersekolah di kota tidak membuatku kerasan, kalau bukan karena keinginan yang menggebu untuk mendapat ilmu, maka sudah kutinggalkan bangku sekolah sejak dulu, hanya untuk memuaskan rindu pada desaku.
Ternyata pilihanku untuk bersekolah di sekolah kejuruan adalah pilihan yang tepat. Banyak ilmu yang kudapat yang bisa kuterapkan di rumah, di desaku. Dari mengolah sawah, tanaman hortikultura, perkebunan, hingga pengolahan, aku mendapatkannya. Aku hanya tinggal megembangkan. Walau itu bukan perkara yang mudah, namun itu semua harus dimulai secepatnya, secepat aku kembali ke desa. Pilihan sekolah yang semula dicibirkan banyak orang, dibilang anak petani sekolah di pertanian tidak akan mengangkat derajat petani, tapi kedatanganku unuk membuktikan bahwa pilihanku adalah pilihan yang tepat. Dengan semangat aku kembali ke desa dan aku siap menjadi petani muda. Ya….petani muda itu adalah aku.
Berbekal pengalaman sejak kecil, ilmu yang kudapat di sekolah serta buku-buku pertanian aku mencoba menjadi petani muda. Bukan hanya itu, beberapa bibit tanaman hias, anggrek, adenium, menjadi salah satu bekalku. Di sekolah aku telah mempelajari banyak hal tentang kedua tanaman hias ini. Aku yakin dengan penanganan yang baik dalam jangka dua tahun aku akan mampu menghiasi kebun rumahku dengan dua tanaman ini. Tanaman hias yang selalu digemari dan memiliki pangsa pasar sendiri walaupun banyak tanaman hias lain yang booming. Belajar bukan sekedar menjadi petani turun temurun, namun mencoba menjadi petani yang berilmu.
Aku yakin dengan bertanipun aku pasti bisa menjadi petani yang sukses, sesukses mereka yang berdasi, yang duduk di kursi empuk. Biarlah aku tak berdasi tapi aku bisa memetik hasil jerih payah yang baik. Kesuksesan tidak hanya diukur dari berdasi atau tidak berdasi.

4. Ketep Pass, Kuhadir Bersamanya


Tiba-tiba saja Faza menagih janji untuk pergi ke Ketep. Heran juga, angin apa yang telah bertiup, yang telah mampu membuka hatinya untuk menerima ajakanku jalan. Yaa…. Sudah lama sekali sebenarnya aku pernah menawarinya untuk jalan ke Ketep berdua, tapi dia tak pernah menggubris, apalagi memberi respon. Aku bahkan hampir melupakannya. Eh pagi ini, dia sms klo nanti siang mengajak ke Ketep. Berbunga tentunya hatiku, bagiku ini adalah angin baik.
“Nanti siang ke Ketep ya…. jam 10.00. tak tunggu di Blabak….”
Aku baru saja ganti kostum, mau ke sawah melihat air, apakah masih mengalir, karena aku dapat giliran jam 4 pagi, tadi kutinggal pulang karena adzan subuh terdengar. Masih pagi sekali sms itu masuk, ketika kulihat detail info di ponselku masih jam 05.07. Mungkin dia baru saja bangun. Pantas semalaman aku tidak bisa tidur nyenyak, gelisah, sesekali ingat Faza. Hampir tiap malam libur selalu saja Faza hadir dalam benakku. Berharap diizinkan buat ke rumahnya, bisa jalan bersama, atau sekedar melewatkan waktu makan siang, atau bahkan sekedar bisa smsan panjang lebar buat memuaskan rindu. Rindu yang selalu hadir tanpa diminta, rindu yang selalu hadir tanpa bisa dicegah. Rindu yang memikat.
“Kujemput aja ya…. ke Yogya….”
“Nggak usah….terlalu jauh….biar ak naik bis aja ke Blabak.”
“Biar aku bisa pamit bapak dan ibu…masak bawa pergi gadis gak bilang-bilang.”
“Lain waktu aja….jadi pergi gak nie….waktuku hanya sampai jam 12 lho….”
Selalu begitu, betapa sulitnya aku ingin mengajaknya pergi tapi mohon izin pada orang tuanya. Kadang aku berpikir, anak ini sudah dibuang oleh orang tuanya, atau dia broken home? Tapi kalau dia bercerita tentang kedua orang tuanya dan adik-adiknya dia kelihatan bahagia sekali. Sungguh bertentangan dengan sikapnya. Atau mungkin orang tuanya terlalu ketat hingga dia enggan pamit, takut tidak diijinkan.
“Oey… gimana jadi nggak? Udah deh dicancel aja, aku bikin skedul baru buat pagi sebelum jam 12!”
Uh… galak banget. Tegas ya? Bukan galak? Itulah Faza, dia yang selalu menentukan apa yang harus kami lakukan, kami lalui, waktu baginya amatlah berharga. Tak pernah dia hidup tanpa skedul, Semua terencana rapi, jangan sampai meleset, jangan ada waktu terbuang percuma di luar rumah, walau diantara waktu-waktu senggangnya, dia bilang paling suka berada di rumah hanya sekedar untuk baca buku atau nonton tv.
“Ok… jadi…nanti ngabari klo dah berangkat ya…”
“Ok….”

Kuhabiskan pagi itu buat mengairi sawah dan memetik beberapa kacang panjang pesanan ibu, cabe yang tertanam di pematang sudah banyak juga yang semburat merah, sekalian kupetik. Juga beberapa terong ungu yang menggugah selera.

“Pagi sekali sudah mandi… ada acara?” tanya ibu melihatku sudah selesai mandi.
Ibu bilang pagi, padahal sudah setengah sembilan.
“Keluar sebentar Bu… ada temen ngajak ke Ketep….?”
“Perawan …?” ibu menyelidik.
“Ya Bu…. Namanya Faza?” sahutku sedikit bangga.
“Kapan kau bawa kemari, kenalkan pada Ibu.” Kata ibu sambil tersenyum. Senyum ibu menyejukkan.
“Besok Bu… sabar… yang ini lain…”
“Jangan lama-lama….”
“Insya Allah…”

Ponselku berdering. Semoga dari Faza, ada desir yang lain di hatiku.
“Ak dah sampai Jombor”
“Ok.”
Kuambil celana selutut dan kaus putih berkerah. Dompet kuselipkan di saku. Segera kusiapkan motor. Oh ya, helm harus dua Faza nggak mungkin nenteng helm naik bis.

“Berangkat ya Bu.” Kucium tangan ibu yang masih sibuk di dapur.
“Hati-hati, kok sandalan jepit?”
“Gak papa kok Bu, cuma main. Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam warohmatullah wa barokatuh”

Dengan riang kupacu sepeda motor menuju Blabak. Faza bilang mau menunggu di Blabak. Jalanan cukup ramai. Aku harus beli bensin dulu, wah ternyata antrean cukup panjang.
“Oey…dah kutunggu di Alfamart lho…!”
Ternyata dia sudah sampai duluan. Tapi antrean ini tidak mudah dilalui. Kalau beli eceran, sering dicampur minyak tanah. Tapi apa mungkin? Kan minyak tanah sekarang lebih mahal? Ah biarlah sudah terlanjur masuk antrean.
“Ak baru beli bensin.”

Aku langsung menuju simpangan setelah pabrik kertas Blabak, di situ banyak angkutan pedesaan sedang menunggu penumpang. Kutebarkan pandangan, tak kulihat Faza.
“Oey….aku pulang aja deh…kelamaan … ak dah nunggu hampir sejam…”
“Kamu dimana Za… aku di simpangan dekat rel…mencarimu?”
“Ak tu di Alfamart…di depan Alfamart.”
“Alfamart dimana….ak gak lihat Alfamart.”
“Tanya dong…masak cari Alfamart aja nggak ketemu, kamu kan orang sini, apa susahnya sih nanya?”
Wah, sudah mulai panas nih nadanya. Tidak biasanya dia berlaku seperti ini, biasanya emosinya cukup terkendali. Mungkin dia memang sudah terlalu lama menunggu. Hingga kesabarannya habis. Tapi Alfamart dimana ya? Tak terlihat papan Alfamart dari sini. Aku berputar mencari.
“Masak aku harus jalan ketempatmu….kamu kan bawa motor… kamu dong yang harus kemari…!”
“Ok…tunggu…kucari kau sampai ketemu….tapi jangan marah dong….”
Akhirnya kutemukan juga. Faza duduk membaca di bangku depan Alfamart. Celana panjang coklat muda kaus hitam jilbab hitam. Kharismatik. Kubunyikan klakson ala tukang ojek. Faza menegakkan kepalanya, melhatku dia berdiri dan tersenyum pada teman duduknya. Lalu berjalan ke arahku dengan pandangan menyelidik.
“Lama banget….” Katanya sambil naik ke boncengan, kusodorkan helm, tapi dia menolak.
“Maafkan aku…”
Debar-debar itu hadir lagi, dia cukup dekat denganku. Bahkan menempel di punggungku. Kulajukan kendaraan tak telalu cepat. Kurasakan Faza menikmati perjalanan ini. Tak banyak kata terucap, dari spion kulihat wajahnya sumringah, dan senyuman itu, mendebarkan. Sering ditengokkannya wajahnya ke kanan atau ke kiri, menikmati pemandangan yang tersaji, sawah yang hijau, udara yang sejuk. Ingin sekali aku merasakan tangannya buat memeluk pinggangku. Tapi itu tak dilakukannya. Satu tangannya memegang buku dan tangan lainnya memegang botol minuman.
“Za….botol ma bukunya masukkan ke bagasi aja ya…”
“Biar aja, buat pegangan.”
Aku tak ingin memaksanya buat memeluk pinggangku, aku ingin semua berjalan alami. Aku ingin dia melakukannya karena keinginannya sendiri, bukan karena jebakan, bukan karena paksaan. Walaupun aku ingin sekali.
Sampai di tempat, kuparkir motor. Kami menuju loket, kuambil dompet buat bayar tiket masuk, tapi Faza mendahului. Aku tak habis pikir, gadis macam apa yang kuhadapi ini, karena ternyata dia membeli tiket hanya untuk dirinya sendiri dan aku dibuatnya kecipuhan berhadapan dengan petugas karena aku belum membeli tiket untuk diriku sendiri. Ada senyum, tapi senyum yang kecut. Aku dikerjain. Sebagai tuan rumah yang baik, aku mencoba menjadi pemandu wisata yang baik buat Faza. Melihatnya riang, aku jadi ikut riang, sering aku mencuri-curi pandang buat menikmati wajahnya. Aku sering merasa disepelekan, karena dia asyik sendiri. Sambil berjalan-jalan dia asyik menerima telepon dari teman-temannya, kalau tidak dia akan bersenandung pelan, sepertinya dia sedang mendengarkan lagu dari radio atau mp3.
Berjalan berkeliling di udara yang sejuk segar, membuat pikiran kita jadi segar pula. Di tempat yang tinggi dan berudara segar ini aku berjalan dengan seorang gadis yang istimewa bagiku. Apapun sikap yang dia perlihatkan padaku, tak membuatku tidak nyaman namun justru membuatku semakin penasaran. Semakin ingin mengenalnya lebih jauh, semakin ingin dapat merengkuhnya. Tak banyak kata yang terucap untukku, namun banyak kata yang bisa kunikmati saat dia menerima telepon. Keriangannya itu, membuat orang yang berada didekatnya menjadi riang pula. Sesaat dia menjawab telepon dengan bahasa asing, fasih kudengar, kubuang pandangan ke lain arah tapi telingaku tajam menyimak pembicaraannya yang tak semua kumengerti.
Dia hampir terjatuh ketika kakinya tersandung telundak yang kami lewati. Reflek kupegang lengannya, dia tersenyum sebagai ucapan terima kasih sambil melepaskan pegangan tanganku. Jatungku berdebar makin keras, hanya karena bisa memegang lengannya. Susah buat mengembalikan detak jantung yang berdebar-debar. Aku hanya mampu tersenyum tanpa bisa berkata-kata. Sebenarnya banyak kata yang ingin kuungkapkan, tapi bibir ini jadi kelu.
Belum setengah jam kami berada di lokasi dia sudah mengajak turun.
“Aku harus pulang sekarang, aku harus menjemput teman di bandara.”
“Sekarang? Kan baru sebentar?”
“Sesuai janji, jam 12 aku harus sampai Yogya lagi!”
“Gak bisa ditunda?”
“Tidak, tolong antar aku ke terminal aja biar dapat bis ac!”
“Ok.”
Kebetulan dia minta diantar ke terminal, berarti kami bisa singgah walau sebentar ke rumah, semoga ibu bisa menerima. Terlalu bersemangat aku memacu kendaraan untuk segera sampai. Apalagi Faza bilang sangat tergesa. Biarlah Faza marah, tidak apa-apa asal bisa mampir sebentar ke rumah. Ketika jalan menikung tajam, kendaraan sedikit oleng, Faza terkejut spontan dipegangnya pinggangku. Tapi segera dilepaskannya kembali. Ada rasa lain menyelinap di hati ketika Faza memegang pinggangku.
“Gak jadi ke terminal ah…. Ke Blabak aja….” Katanya setengah berteriak mengatasi bising kendaraan.
“Kenapa… ke terminal aja biar dapat bis ac….”
“Gak ah…. Takut…”
“Takut apa?”
“Kamu stir kayak orang kesetanan !”
“Katanya takut terlambat?”
“Aku juga masih takut mati!”
“Aku pelan aja deh.” Kataku sambil mengurangi kecepatan kendaraan.
“Ke Blabak aja.”
“Terminal aja ya.?”
:”Blabak.”
“Terminal.”
“Koq maksa sih?”
“Biar bisa mampir rumah.”
“Oooo….” Faza terkejut
Runyam deh, seharusnya dia tidak boleh tau kalau mau mampir ke rumah, salahku juga sih, terlontar begitu saja kalau mau mampir ke rumah.
“Blabak aja, lebih dekat….”
“Dah ni… gak jadi ke terminal?”
“Blabak….Blabak….n Blabak.”

Akhirnya kuantar juga dia ke Blabak. Kutunggu sampai dia dapat bis.
“Kita belum banyak berbincang?” kataku sambil menunggu bis datang.
“O ya?” dia menyahut ringan.
“Aku ingin banyak cerita tapi kamu sibuk telepon terus.?”
“Keberatan?”
“Gak juga sih, hanya aku jadi gak punya waktu.”
“Itulah aku.”
“Kapan kita jalan lagi?”
“Kapan-kapan.”
“Oke…. Kapan-kapan.”
Bis datang kulambaikan tangan. Faza naik sambil masih mengulaskan senyum untukku. Kubalas senyumnya. Walau ada kecewa, aku memberinya juga senyuman. Kulambaikan tangan, dia menyambut dengan lambaian tangan pula. Selamat jalan Faza, kataku dalam hati. Sampai jumpa lagi.

5. Anggrek, Jalanku Menemuimu

 “Kak… bisa tolong carikan info tentang petani anggrek?”
Setelah beberapa hari tak ada kabar dari Faza, tiba-tiba saja dia sms minta tolong. Berbunga hatiku. Di tengah kesibukanku aku sengaja tidak mengganggunya, walau rasa rindu ini sebenarnya tak bisa kutahan lagi. Sebongkah rasa jenuh mengganjal ketika harus menanti kabar darinya. Bukan gengsi, hanya kadang aku merasa apa yang kulakukan hanya akan mengganggu kegiatannya saja. Jangan-jangan aku yang gede rasa, menanggung rindu, padahal dia tidak merasakan apapun. Mungkin ini jalan yang diberikan Allah agar aku bisa bertemu kembali dengannya. Terima kasih ya Allah, doaku kau kabulkan.
“Siapa yang mau cari anggrek… n anggrek apa?”
“Ni ibu ma temen-temen pada mo mampir cari anggrek, tapi tak tahu alamat yang pasti.”
“Lho, sekarang dimana sih?”
“Masih di Grabak…kata ibu ada petani anggrek di sini kata temennya murah2!”
“Di Borobudur ada, yang banyak jenis dendrobium, di Tegalsari juga ada.”
Di Borobudur memang ada beberapa petani anggrek yang sudah terkenal, salah satunya milik pak Pong. Sedang di Tegalsari, milik petani muda, belum terlalu banyak, tapi sudah banyak pembeli yang datang, bahkan beberapa pedagang dari Yogya mengambil anggrek dari sini.
“Borobudur di sebelah mana? N klo Tegalsari dimana?”
“Borobudur sebelum candi, sebelum pertigaan tugu di sebelah kiri jalan. Klo di Tegalsari lebih mudah dijangkau. Dari Grabak kearah Yogya, Kebonpolo ke kiri arah terminal, sampai di lampu merah lurus arah Kopeng. Dari lampu merah hanya sekitar 3 km di sebelah kiri jalan ada kebun anggrek. Tanyakan di situ.”
“Mahalan mana harganya?”
“Coba aja ke Tegalsari dulu baru ke Borobudur gak papa kan? Apa perlu tak jemput dan diantar ke Tegalsari?’
“Gak usah lah Kak, merepotkan aja. Nanti kami coba cari dulu deh. Klo kesulitan aku hubungi Kakak. Tanks ya Kak!”
“Ok. Semoga ketemu.”

Apa yang harus kulakukan? Tadi sudah kutawarkan untuk ke Tegalsari, dan satu-satunya petani anggrek di Tegalsari adalah aku. Apakah aku tidak menjebaknya? Apakah Faza tidak akan merasa terjebak oleh tawaranku? Padahal sebenarnya hanya karena aku ingin orang lain tahu bahwa di Tegalsari juga ada petani anggrek, bukan hanya anggrek, tapi juga adenium. Walau sebenarnya adenium bagus ditanam di tempat yang banyak sinar dan bersuhu panas, tapi dengan perlakuan khusus ternyata adenium juga bisa berbunga dengan baik di sini. Memang tidak kujadikan satu tempat. Sisi kanan untuk adenium dan sisi kiri untuk anggrek. Aku ingin usahaku ini berkembang.
Kupanggil Jito dan Tihat kuminta mereka untuk tidak meninggalkan kios, karena nanti akan ada yang datang dari Yogya. Aku sendiri mencoba memilih beberapa anggrek yang bagus, kalau ibu Faza mau, aku akan memberikannya secara cuma-cuma. Ini dari calon menantu ibu, kataku dalam hati. Aku tersenyum sendiri.
“Senyum-senyum sendiri, lagi bahagia Mas?” Tihat menggodaku.
“Mas Rahman ni memang aneh, suka senyum sendiri, padahal dari pagi tadi cemberut terus, dapat sms dari pacar ya?” Jito ikut-ikutan menggoda.
“Kalian ini lho, suka usil. Aku cemberut kalian susah, aku senyumpun kalian ribut, mau kalian apa sih?” kataku sambil melototi mereka. Tapi mereka tahu kalau hatiku sedang berbunga-bunga.
“Mas…Mas… Mas Rahman tu susah sembunyikan perasaan, kliatan, kalau lagi seneng, sedih, gundah…. Kami ikut seneng kalau Mas Rahman seneng, kalau Mas Rahman sedih kami inginnya menghibur tapi nggak tahu caranya….ha…ha…ha…!” mereka tertawa, puas menggodaku.
Aku senang, ternyata mereka sayang padaku, terlihat dari cara mereka mencoba menghiburku dengan caranya. Mereka memang tangan kananku selama ini. Aku sudah pernah memintanya untuk membuka usaha sendiri, tapi mereka belum mau, masih ingin banyak belajar katanya. Tanpa mereka aku pasti akan kerepotan mengurusi semua ini. Mengurus sawah, mengurus kebun anggrek dan adenium, mengurus pemasaran, mencari jenis-jenis baru. Mereka juga senang, hampir tiap minggu kubelikan mereka tabloid yang berhubungan dengan tanaman hias, buat bacaan, menambah pengetahuan mereka. Walaupun mereka belum mau membuka usaha sendiri, namun mereka sudah mulai mencoba membuat usaha kecil-kecilan di rumah mereka masing-masing. Masalah pemasaran mereka masih menggantungkan diri padaku, menitipkan di kios, kalau laku dibayar, kalau belum laku belum dibayar. Sedangkan aku kalau banyak pesanan dan tidak dapat memenuhi sendiri maka kuambil milik mereka. Dengan cara ini aku berharap mereka akan bisa mandiri dan aku akan mencari anak lain untuk menggantikan mereka, mencari kandidat baru.
Kupandangi kebun anggrek yang menjadi satu dengan kios, sengaja kugabung biar mudah mengawasi dan merawatnya, walau di kebun samping rumah juga masih ada. Empat orang mengurusi kios dan kebun, dua orang mengurusi kebun di samping rumah. Dulu tak pernah terpikirkan akan dapat mempekerjakan orang untuk membantu mengurusi kebun anggrek, tapi inilah yang terjadi kini. Setelah sekian tahun kutekuni, akhirnya berbuah juga. Aku menikmatinya, ibu bahagia melihatnya. Bahkan beberapa orang kampung sudah mulai mengikuti jejakku membuat kebun anggrek, walau mayoritas dari mereka masih mengandalkan pemasaran padaku. Aku mengajak mereka untuk mau menerima tamu, menerima pembeli di rumah mereka, dengan harapan mereka akan bisa berkembang, namun belum semua berani melakukan itu. Bahkan pemuda-pemuda dari desa sekitar mulai banyak yang melirik, berminat untuk belajar bertani anggrek. Kubuka pintu buat mereka belajar, agar mereka tak lagi tergiur pergi ke kota hanya sekedar untuk menjadi buruh bangunan atau buruh pabrik. Karena desa juga masih membutuhkan mereka. Desa masih butuh tenaga-tenaga muda buat mengairi sawah mereka.
Jito dan Tihat masih asyik merapikan tanaman ketika ponselku berdering keras.
“Dari pacar Mas…?” goda mereka sambil tertawa.
Aku hanya tersenyum, kuangkat ponsel nama Faza yang terpampang. Senyumku mengembang.
“Kak…sama sekolah pertanian sebelah mana…?”
“Lurus lima ratus meter di kiri jalan, kakak tunggu di situ ya…?”
“Ok…!”

Aku segera keluar, menanti Faza di depan gerbang kios. Beberapa kendaraan lewat, aku tak tahu persis Faza mengendarai apa. Sebuah mobil merah meluncur begitu saja, aku hampir berteriak memanggilnya karena kukira Faza. Tapi terhenti karena sebuah kijang grand menepi mendekati tempatku berdiri. Sebuah senyum terkembang di balik kemudi. Faza. Gadis yang kurindu. Yang selama ini memenuhi lubuk hatiku. Kuhampiri pintu depan sisi kiri dan kubuka. Wanita paruh baya yang duduk di samping Faza tersenyum padaku, aku menganggukan kepala sambil tersenyum.
“Makasih…!” katanya lembut.
“Mari Bu…!” sahutku mempersilakan.
Beberapa wanita yang duduk di belakang turun. Disambut Jito dan Tihat mereka langsung berjalan menuju kios tanpa memperdulikan aku. Nggak papa karena aku hanya butuh Faza yang kurindu. Dengan pakaian serba hitam dengan sentuhan jilbab merah jambu. Sebuah bros bunga putih mempercantik tampilannya. Tampak segar dan menggairahkan. Sepatu hak tinggi runcing membuatnya menjadi tambah jangkung saja.
“Koq Kakak di sini… dah dari tadi ya…?” tanyanya ramah.
“Kan jemput Faza…biar gak kesasar!” kataku sambil tersenyum.
Masih tanpa berkedip aku memandanginya, ingin kupuaskan rindu yang menggayut beberapa hari ini demi ingin menikmati wajahnya. Sering aku dilanda kelu kalau harus berhadapan seperti ini, apalagi dibumbui aroma rindu. Pikiranku jadi tak jernih lagi, hanya perasaanku yang bekerja ekstra keras. Yang kupandangi salah tingkah, wajahnya memerah, cantik sekali.
“Kak…kakak jahat…!”
Aku tergeragap mendengar kata-kata Faza, seperti baru terbangun dari mimpi. Faza sudah melangkah masuk ke gerbang. Buru-buru aku mengikuti, dan berjalan menjajarinya.
“Aku terpesona Za…!” kataku terus terang.
“Kakak nunggu di sini….? Sejak tadi?”
“Sejak beberapa hari lalu malah….!”
“Masak sih….yang bener…?”
“Nggak percaya…?”
“Nggak…!”
“Tanyain aja pada mereka…!” kataku sambil menunjuk Jito dan Tihat.
Faza memandangi mereka, lalu langkahnya menuju pada rombongan yang diantarnya. Aku berjalan menjajarinya. Beberapa dari mereka telah menjatuhkan pilihan, ada rasa lega dihati, ternyata tawaranku mendapat sambutan, mereka tidak kecewa datang ke kiosku.
“Za….kau tak suka anggrek?”
“Suka juga sih…. Suka lihat aja, tapi gak bisa ngrawat.”
“Anggrek gampang-gampang susah…kalau rajin dengan menyiram dan memupuk aja mereka mau berbunga.”
“Mama yang suka banget sama anggrek, Mama lebih suka dendro, katanya mudah ngrawatnya, paling sama Mama cuma diberi air cucian beras, itupun kalau ingat. Tapi anggrek di rumah rajin banget berbunga lho. Wow… yang ungu tu bagus banget…padahal gak ada daunnya ya…?”
Diambilnya dendro ungu kecil di meja yang kupajang sebagai hiasan meja. Wajahnya lucu ketika mengamati bunga itu. Empat kuntum dendro ungu, bisa membuatnya terbuai begitu. Senyumnya itu, senyum itu yang telah sempat membuatku mabuk kepayang. Yang sempat membuatku tak bisa tidur beberapa malam. Kini hadir lagi, di depan mataku. Cantik sekali. Ingin aku menikmati pemandangan ini berlama-lama. Dia mendekatkan bunga itu di dadanya lalu dia memejamkan mata. Gemas aku dibuatnya. Lalu semua jadi kembali ketika dia berucap penuh perasaan.
“Cantik….!”
“Kau boleh ambil kalau kau suka…”
“Mang yang ini dijual juga…?”
“Gak dijual… special untuk Faza…”
“Ah….sayang uang Kakak dihamburkan hanya untuk beli bunga untukku…”
“Kalau Faza senang…Kakak ikut senang …”

“Faza…bantu mama Nak…”
O… jadi itu ibunya. Wanita paruh baya yang duduk di samping Faza tadi, yang kubukakan pintu. Ah calon ibu mertua. Narsis mungkin aku ya? apa mereka mau menerimaku, petani muda dari desa?
“Ok…bentar ya Kak…” kata Faza sambil berjalan menuju tempat ibunya yang tidak terlalu jauh dari tempat kami berdiri.
Mereka memilih beberapa pot lagi dibantu Tihat. Jito meladeni ibu-ibu yang lain. Aku memandangi mereka dari jauh. Aku percaya Jito dan Tihat bisa meladeni mereka dengan baik. Kalau tidak perlu sekali, aku jarang melibatkan diri, karena aku ingin mereka bisa melakukannya nanti bila mereka memulai usaha sendiri.
Sepuluh pot dipilih ibu Faza. Orang kalau sudah suka ternyata tidak lagi memperdulikan uang, atau karena mereka merasa harga yang kami tawarkan tidak terlalu tinggi hingga mereka membeli banyak-banyak? Atau karena jenisnya mereka suka? Mungkin ada sekitar 30 pot yang mereka pilih.
Ketika mereka telah selesai memilih, dan Jito membuatkan nota, aku mendekati mereka. Kuminta Tihat menyiapkan pula pot di meja dan empat pot pilihanku yang sudah kusiapkan tadi untuk di sertakan.
“Kenalkan Kak, ini Mamaku, ini Kak Rahman Ma!” kata Faza sambil menunjuk diriku. Kami berjabat tangan, ibu Faza tersenyum, akupun tersenyum, kujabat erat tangannya.
“Hedi…!”
“Rahman…!”
“Makasih bantuannya ya…!”
“Sama-sama Bu… kalau berkenan silakan mampir lagi kemari…”
“Suatu saat nanti, biar ibu bawa teman-teman penggemar angrek kemari.” katanya sambil tersenyum. Ooo, ternyata senyumnya tak jauh dari senyum Faza.
“Terima kasih Bu, dengan senang hati kami akan menerima “.
“Tolong bantu masukkan ke mobil Hat…” kataku pada Tihat.
“Siap Mas…” katanya sambil mengangkat dus berisi pot anggrek.
“Wah Kakak ini main perintah aja… pemiliknya yang mana sih Kak… dari tadi nggak kliatan ya…?” Faza memarahiku yang memerintahkan Tihat. Dia tidak menyimak perbincanganku dengan ibunya, karena dia ada diseberang meja. Walau dia kemudian mendekat pada kami.
“Pemiliknya kan dia Mbak.” kata Tihat mendengar pertanyaan Faza.
“Oooo… gitu… Kakak jahat banget sih… gak bilang dari tadi kalau pemiliknya Kakak…” kembali tinjunya melayang ke pundakku. Aku pura-pura tidak menyadari. Aku ingin dia meninjunya lagi. Sentuhan-sentuhan itu tak akan pernah terlupakan. Denyar-denyar itu kembali hadir dalam hatiku, membuat wajahku memanas. Aku merindukan sentuhanmu Za…Sepuluh kali ditinjupun aku akan mampu menerimanya. Bahkan lebih dari itu. Hanya senyuman yang bisa kusampaikan. Tanpa kata-kata, karena lidahku tiba-tiba jadi kelu. Sejenak aku hanya berdiam.
“Kalau Faza tahu, aku takut Faza nggak mau kemari…”
“Huuuu….jahat….!” katanya sambil melotot.

“Mas … dus yang ini bukan pilihan kami lho…” kata ibu Faza pada Tihat saat melihat dus pesananku mau dimasukkan ke mobil.
“Itu pesanan Faza Bu….” Kataku sambil mengerling Faza, mukanya memerah, tambah cantik dia.
“Faza… beli anggrek…buat siapa?” tanya ibu kebingungan.
“Nggak bu…itu bonus buat Faza yang sudah bersedia mengantar ibu-ibu kemari. Hadiah buat driver…” kataku masih menggoda Faza.
“Enak dong jadi driver, dapat bonus, bagus-bagus lagi….” Salah seorang dari mereka menimpali.
“Besok kita diantar kemari lagi aja Za…bonusnya gantian buat kami lho…” yang berbaju hijau berkata sambil mengerling pada Faza.
“Gak ah…” Faza menyaut tanpa nada.
Faza bergegas masuk mobil, tanpa berkata-kata. Aku merasa telah keterlaluan menggodanya, semoga dia tidak marah, semoga dia berkesan dengan pertemuan ini, semoga dia berkenan dengan pemberianku ini. Ibu-ibu yang lain mengikuti. Tak lama Faza menstater mobil dan siap berangkat. Tanpa-kata-kata, tanpa senyuman. Aku mencarikan jalan agar dia bisa berputar menuju arah Yogya. Mereka melambaikan tangan, tapi Faza diam saja. Ada rasa resah yang hadir. Pertemuan tak terduga, perkenalan dengan orang tua yang tak terduga. Aku bahagia. Ya Allah terima kasih atas pertolonganmu, semua serba tidak terduga. Aku yakin Allah akan tetap memberikan kepadaku sesuatu yang tidak terduga tapi membahagiakan. Selamat jalan Faza, kutitipkan bunga-bunga itu padamu, sebagai ganti hadirku disisimu.
Dua jam kemudian ku sms Faza.
“Dah sampai rumahkan…? Makasih ya atas bantuanmu, sekalian aku juga minta maaf bila Faza tdk berkenan.”
Kutunggu hingga pagi, tak ada jawaban apa-apa. Aku masih didera rindu juga rasa bersalah. Ada rasa takut dia tak akan lagi mau berhubungan denganku.
“Maafkan kakak ya…selamat bekerja…” sms pagi kukirim selepas sholat shubuh mengurangi beban yang menyesak di dada.

Kamis, 05 Agustus 2010

6. Paket Buat Faza

Hari ini aku harus ke Yogya. Beberapa pedagang memintaku untuk mengirimkan anggrek. Biasanya mereka datang sendiri, memilih yang mereka mau, paling-paling mereka memberi tahu kalau mau datang dan membutuhkan barang. Tapi kali ini mereka minta dikirim, karena pasaran di Yogya sedang ramai, mereka tak punya waktu buat mengambilnya. Pameran tanaman hias banyak digelar di beberapa tempat, hingga membutuhkan stok yang banyak, biasa mereka mengejar pasar. Demi memuaskan pelanggan aku menyanggupi untuk mengirimnya, bahkan aku ingin mengirimkannya sendiri sambil melihat prospek yang ada di kota gudeg itu. Meluaskan pasar tidak ada salahnya kan?
Ada tiga pedagang yang meminta kiriman dan harus segera dikirim, jumlah semua 450 pot anggrek dan 100 pot adenium untuk mereka bertiga. Jumlah yang tidak sedikit. Kalau tidak dikirim sungguh sayang, karena ini peluang yang harus ditangkap. Demi kelangsungan hidup kios dengan pemilik dan pegawai yang ada, maka semua harus dilaksanakan.
Hari ini sebenarnya harus menengok sawah yang sedang panen, tapi semua sudah kuserahkan pada ibu. Beberapa tetangga sudah siap untuk membantu panen, ibu cukup mengawasi saja, nanti biar dibantu pakde Wongso. Toh mereka adalah orang-orang yang sudah berpengalaman, jadi mereka sudah cukup tahu apa yang harus mereka lakukan. Jadi kalaupun kutinggal tidak akan kacau.
Kuminta Jito buat mencari angkutan yang bisa disewa buat mengantarkan kiriman ke Yogya setelah mereka selesai menyiapkan pot yang hendak dikirim. Sebuah colt pick up L300 milik tetangga kampung yang biasa disewa sudah siap di depan kios. Kuminta Tihat dan teman-temannya menata di mobil, agar bisa segera berangkat, agar jangan terlalu siang. Tak sampai satu jam semua sudah siap.
Beberapa kali aku mondar-mandir masuk ke dalam rumah sebelum berangkat. Serasa ada yang belum lengkap, yang masih tertinggal. Namun berulang kali aku kembali masuk ke rumah tak kutemukan juga apa yang belum terbawa. Nota, dompet, cap, kalkulator, ponsel, semua sudah ada.
“Koq masih mondar-mandir to Mas?” tanya Jito heran.
“Rasanya masih ada yang tertinggal tapi tak tau apa?” sahutku.
“Mau ke Yogya, kan harus bawa oleh-oleh Mas!” Tihat menyahut.
“Oleh-oleh buat pulang? Nanti kubelikan kalian mau apa?”
“Nggak koq Mas, itu lho oleh-oleh buat gadis yang pakai kijang dari Yogya itu lho mas. mosok lali she …” kata Tihat sambil tersenyum penuh arti.
Astaghfirullah, jadi bingungku ini karena Faza. Baru kemarin lusa, terakhir aku sms dia. Hanya dua kali kirim lalu selesai, sepi lagi. Kenapa aku sampai bisa lupa Faza? Hal yang tak biasa. Aku baru ingat, kalau aku mau ke Yogya, ke tempat Faza tinggal. Wah…baru sehari koq sudah nggak ingat dia. Terlalu sibuk mungkin ya, sampai aku sempat tak mengingatnya. Aku tersenyum, lucu juga ya, biasanya tak sekalipun pernah melupakannya, tapi kali ini sehari aku telah melupakannya.
“Oooo…itu ya… yang bikin aku linglung…”
“Iyalah mas….bawain bunga lagi biar seneng… nggak marah…”
“Tolong dong dua atau tiga pot yang kemarin belum mereka beli, biar buat koleksi.”
“Vanda aja sama anggrek hitam gimana Mas, vanda yang ungu bintik kan bagus, apalagi dah hampir berbunga…” kata mereka sambil beranjak menuju kebun.
“Boleh deh…nanti kubilang ini kiriman dari Tihat sama Jito…” kataku keras-keras.
“Jangan gitu Mas…kami jadi nggak enak lho…kalau dia naksir kami, nanti mas Rahman patah hati….ha…ha…ha…” jawab mereka tak kalah keras sambil tertawa.
“Ooo gitu ya…jadi kalian nggak mau ni?” kataku sambil tertawa pula.
“Nggak deh Mas, buat mas aja. Ni langsung masuk aja ya Mas?” kata mereka sambil memasukkan pot bunga yang mereka ambil.
“Oke deh… ak berangkat dulu ya…!” setelah mereka selesai memasukkan oleh-oleh buat Faza, aku berangkat.
Sungguh aku tak ingat sama sekali kalau hendak pergi ke Yogya, dan Faza tinggal di Yogya. Mungkin ini adalah salah satu jalan yang ditunjukkan Tuhan untuk dapat mempermudah jalan menemui Faza. Seandainya aku tidak harus mengirimkan pesanan ke kota itu, tak terpikir untuk mampir ke rumah Faza, kebetulan sekali salah satu yang harus kukirimi tak jauh dari rumah Faza, bahkan aku harus melewati rumahnya dulu untuk mencapai tempat itu. Sebuah kesempatan yang bagus.
Mana yang tepat? Aku datang tanpa memberi tahu dengan resiko Faza marah atau tidak ketemu Faza? Atau aku harus memberi khabar dulu pada Faza kalau aku ingin berkunjung ke rumahnya? Dengan resiko ditolak untuk bertamu. Tak apalah kalau harus ditolakpun aku tetap bisa mengirimkan bunga itu untuknya. Kapan aku harus memberi tahu? Sekarang atau nanti kalau sudah hampir sampai? Ah…apapun resikonya, aku harus memberi khabar sekarang. Sms atau telpon? Telpon saja, biar bisa dengar suaranya, seruku dalam hati. Kupencet tuts di ponsel. Aku hafal betul nomornya.
“Assalamualaikum” kataku ketika nada tersambung.
“Walaikum salam…tumben, ada apa Kak?” suara Faza renyah di seberang.
“Aku mau ke Yogya?”
“Kapan Kak?”
“Ni dah di perjalanan, sudah menjelang jembatan Krasak.”
“Oo gitu, ada acara apa?”
“Ngirim pesanan?”
“Emang sering ngirim ke Yogya ya?”
“Baru kali ini, biasanya mereka ngambil sendiri.”
“Selamat ya…”
“Faza dimana…?”
“Di rumah…kenapa?”
“Nanti aku mau mampir, kebetulan nanti lewat depan rumahmu.”
“Ah yang bener…Kakak mengada-ada.”
“Nggak…bener, nanti aku lewat depan rumah, boleh mampir nggak?”
“Nggak boleh…!” sahutnya agak galak.
“Kenapa…? Mau pergi?”
“Nggap pa pa, aku nggak mau pergi kok.”
“Ya udah…gak papa…maaf ya dah ganggu.” kataku sambil menahan debar di dada. Benar dia menolakku. Tapi aku tak boleh putus asa. Lain waktu akan kucoba lagi. Ponsel kututup. Tak ada lagi kata-kata dari Faza. Ada sesal sebenarnya, kenapa aku harus meneleponnya dulu, seharusnya nanti kalau sudah dekat rumahnya saja. Tapi tak apalah kan sudah mendengar suaranya, itu sudah menghibur hatiku. Sepanjang perjalanan tak ada suara yang terucap. Aku ingin segera menyelesaikan kiriman ini. Dan segera pulang.
Ketika sampai pada kiriman terakhir, ketika lewat depan rumah Faza terlihat Honda jazz merah masih ada di tempat parkir di depan rumah. Mungkin benar Faza ada di rumah. Kami terus melaju menyelesaikan pekerjaan. Saat kembali kukatakan pada Parman, pengemudi untuk berhenti dulu di seberang rumah nomor 4 di jalan itu.
“Bisa minta tolong untuk menyampaikan titipan ini di rumah nomor 4?” tanyaku pada Parman.
“Kenapa Mas, capek?” tanya Parman.
“Tolong ya, katakan kiriman buat Faza…”
“Mas Rahman nunggu disini?”
“Ya…” sahutku lesu.
Parman turun kemudian mengambil pot yang masih tersisa. Menyeberang, mengetuk pintu rumah nomor 4. seorang gadis keluar menerima pot-pot yang dibawa Parman sambil berteriak.
“Kak…kiriman bunga…”
“Ya….” suara dari dalam rumah menyahut. Suara Faza, sebentar kemudian kulihat Faza keluar, celingukan mencari-cari.
“Yang ngirim mana?” tanyanya pada adiknya.
“Mobil itu!” kata adiknya sambil menunjuk mobilku yang sengaja belum dijalankan. Faza menuju gerbang luar.
“Kak Rahman….” Suaranya nyaring ditelinga memanggilku. Aku menoleh dan melambaikan tangan tanpa turun dari mobil, karena aku tahu, dia tidak menginginkan kehadiranku.
“Kakak nggak mampir dulu? Mau trus pulang?” Faza bertanya dengan nada kecewa.
“Boleh aku mampir sebentar?” tanyaku tak habis mengerti.
“Rumah kami terbuka…” dia tersenyum melihatku turun dari mobil, kuajak Parman turun tapi dia tidak mau.
“Katanya tadi nggak boleh berkunjung?” kataku sambil melangkah menuju halaman.
“Yach…kalau sudah sampai di halaman rumah masak nggak mau mampir?” dia sedikit merajuk.
“Kakak nggak nyaman saja kalau nggak ada ijin.”
“Sekarang dah diijinkan… nggak jadi mampir?”
“Sebentar aja ya, lain waktu Kakak mampir lagi boleh?” kataku berbasa-basi.
Aku ingin Faza menahanku untuk tinggal lebih lama, tapi itu tak dia lakukan. Kami berbincang sebentar di halaman. Wajahnya berbinar. Aku suka sekali melihatnya, tak bosan memandanginya, sampai dia tersipu karena tahu pandanganku. Sebenarnya dia memintaku masuk, tapi dengan halus aku menolaknya. Awalnya kalau dia mengijinkan aku berkunjung, aku akan pulang naik bis, Parman biar pulang sendiri. Tapi kalau Parman hanya menunggu di mobil, nggak mungkin kan aku menyiksa dia dengan menungguku terlalu lama?
“Ok…, makasih bunganya ya Kak…mama pasti senang.” katanya bersungguh-sungguh.
“Bunga itu buat Faza…”
“Aku nggak bisa ngrawat, daripada akhirnya mati? Sayang kan? Biar buat mama aja ya…?” begitulah cara dia menolak pemberianku. Faza memang sedikit angkuh, dia tidak mudah menerima pemberian, tapi dia tak segan buat memberi. Tak apa, toh dia masih tetap bisa memandang bunga pemberianku. Bisa menikmati, tentu di tangan ibunya, anggrek itu akan lebih terawat.
Tak terlalu lama aku singgah, aku mohon diri. Faza melepasku dengan senyum manisnya. Kembali kutekankan pertanyaanku tadi.
“Lain kali masih boleh mampir kan?”
“Boleh, asal tidak tiap hari….bikin bosan!” sahutnya sambil tertawa. Tawa yang renyah, tawa yang selalu menggodaku, menggoda perasaan dan mimpiku.